Mohon tunggu...
Yohanes Apriano Dawan Fernandez
Yohanes Apriano Dawan Fernandez Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang putra daerah yang saat ini menetap di kota industri yang hirup pikuk. Terkadang hal kecil menjadi inspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mencari Kayu Bakar di Hutan Lewotobi

23 Februari 2012   01:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:18 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jalan Trans Flores dengan latar gunung Lewotobi Sumber(seruu.com)

Mei 1995 saya menamatkan sekolah dasar di SDK Don Bosco 3 Kupang dan kedua orang tua saya memutuskan untuk menyekolahkan saya ke SMPK Sactissima Trinitas Hokeng, sebuah SMP Katolik yang dikelola oleh biarawati SSpS (Servae Spiritus Sanctus) atau dalam bahasa Indonesia berarti Suster Misi Abdi Roh Kudus yaitu sebuah ordo suster yang berkarya dalam berbagai bidang, salah satunya adalah pendidikan. Keputusan ini dilakukan karena kelakuan saya yang sangat nakal sehingga --menurut mereka-- saya harus dididik di dalam asrama yang penuh kedisiplinan.

Asrama yang letaknya 55 km dari kota Larantuka, Flores Timur ini terletak di desa Hokeng Jaya, sebuah desa di bawah kaki gunung Lewotobi dan diapit oleh kebun kopi peninggalan Belanda yang membentang dari timur hingga ke barat. Sekolah tersebut menempati area yang sangat luas bersama asrama putera (Emaus II), Asrama Puteri (St. Agnes), Biara Suster SSpS, Mess karyawan dan karyawati, kuburan para suster sejak zaman Belanda serta area kebun buah dan bunga yang cukup luas. Suasana malam di lingkungan sekolah ini sangat tenang karena letaknya agak jauh dari jalan raya lintas Flores, namun sedikit mencekam karena bersebelahan dengan area pemakaman suster yang sebagian sudah meninggal sebelum kemerdekaan RI.

Pada tahun itu saya resmi menjadi siswa baru SMPK Sactissima Trinitas dan anak asrama Emaus II --Ada juga Emaus I dan III yang terletak di luar kompleks susteran-- meski tangisan Ibu dan adik bungsu yang baru berumur 3 tahun membuat saya berat berpisah dengan mereka yang turut mengantar. Walaupun begitu, saya berusaha beradaptasi dengan kehidupan asrama yang benar-benar baru dan asing. Pada awal kehidupan di asrama surat dari ibu selalu saya simpan di bawah bantal dan dibaca berulang kali, namun lama kelamaan hal itu tidak saya lakukan lagi karena sudah memiliki banyak teman.

Hidup mandiri di asrama untuk anak usia 12 tahun memang cukup berat, namun perlahan saya berusaha melakukannya termasuk mencari kayu bakar untuk kebutuhan memasak di asrama. Kayu bakar menjadi kebutuhan pokok di asrama kami karena perabotan dapur --dandang untuk memasak nasi, kuali, dll-- rata-rata berukuran besar karena porsinya sangat banyak untuk sekitar 100 orang. Berbeda dengan asrama puteri yang kebutuhan kayunya dipasok oleh para karyawan susteran (biara suster), kebutuhan kayu di asrama putera dicari sendiri oleh anak asrama.

Pencarian kayu bakar tergantung informasi stock kayu dari anak asrama yang bertugas di pos belah kayu. Pos belah kayu terdiri dari seorang ketua, wakil dan beberapa anggota yang memiliki postur tubuh (harus) kekar karena bertugas membelah kayu yang dikumpulkan dengan menggunakan kapak dan parang. Jika stock kayunya menipis maka segenap anak asrama dikerahkan oleh bapak asrama untuk mencari kayu di dua tempat yaitu di kebun kopi yang berada di sekitar jalan trans Flores atau di hutan yang membatasi asrama kami dengan gunung Lewotobi. Biasanya kami disuruh mencari kayu di dalam hutan Lewotobi ketimbang di area kebun kopi. Saya dan beberapa teman yang lahir dan dibesarkan di kota agak kesulitan mencari kayu, namun kami belajar dari teman-teman yang berasal dari desa karena mereka sudah terbiasa mencari kayu di dalam hutan.

Waktu pencarian kayu ini biasanya dilakukan pada sore hari sekitar pukul 15.00 wita setelah bagun tidur siang hingga selesai . Rata-rata pencarian kayu bakar ini berlangsung sampai pukul 18.00 atau lebih tergantung orang yang terakhir membawa pulang kayu. Beruntung bagi yang cepat menemukannya karena bisa segera pulang dan melakukan aktivitas lain di asrama. Biasanya bapak asrama dan ketua asrama akan menunggu di gerbang asrama untuk mencatat kayu yang dibawa oleh kami dan jika tidak memenuhi syarat --kayunya sedikit, kecil, atau jenis kayu yang tidak bisa dipakai untuk memasak-- maka yang membawanya akan disuruh kembali ke hutan untuk mencari kayu yang memenuhi syarat. Pencatatan ini juga bertujuan agar semua anak asrama benar-benar mencari kayu bakar dan akan ketahuan jika ada yang tidak menjalankannya. Oleh karena kami (kelas I) belum mengenal area hutan maka kami mengikuti kakak kelas dan setelah masuk ke dalam hutan baru kami berpencar mencari kayu bakar yang dibutuhkan.

Kondisi Hutan

13299559141363624269
13299559141363624269
Gunung Lewotobi perempuan (Sumber/beritakawanua.com)

13299565281137824158
13299565281137824158
gunung lewotobi perempuan dan laki-laki (Sumber/parbleu.biz)

Hutan Lewotobi dan pemukiman dibatasi oleh kebun warga yang ditanami pohon kemiri, kopi, kakao (coklat) serta beberapa ladang jagung, singkong, kacang tanah dan jenis tanaman ladang lainnya. Hutan Lewotobi merupakan tipe hutan muson seperti hutan di dataran Flores pada umumnya yang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun