Pencurian tidak sebatas uang tetapi bisa juga seragam sekolah, jam tangan, perlengkapan mandi, makanan --anak asrama biasanya dikirim cemilan oleh orang tua-- bahkan hal yang tidak bisa dimengerti dengan akal sehat yaitu pakaian dalam. Himbauan sering dan selalu dilakukan namun praktek ini selalu terjadi di setiap angkatan. Pencurian barang-barang tersebut rata-rata dilakukan oleh perorangan, namun ada juga pencurian massal yang menjadikan asrama seolah-olah menjadi "sekolah" yang mencetak pencuri. Barang yang dicuri nilainya tidak seberapa namun praktek ini bisa menjadi kebiasaan buruk.
Pengalaman saya biasanya objek pencurian massal ini adalah buah atau tanaman yang ditanam di sekitar asrama. Oleh karena sekolah saya adalah sekolah Katolik maka biasanya di sekitar asrama ada banyak buah-buahan yang ditanam oleh biarawan biarawati serta para karyawanya. Mangga, alpukat, bengkoang, nanas, singkong dan tanaman lain sering menjadi sasaran pencurian anak asrama untuk dikonsumsi bersama. Kenakalan remaja yang saat itu dianggap biasa oleh anak asrama namun bisa menjadi kebiasaan yang buruk.
Solusi
Setelah sekian lama meninggalkan kehidupan asrama, saya berusaha merefleksi kembali perilaku menyimpang tersebut dan dikaitkan dengan kehidupan asrama maka satu masalah yang dapat disimpulkan adalah kurang pendekatan personal terhadap anak asrama. Biasanya anak asrama mencapai ratusan tetapi hanya diawasi oleh satu bapak asrama yang seharusnya dibantu oleh ketua asrama serta para senior. Sayangnya ketua asrama hanya menjalankan tugas formalnya tanpa melakukan pendekatan dan pengawasan informal. Para senior yang diharapkan membantu ketua asrama ternyata juga melakukan hal yang sama sehingga kondisi demikian sulit diatasi. Beban tugas bapak asrama yang terlalu besar ini akan sulit dilakukan karena ia tidak bisa memahami murid satu per satu, hal berbeda jika murid tinggal bersama orang tuanya karena dapat dikontrol selama 24 jam.
Berkaitan dengan hal di atas maka hal pertama yang harus dilakukan adalah bapak asrama harus melakukan pendekatan terlebih dahulu terhadap senior secara terus menerus dan mencoba menjelaskan fungsi peran dan jabatan yang dimilikinya. Penjelasan jika mampu mendoktrin --bisa berupa pedidikan kepemimpinan-- para senior agar jabatan yang diemban dapat dilakukan secara efektif tanpa menimbulkan dampak negatif. Mungkin tugas ini lebih mudah dilakukan oleh bapak asrama yang tidak kaku atau mudah melebur dalam pergaulan anak-anak asrama.
Jika hal itu sudah dilakukan maka ketua asrama beserta wakilnya serta para senior dapat dijadikan pembantu bapak asrama yang efektif dalam menata kehidupan di asrama, baik dalam kegiatan formal maupun informal. Hal ini bisa memutus rantai kekerasan --harus diputus satu angkatan agar angkatan berikutnya tidak melakukan lagi-- dan mampu mengontrol perilaku "liar" anak asrama yang semakin dikekang justru semakin banyak melanggar aturan.
Tak dipungkiri bahwa asrama juga banyak "melahirkan" individu-individu yang sangat disiplin dan menjadi pemimpin atau profesional di bidangnya masing-masing. Kebanyakan pemimpin daerah di NTT merupakan alumni dari sekolah asrama saya sewaktu SMP dan SMA --banyak juga tokoh-tokoh nasional yang berasal dari NTT-- namun pada sisi lain tidak sedikit juga yang hidupnya hancur karena kekerasan dan perilaku buruk sangat dominan dalam hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H