Kita memperingati HARI PANGAN SEDUNIA setiap tanggal 16 Oktober. Kita memperingati satu sumber vital yang memungkinkan peradaban manusia bertahan sampai hari ini. Ada tiga elemen utama penentu eksistensi manusia  dari zaman purba sampai hari ini; yakni sandang (pakaian), papan (rumah), dan pangan (makanan). Dari ketiga elemen tersebut, hanya pangan yang sama sekali tidak bisa dialpakan manusia.
 Pada zaman purba, manusia bisa telanjang atau setengah telanjang. Bahkan zaman sekarang ada orang yang tanpa berpakaian. Contohnya para biksu Sekte Digambara dari Agama Jainisme. Mereka tetap bisa hidup. Pada zaman purba juga manusia bisa tinggal di goa tanpa kasur empuk dan lantai keramik. Zaman sekarang ada tunawisma yang tidak mempunyai tempat tinggal. Meski begitu, mereka juga tetap hidup.Â
Lalu bagaimana dengan pangan atau makanan? Manusia harus makan. Tanpa makan, manusia pasti mati. Sumber makanannya berasal dari tanaman dan daging hewan. Itu tidak pernah berubah. Zaman sekarang ada instant food dan junk food. Jenis menu sudah beraneka macam. Akan tetapi, bahan dasar semuanya masih sama yakni tanaman dan daging hewan.Â
Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa kunci utama keberadaan populasi manusia adalah pangan. Peringatan Hari Pangan Sedunia adalah sebuah panggilan agar kita mengingat tanggung jawab penting untuk memastikan stok pangan tetap tersedia hari ini sampai dunia ini berhenti.
Beberapa bulan lalu, masyarakat Indonesia sempat risau akibat harga beras yang amat mencekik. Harga tertinggi terjadi pada bulan Februari yang mencapai Rp 18.000 per kilogram. Pada hari ini, Badan Pangan Nasional (BPN) mencatat harga beras premium di angka Rp 15.470 per kilogram dan harga beras medium Rp 13.540 per kilogram.Â
Dibanding bulan Februari, memang harga beras sekarang sudah turun. Namun, kisaran harga tersebut tetap menjadi beban berat bagi masyarakat miskin. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (BPSI), jumlah masyarakat miskin Indonesia mencapai 25,22 juta orang. Jumlah yang tidak sedikit.Â
Mirisnya, kesulitan mendapatkan beras makin diperparah oleh kebiasaan buruk kita yang sering membuang sisa nasi. Jangankan puluhan atau ratusan butir, sebutir nasipun sebetulnya sangat berharga. 1 butir beras sama dengan 0,1 gram. Jika 200 juta orang Indonesia membuang 1 butir beras setiap kali makan berarti ada 200 juta butir beras yang sedang dibuang.Â
200 juta butir beras sama dengan 20 juta gram beras. Misalkan setiap orang Indonesia membutuhkan 200 gram beras setiap kali makan, maka 20 juta gram beras tersebut bisa memberi makan 90 ribu-an orang miskin Indonesia. Itu kalau hanya 1 butir nasi yang dibuang setiap kali makan. Kita biasanya membuang puluhan hingga ratusan butir nasi. Artinya, butiran nasi yang kita buang setiap kali makan sebenarnya sudah cukup untuk memberi makan seluruh masyarakat miskin Indonesia.
Lantas, apa yang mestinya kita lakukan? Pertama, daripada kita membuang sebutir nasi, lebih baik kita mendonasinya kepada orang lain sebelum dibuang. Kedua, membiasakan diri untuk makan secukupnya agar tidak sampai tersisa karena kekenyangan. Ketiga, berupaya untuk tidak menjatuhkan remah nasi, apalagi dengan sengaja membuangnya.
Sekali lagi, kita bertanggung jawab untuk memastikan pangan tetap tersedia dari generasi ke generasi agar populasi manusia tdak berhenti hanya sampai di zaman ini.Â
Ketahuilah, "Kita hanya merusak tanah kita untuk menanam makanan yang tidak dimakan siapapun" (Tristram Stuart)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H