Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Freelancer - Yohanes W. Hayon

Suka membaca, malas makan, dan senang berjumpa dengan sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayi Yesus Itu Seorang Perempuan

25 Juli 2021   17:09 Diperbarui: 25 Juli 2021   17:11 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Banyak orang mengira bahwa bayi yang kulahirkan ini seorang laki-laki. Cukup masuk akal karena pada saat itu, Yoseph lupa membawa pelita. Dan di dalam sebuah kandang hewan yang pengap, gelap, dan berdebu itu, kulahirkan anakku. 

Air mataku tumpah. Begitu besar suka cita yang meledak di balik dadaku. Tak kupedulikan ramalan si imam tua, Simeon, ketika beberapa minggu yang lalu, kami bertemu di Kenisah. Katanya, bayiku akan menjadi putera Allah Yang Maha Tinggi dengan diiringi sorak sorai para malaikat, dan sebagainya. Tapi, apa peduliku. Yang kutahu saat ini, bayiku lahir dengan selamat. 

Akan ada begitu banyak tanggung jawab yang harus kuemban untuk membesarkan dan merawat hidupnya. 

Jujur, aku tidak bisa membayangkan. Tentang makanan apa yang hendak ia makan? Bagaimana cara membuatnya lelap di ketiakku? Menghindarkan dia dari sengatan matahari pun gigitan nyamuk yang luar biasa banyaknya di tempat ini? Atau apakah setelah dewasa nanti ia akan menjadi perempuan sederhana sepertiku atau paling kurang tidak menuntut seperti suamiku? Dan yang paling penting adalah bagaimana caranya agar puteriku ini selamat dari incaran tua-tua adat di kampung?

Sebagai seorang wanita yang belum menikah secara resmi, wajarlah ketakutan seperti itu menghantuiku. Apalagi tipikal suamiku yang terlampau pendiam, membuatku semakin dirundung gelisah. 

Kadang-kadang, ketika sendirian, kembali kuingat janji Gabriel yang mengunjungiku beberapa bulan yang lalu. 

Harapanku, mudah-mudahan ia bukan tipe malaikat yang suka ingkar janji.

Kalian tahu? Mungkin akulah wanita pertama yang menangis karena cinta. Angin garang Yerusalem menubruk wajahku. Bahkan air yang menetes dari mata mendadak kering sebelum mencapai sekujur pipiku. 

"Hai kalian yang lewat di jalan ini dan membaca tulisanku, adakah duka sebesar duka citaku ini"?

Aku tidak peduli apakah itu demi kebaikan dan keselamatan orang banyak. Aku hanya ingin anakku kembali. Aku ibu kandungnya! 

Apakah kalian sama sekali tidak memahami betapa sakitnya hati seorang ibu? 

Telah kujaga, kurawat dan kubesarkan ia dengan susah payah bukan main. Jangankan diolok oleh teman sepermainannya. Sewaktu kecil, ketika hendak berjalan untuk pertama kalinya dan ia terjatuh, diam-diam aku mengutuki diri. 

Diam-diam aku merasa belum pantas menjadi seorang ibu baginya ketika dengan tegas ia berujar, "Ibu dan saudara-saudariku adalah mereka yang melaksanakan kehendak Bapaku". 

Apakah didikanku salah sehingga ia tega mengkhianati perasaanku di hadapan orang banyak? Belum cukupkah penderitaan yang kutanggung selama ini, ketika di pasar, ibu-ibu mencibirku sebagai wanita sundal?

Sekali lagi, jujur, sebenarnya, ingin kupendam semua perkara ini di dalam hatiku. Namun akhirnya aku gagal. Tubuh yang dulu kutimang dan kini tergantung di atas kayu itu menyebabkan bendungan di mataku jebol. 

Aku menangis sambil terus mengutuki diriku yang terlampau lemah. Aku menangis karena tak percaya pada apa yang kulihat saat ini: Tubuh anakku digantung bagai penjahat. 

Dan sejak saat itu, mulai dari Yerusalem, Roma, Amerika, Jawa, hingga NTT, beberapa perempuan lalu dianggap sebagai penjahat. Salah satunya adalah puteriku.

Kadang-kadang, ketika hari menjelang malam, di mana Yoseph tampak begitu kelelahan karena tekun bekerja, dan petani gandum bergegas pulang ke rumah, aku duduk di tepi sungai Galilea sambil membayangkan seandainya yang tergantung di salib itu ialah aku. Bukan puteriku.

(2014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun