Kalau filsafat manusia menempatkan manusia sebagai titik tolak dalam berfilsafat, kalau filsafat ketuhanan menjadikan tuhan sebagai tema pokok pembahasan, lalu di manakah status ilmiah seorang mantan dalam filsafat?Â
Ini pertanyaan penting dalam rangka memperbaiki politik representasi para mantan di parlemen.
Ignas Kleden pernah menulis, "peranan filsafat pada masa kini sebaiknya difokuskan pada kedudukannya sebagai ilmu yang berorientasi pada pendidikan dengan tugas khusus melakukan pencerahan dan pembebasan, sebagaimana dimaksudkan oleh filosof Kant yaitu melepaskan orang dari ketidak-matangan yang sering mereka ciptakan sendiri".
Terciptanya mantan di atas muka bumi ini sebenarnya disebabkan oleh ketidak-matangan tersebut. Kalau Anda sudah matang, saya yakin 100% tidak mungkin saat ini Anda jomblo.Â
Di sini, level kematangan diukur berdasarkan kualitas pengetahuan untuk mempertanyakan segala sesuatu termasuk alasan mengapa sampai saat ini Anda masih disebut mantan bahkan ketika si Dia sudah menikah .
Bagi saya, fakultas Filsafat di mana pun hendaknya merasa terpanggil untuk menjadikan filsafat mantan sebagai salah satu cabang ilmu. Seperti ilmu pengetahuan pada umumnya, filsafat mantan juga mengandung dua hal yang mesti dibedakan yaitu masalah genesis pengetahuan dan masalah validasi atau pengujian pengetahuan.Â
Pada yang pertama, Anda perlu menganalisis asal usul munculnya pengetahuan tentang mantan baik itu melalui persepsi indrawi maupun secara eviden dalam kesadaran. Sedangkan pada yang kedua, Anda perlu menguji kembali (verifikasi) sejauh mana kesimpulan yang dibuat bisa dipertanggungjawabkan.
Contohnya: Ada orang yang percaya kalau Rini itu otomatis sudah menjadi mantannya ketika pada suatu sore, di depan taman renung bung Karno di Ende, dia "lihat dengan mata kepala" Rini sedang berciuman dengan lelaki lain (persepsi indrawi). Atau tanpa perlu pembuktian konkrit, Hans lalu percaya bahwa Sisilia itu mantannya karena 2 menit yang lalu mereka telah sepakat untuk putus (pada level kesadaran).
Nah, untuk menguji keabsahan hipotesis di atas, Anda perlu mengecek kesesuaian antara metode, sistematika, referensi, dan keakuratan penelitian dengan hasil yang dicapai. Tidak mungkin Anda membuat kesimpulan logis dari dua  jenis premis yang timpang kan? Apalagi mantan.
Menempatkan mantan dalam diskurus berarti membuka ruang berpikir demi menemukan sejauh mana peranan mantan dalam kehidupan sosial. Karena mantan merupakan bagian dari masyarakat maka berbicara tentangnya juga berarti menganalisis jenis struktur masyarakat yang menjadikan seseorang mantan. Nah, karena filsafat terbatas dalam metode, Anda butuh disiplin ilmu sosial lain seperti sosiologi, antropologi, hukum, dan lain-lain.Â
Mengapa?Â
Ya, karena filsafat cukup kesulitan menganalisis kasus putus hubungan karena salah kirim emoticon melalui wa atau pesan di fesbuk, misalnya. Anda butuh, katakan saja, netnografi.
Lalu, apa peran filsafat mantan? Menjawabi pertanyaan ini, kita perlu sejenak memikirkan konsekuensi-konsekuensi etis dan politis dari tindakan me-mantan-kan seseorang atau sekelompok orang.Â
Saya katakan demikian karena sejak Auschwitz, tulis Ardono, rasa takut akan mati berarti rasa takut akan yang lebih buruk ketimbang mati. Dengan kata lain, menjadikan seseorang itu mantan karena takut kemapanan kekuasaanmu diusik adalah jauh lebih buruk daripada kemapanan itu sendiri.
Tepat di situlah, membincang mantan, berarti menguak masa lampau bangsa ini. Sebab satu-satunya penanda bahwa bangsa ini belajar dari sejarah adalah bahwa ia tidak mempelajari sejarah sama sekali. Tidak mengherankan jika mental dan kondisi psikis bangsa ini mengingatkan saya pada Erich Kastner dalam In Memoriam Memoriae, siapa lupa akan yang indah, dia akan jadi jahat. Siapa lupa akan yang buruk, dia akan jadi bodoh. Atau mengutip Orwell, who controls the past, controls the future. Who controls the present, controls the past.
Saya kira, inilah alasan utama mengapa filsafat mantan dan psikoanalisa tidak dipelajari secara masif di Indonesia dibandingkan Marxisme. Akibatnya, kelas-kelas sosial kita berisi anggota yang rentan depresi dan mudah diperlakukan seperti mantan-mantan 65/66.Â
Oleh sebab itu, saya berharap menteri pendidikan perlu memikirkan adanya fakultas atau program studi filsafat mantan dalam rangka memulihkan sekaligus mengobati luka-luka dan derita tidak sedikit rakyat Indonesia saat ini.Â
Dengan cara demikian, kita diajarkan untuk tidak mudah lupa pada masa lampau karena kata Milan Kundera, sastrawan Cekoslovakia dalam bukunya The Book of Laughter Forgetting: the struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting (perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingat melawan lupa).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI