[caption id="attachment_168255" align="aligncenter" width="267" caption="Sumber: Andika Ramadhani"][/caption] Pada akhir dekade 80-an saat saya mulai meninggalkan masa balita dan memasuki sekolah dasar di kota Kupang --ibukota propinsi NTT--, sosok nenek Isabela "muncul" dan membekas dalam memori saya hingga sekarang. Nenek Isabela hadir dalam hidup saya buka karena terjalin hubungan darah di antara kami, tetapi karena ia berasal dari kota yang sama dengan orang tua saya (Larantuka) di ujung timur pulau Flores. Oleh karena kota ini cukup kecil --luas kelurahan di kota ini hanya separuh dari kelurahan di pulau Jawa-- maka masyarakatnya saling mengenal satu sama. Hal yang sama terjadi jika berada di perantauan, bahkan hanya antar individu tetapi mencakup keluarga besar. Oleh karena itu orang tua saya mengenal nenek Isabela dan keluarganya begitupun sebaliknya. Singkat kata nenek Isabela pun sering berkunjung ke rumah kami, namun karena kondisi ekonominya yang sulit maka setiap kali kunjungan ia selalu meminta uang, beras bahkan pakaian. Hal ini sering membuat orang tua saya bingung karena kondisi keluarga kami juga pas-pasan, apalagi mereka memiliki tiga anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Saat itu nenel Isabela beranggapan bahwa ekonomi kami sudah cukup mapan karena ayah saya yang bekerja sebagai PNS, padahal masih golongan IIb. Pada awalnya ibu masih memberikan uang dan beberapa sembako karena prihatin dengan kehidupannya, namun hal ini menjadikan intensitas kedatangan nenek Isabela ke rumah kami semakin sering. Tolakan secara halus ternyata tidak membuat nenek Isabela mengurungkan niatnya, ia malah makin mendesak ibu saya untuk memenuhi permintaannya. Menurut ibu saya, sifat nenek Isabela yang cenderung memaksa ini sesuai dengan gelarnya yang selama ini --entah sejak kapan-- disematkan pada dirinya, yaitu Suanggi. Menurut bahasa daerah kami --juga bahasa daerah lain di Indonesia Timur-- Suanggi berarti setan. Jika seseorang dikatakan Suanggi maka berarti ia setengah manusia setengah setan atau istilah populernya dukun santet, namun yang membedakan ini bukan profesi. Dikatakan setengah manusia setengah setan karena ia memiliki ilmu hitam yang diperoleh dengan melakukan persekutuan bersama setan. Bulu kuduk saya langsung merinding ketika ibu bercerita tentang nenek Isabela yang bergelar Suanggi. Hingga sekarang saya belum mengetahui awal nenek Isabela dikatakan sebagai suanggi, namun menurut ibu semua orang Larantuka yang tinggal di Kupang pasti mengenal beliau sebagai seorang Suanggi. Saat itu saya sangat mempercayai hal tersebut karena dilihat dari wajah yang cukup seram serta sikapnya yang cenderung memaksa. Hal lain yang membuat saya percaya bahwa nenek Isabela adalah Suanggi adalah karena beliau "takut" dengan daun kelor dan garam. Terkadang jika terdesak oleh keinginan nenek Isabela maka ibu saya sengaja menawarkan daun kelor untuk dibawa pulang dan seketika itu juga tubuhnya menggeliat sambil menolak seperti ketakutan. Ia langsung pamit pulang tanpa meneruskan keinginannya lagi. Ibu saya biasanya sudah menyiapkan daun kelor ketika melihat nenek Isabela turun dari angkot di dekat rumah kami. Hal yang saat ini bagi saya merupakan kisah lucu karena kita seperti mempersenjatai diri, namun dengan daun kelor :). Mungkin karena itu ayah saya menanam pohon kelor di belakang rumah kami sejak pertama kali menempatinya. Selain berfungsi menghadapi nenek Isabela, daun dan buah daun kelor kami manfaatkan menjadi sayuran --masyarakat Larantuka menyebutnya sayur merungge. Daun kelor digunakan oleh Ibu jika terpaksa karena sikap beliau cenderung bersikap dualisme. Pada satu satu sisi prihatin dengan kehidupan nenek Isabela namun pada sisi lain tidak suka dengan sifat memaksa serta citra suanggi yang melekat pada dirinya. Lain daun kelor, lain pula dengan garam. Seingat saya garam hanya sekali digunakan ketika nenek Isabela datang ke rumah kami dan meminta Opa saya --kebetulan Opa sedang mengunjungi kami-- untuk mengurusi pensiun ayahnya yang sudah meninggal sejak zaman Belanda. Opa saya adalah pengurus organisasi pensiunan guru, namun menolak mengurusi pensiunan ayah nenek Isabela yang sudah sangat lama. Oleh karena nenek Isabela terus memaksa maka saya ditugaskan oleh Ibu untuk menaburkan garam di belakang tempat duduknya. Dengan wajah polos saya menjalankan misi ini dan ternyata sukses karena nenek Isabela langsung beranjak pulang dengan wajah marah, meski garam tersebut saya tumpuk bukan ditabur seperti instruksi ibu :-). Entah kebetulan atau tidak, ketika pulang ke Larantuka Opa saya sakit keras tanpa diketahui sakitnya dan untungnya sembuh setelah didoakan oleh seorang Pastor. Salah satu kisah lucu namun mendebarkan --sekaligus menutup kisah tentang nenek Isabela ini-- adalah ketika ibu bersama adik menjemput saya sepulang sekolah. Tanpa disengaja kami bertemu dengan nenek Isabela, namun jaraknya masih agak jauh. Spontan ibu mencoba menghindar dengan setengah berlari --sambil menggandeng tangan kami-- memasuki sebuah toko perlengkapan sekolah. Ternyata nenek Isabela sudah melihat kami dan beliupun mengikuti kami hingga ke toko tersebut. Untung saja toko itu memiliki dua pintu sehingga kami "meloloskan" diri dengan keluar melalui pintu lain tanpa diketahui olehnya. Kami langsung menumpang angkot --bukan jurusan rumah kami-- menuju ke pusat pertokoan yang cukup jauh dari tempat semula. Rencana awal adalah menghindar sejauh mungkin dari nenek Isabela sekaligus menumpang angkot yang menuju ke rumah kami. Kami pun tiba di pusat pertokoan tersebut dan merasa lega karena berhasil menghindari nenek Isabela. Sambil berjalan di trotoar pertokoan yang padat pengunjung kami sesekali menoleh untuk melihat angkot jurusan rumah kami. Kebetulan kami tiba di depan toko musik yang sedang menyetel sebuah lagu yang sangat hits saat itu yaitu Isabela. Secara kebetulan pula lagu yang diciptakan oleh Amy "search" tersebut baru disetel dan kata pertama yang kami dengar adalah Isabela. Sembari menoleh melihat angkot yang lewat, ternyata nenek Isabela sudah berada di belakang kami. Hal ini membuat kami kaget dan kami pun harus berlari lagi hingga meninggalkannya cukup jauh. Bersyukur di ujung pertokoan kami menemukan angkot jurusan rumah kami dan hari itu kami "lolos" dari nenek Isabela. Saya dan adik saya yang masih kecil merasakan pengalaman ini sangat mendebarkan, namun kini kami tertawa karena ini merupakan pengalaman lucu yang tak terlupakan :-). Nenek Isabela meninggal dunia ketika saya sudah duduk di bangku SMP pada pertengahan dekade 90 an. Ia meninggal dalam kemiskinan karena tidak jelas apa pekerjaannya --menurut ibu ia terkadang berjualan di pasar. Setahu kami perekonomiannya cukup bergantung pada orang Larantuka yang sering dimintainya uang atau sembako. Hingga saat ini saya masih berpikir apakah ia benar seorang Suanggi? Apakah benar ia memiliki ilmu hitam? Bagi saya ia mendapatkan gelar itu karena sifatnya yang cenderung memaksa sembari mengeluarkkan kata "kutukan" ketika permintaan uang dan sembakonya tidak dipenuhi. Masyarakat selalu mencari pembenaran dari setiap fenomena yang mereka alami, entah karena sakit atau hal lainnya. Kebetulan nenek Isabela cocok dengan citra itu karena karakternya sehingga gelar Suanggi disematkan sebagai identitas dirinya. Nenek Isabela bukan merepresentasi dunia mistis, namun ia merupakan cerminan sosial, cemin kemiskinan. Semoga bermanfaat :-)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H