Bisa dibayangkan betapa sederhananya kehidupan para nelayan Indonesia ini. Jangankan merasakan kemewahan kota Jakarta, untuk sekolah saja tidak cukup.
Selama 11 tahun hidup di Jakarta, belum pernah sekali pun Wardi datang ke Mall di Jakarta. Ia mengatakan “Saya mah gak pernah jalan-jalan, Mbak. Ke Jakarta Kota saya juga belum pernah, ke mall-mall apa lagi, Mbak. Paling ya ke pasar malem deket sini, Mbak, itu aja paling cuma lihat-lihat aja gak beli-beli, gak ada uang. Paling jauh cuma ke depan deket krematorium buat beli jaring kalo jaring lagi rusak.“ Uang melaut mah cukup buat kehidupan sehari aja, sama disisain dikit buat besoknya kalo berangkat ngelaut. Udah, pas itu.”
Kemudian Wardi melanjutkan, “Paling sedih kalo gak bisa melaut, gak ada pemasukan sama sekali, Mbak, jadi ya yang di rumah gak bisa masak, pernah beberapa hari gak melaut gara-gara angin kencang, orang rumah pada puasa semua, Mbak,” lanjutnya sambil tertawa. Saya hanya bisa terdiam mendengarnya. Saya yakin tawa itu hanya menutupi kegetiran hatinya, ketika keluarganya pun sampai tidak bisa makan. “Tapi mah saya bersyukur, Mbak. Walaupun penghasilan pas-pasan tapi seenggaknya masih bisa makan lah, pake uang hasil keringat sendiri lagi. Rasanya bahagia banget bisa menafkahi keluarga pake uang hasil usaha sendiri.”
Dalam hati saya berkata, bagaimana bisa ada orang yang bisa hidup dengan kondisi seperti itu? Wow! Kemampuan bertahan hidup Wardi sungguh patut saya acungi jempol. Dan juga dengan kondisinya yang serba pas-pasan ia masih bisa bersyukur. Luar biasa. Sang penakluk laut ini, Wardi, dengan usianya yang masih muda, dapat bersyukur dengan kehidupannya yang serba pas-pasan. Saya jadi berkaca, apakah saya sudah bersyukur dengan hidup saya saat ini? Pertemuan saya dengan Wardi mengajarkan saya untuk bersyukur, seperti Ia yang juga selalu bersyukur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H