Mohon tunggu...
Yohanes Apriano Dawan Fernandez
Yohanes Apriano Dawan Fernandez Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang putra daerah yang saat ini menetap di kota industri yang hirup pikuk. Terkadang hal kecil menjadi inspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Golkar dan Memori Masa Kecil

21 Februari 2012   01:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:24 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_172481" align="aligncenter" width="567" caption="Ilustrasi(ideguenews.blogspot.com)"][/caption]

Hingga sekarang saya masih kagum dengan hegemoni Golkar selama pemerintahan Orde Baru yang dapat membuat seorang anak kecil menjadi begitu fanatik. Anak kecil itu saya, saudara saya dan teman-teman yang kebanyakan orang tuanya adalah PNS. Pemilu tahun 1987 adalah pemilu pertama yang saya ingat --karena saya lahir pada awal dekade 80 an-- namun saya tidak terlalu mengikuti hingga pemilu berikutnya tahun 1992. Saya belum cukup umur untuk mengikuti pemilu namun perkembangannya pada tahun itu selalu saya ikuti, sejak kampanye hingga proses penghitungan suara yang sangat mendebarkan.

Latar belakang keluarga kami bukan keluarga politik karena orang tua saya tidak pernah berkecimpung dalam politik praktis kecuali kakek saya yang pernah menjadi pengurus Partai Katolik (Parkat) pada zaman Orde Lama. Kedua orang tua saya pun dulunya adalah konstituen dari Parkat namun ketika ada kebijakan fusi yang melebur Multipartai menjadi Tripartai maka mereka pun beralih menjadi pendukung Golkar, apalagi ayah saya sudah menjadi seorang PNS.

Sebenarnya ayah saya memiliki pengalaman yang buruk berkaitan dengan Golkar. Beliau pernah tidak lolos menjadi seorang taruna Akademi Pendidikan Dalam Negeri (APDN) --saat ini STPDN-- karena panitia yang mengenali ayah saya mengetahui bahwa beliau adalah pendukung Parkat yang saat itu menjadi saingan Golkar di Larantuka, kabupaten Flores Timur, NTT. Menurut cerita ibu, berkas ayah saya sengaja dibuang ke dalam tempat sampah. Kegagalan ini membuat beliau kecewa dan akhirnya memutuskan merantau ke Surabaya dan bersekolah pada sebuah akedemi maritim. Saat kembali ke kampung halaman, beliau menjadi PNS di perhubungan laut dan menghabiskan waktu bekerjanya hingga pensiun di lingkungan pelabuhan.

Ternyata menjadi PNS membuat beliau melupakan masa lalu dan menjadi seorang pendukung setia Golkar. Golkar menjadi partai penguasa atau pemerintah sehingga mobilisasi PNS untuk mendukung Golkar sangat masif bahkan keluarganya pun turut dimobilisasi pada saat kampanye. Secara tidak langsung doktrin untuk mendukung Golkar sudah tertanam dalam benak kami sejak kecil. Saya masih ingat ketika ayah pulang bekerja dan membawa sekarung beras yang merupakan jatah PNS setiap bulan dan ibu selalu mengatakan bahwa ini beras Golkar. Golkar yang memberikaannya jadi kita harus berterima kasih dan pada saat pemilu harus memilih Golkar. Pemilu yang berasaskan Langsung Umum Bebas Rahasia (Luber) saat itu ternyata tidak rahasia lagi.

Masa kampanye merupakan masa yang paling kami tunggu karena suasana begitu meriah dengan persaingan yang kental terasa. Kami para anak kecil pendukung Golkar selalu menunggu kedatangan rombongan Golkar yang pasti melewati jalan di depan rumah dan teriakan hidup Golkar selalu kami serukan. Hal berbeda ketika yang lewat adalah rombongan PDI, karena kami pasti akan mengejeknya. Sungguh pendidikan politik yang sangat sempit karena kami tidak rela jika ada sticker PDI yang ditempel pada sebuah gerobak baso padahal sudah tertempel sticker Golkar di situ. Kejadian ini membuat saya dan teman-teman sangat kesal dan langsung melaporkan pada orang tua kami. Mereka menanggapi dengan tersenyum dan mengatakan bahwa jangan takut Golkar pasti menang.

Fanatisme saya terhadap Golkar sungguh "tulus" --saya tidak tahu ada faktor lain yang mempengaruhi ini-- karena di benak saya ketika menjelang pemilu hanyalah angka dua yang disimbolkan dengan tegaknya jari telunjuk dan jari tengah. Saya pernah melukis jari telunjuk dan jari tengah yang merupakan simbol Golkar sebagai partai yang bernomor dua. Hasil lukisan tersebut saya gunting dan ditempelkan pada papan tulisan tempat pembuangan sampah di seberang rumah saya. Tujuannya adalah agar setiap orang yang lewat melihat "prakarya" saya tersebut karena tertulis juga I Love Golkar.

Saat penghitungan suara pun menjadi pengalaman yang mengasyikan karena saya ingin memastikan bahwa Golkar harus menang, meski hal tersebut sudah dapat ditebak pada setiap Pemilu. Rekapitulasi yang dilakukan oleh TVRI menjadi saat-saat yang menegangkan karena saya juga ingin Golkar menang lebih banyak lagi. Ketika muncul tulisan propinsi NTT dimenangkan oleh Golkar maka kami sekeluarga bergembira --meski banyak kecurangan yang terjadi-- apalagi banyak daerah lain yang juga dimenangkan oleh Golkar. Golkar selalu menang dan selalu menjadi yang terbaik.

Pemilu tahun 1997 euforia Golkar tidak lagi saya rasakan karena saya sudah tinggal di asrama dan saya juga belum genap 17 tahun jadi belum bisa mengikuti Pemilu. Bapak asrama saya yang juga guru PPKN --sekolah swasta jadi bukan PNS-- merupakan pendukung fanatik PDI yang selalu membanggakan partai kesayangannya. Ada rasa kesal tetapi hanya saya pendam, namun perkembangan situasi di Jakarta yang selalu kami ikuti melalui televisi parabola di asrama membuat keyakinan saya mulai luntur. Soeharto dan Golkar menjadi sasaran tuduhan para aktivis '98 sebagai biang kerok kehancuran negeri ini yang terlilit utang dan jatuh dalam krisis Monoter yang dampaknya sangat luar biasa.

Sejujurnya situasi NTT tetap adem ayem, tidak ada pergolakan yang berarti sehingga mahasiswa Universitas Nusa Cendanan (Undana) Kupang harus dikirim pakaian dalam wanita oleh mahasiswa di Jakarta sebagai bentuk ketidakjantanan. Hal ini memicu mahasiswa Undana untuk turut serta melakukan aksi menolak Soeharta dan Golkar. Banyak pertanyaan yang bergejolak di dalam hati saya, apakah semua ini benar adanya? Golkar tidak sesempurna yang saya bayangkan, justru memiliki banyak cela yang sungguh memalukan. Dalam beberapa kesempatan saya mengungkapkan semua yang ada di benak pada orang tua dan sering terjadi perdebatan antara kami. Orang tua saya tetap menjadi pendukung Soeharto, pendukung Golkar.

Pasca Reformasi semakin banyak buku tentang dosa masa lalu Soeharto dan Golkar yang diterbitkan dan ketika menjadi mahasiswa di Yogyakarta pemahaman saya semakin terbuka dan Golkar kini menjadi kenangan. Golkar tidak dibubarkan seperti tuntutan para aktivis '98 namun bermetafora menjadi Partai Golkar. Mungkin banyak reformasi yang juga dilakukan oleh partai yang berlambang beringin ini dan kini Abdulrizal Bakrie sudah menyatakan siap menjadi calon presiden pada pilpres tahun 2014 namun saya belum berminat untuk memilihnya. Bagaimana dengan anda?

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun