Telah kujaga, kurawat dan kubesarkan ia dengan susah payah bukan main. Jangankan diolok oleh teman sepermainannya. Sewaktu kecil, ketika hendak berjalan untuk pertama kalinya dan ia terjatuh, diam-diam aku mengutuki diri.Â
Diam-diam aku merasa belum pantas menjadi seorang ibu baginya ketika dengan tegas ia berujar, "Ibu dan saudara-saudariku adalah mereka yang melaksanakan kehendak Bapaku".Â
Apakah didikanku salah sehingga ia tega mengkhianati perasaanku di hadapan orang banyak? Belum cukupkah penderitaan yang kutanggung selama ini, ketika di pasar, ibu-ibu mencibirku sebagai wanita sundal?
Sekali lagi, jujur, sebenarnya, ingin kupendam semua perkara ini di dalam hatiku. Namun akhirnya aku gagal. Tubuh yang dulu kutimang dan kini tergantung di atas kayu itu menyebabkan bendungan di mataku jebol.Â
Aku menangis sambil terus mengutuki diriku yang terlampau lemah. Aku menangis karena tak percaya pada apa yang kulihat saat ini: Tubuh anakku digantung bagai penjahat.Â
Dan sejak saat itu, mulai dari Yerusalem, Roma, Amerika, Jawa, hingga NTT, beberapa perempuan lalu dianggap sebagai penjahat. Salah satunya adalah puteriku.
Kadang-kadang, ketika hari menjelang malam, di mana Yoseph tampak begitu kelelahan karena tekun bekerja, dan petani gandum bergegas pulang ke rumah, aku duduk di tepi sungai Galilea sambil membayangkan seandainya yang tergantung di salib itu ialah aku. Bukan puteriku.
(2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H