Mohon tunggu...
Yohana Desi Ardianto
Yohana Desi Ardianto Mohon Tunggu... Lainnya - Aparatur Sipil Negara

Yohana merupakan anak ke 3 dari 4 Bersaudara, memulai pendidikan di SDN 1 Karangsari, SMPN 1 Sriagung, STM YPT Pringsewu dan lanjut ke S1 di Institut Keislaman Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang, dan sekarang lagi melanjutkan S2 di Institut Agama Islam Negeri Jurai Siwo Metro Lampung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bagaimana Menjaga Keotentikan dan Kesakralan Al-Qur'an?

29 April 2023   12:42 Diperbarui: 29 April 2023   12:57 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kurang lebih dalam kurun waktu empat belas Al-Qur'an  telah menjadi pedoman umat Islam di seluruh dunia. Dan ajaibnya, selama itu pula Al-Qur'an  tidak mengalami perubahan dalam bentuk, susunan, dan isinya. Oleh karena itu, berbagai kritik dan tuduhan dilancarkan kepada Al-Qur'an  oleh pihak-pihak yang tidak ridho dengan agama Islam. Salah satu yang dicoba untuk diungkap masalah keotentikan Al-Qur'an  yang berada di tangan umat Islam saat ini. Bahkan hal ini sampai pada titik pembuatan Al-Qur'an edisi kritis dengan merevisi muatan dan kandungannya.

Aktor terpenting dalam pengkajian otentisitas Al-Qur'an  adalah para orientalis barat. Mereka mengkaji Al-Qur'an  secara mendalam melalui manuskript-manuskript yang ada, dan karya-karya ulumul quran dari sarjana muslim sendiri, ditambah dengan catatan sejarah umat Islam dengan kacamata filsafat sejarah, sehingga memberi kesan suatu keilmiahan hasil dari penelitian-penelitian tersebut. Metode dan hasil penelitian ini kemudian diajarkan kepada para sarjana muslim dari berbagai belahan dunia yang melakukan studi di barat. 

Yang selanjutnya ide dan gagasan yang “ilmiah” tersebut dibawa pulang ke negara masing-masing dan disebarkan di instusi-instusi pendidikan yang ada. Maka tidak heran jika kajian dan penelitian semacam ini berkembang dengan pesat di Perguruan Tinggi Islam dengan kedok pencarian tradisi kritis dan ilmiah. Dalam penelitian-penelitian ini tatanan Ulumul Quran yang sudah baku dirombak dan diganti dengan teori-teori baru yang muncul dari barat. Sehingga kesimpulan yang didapatkan tidak hanya menyanggah Al-Qur'an  sebagai kitab suci, tapi pada ujungnya dapat menimbulkan keraguan pada benak umat Islam. 

Salah satu aspek kritik Al-Qur'an  yang gencar dituduhkan adalah permasalahan mushaf utsmani. Penyusunan mushaf utsmani dianggap sarat kepentingan politik oleh penguasa (Utsman bin Affan). Disebutkan bahwa dalam mushaf utsmani telah menghapus beberapa ayat dan menambahkan beberapa ayat. Seperti penghapusan ayat yang sabun nuzulnya bani umayyah (karena Usman dari Bani Umayyah). Juga dengan ditunjukkannya perbedaan antara mushaf utsmani dengan beberapa mushaf shohabah, seperti mushaf Ubay bin Ka’ab, mushaf Ibnu Mas’ud, mushaf Ali bin Abi Tholib dan lain sebagainya. 

Seperti diisebutkan bahwa dalam mushaf Ibnu Mas’ud tidak terdapat surat Al Fatihah, Al Falaq, dan surat An Nass. Juga di sana terdapat beberapa bacaan yang berbeda. Dikatakan bahwa Usman dengan semena-mena membakar semua mushaf yang tidak sesuai dengan apa yang telah dia susun. Dari berbagai data ini disimpulkan mushaf utsmani tidak otentik dengan apa yang telah diajarkan Nabi Muhammad SAW. 

Tuduhan-tuduhan tersebut sebenarnya pengulangan beberapa shubuhat seputar pengumpulan Al-Qur'an, dan itu semua telah dijawab oleh ulama-ulama terdahulu dengan argumen yang jelas dan meyakinkan. Para pengusung kritik sejarah pengumpulan Al-Qur'an tampaknya lupa terhadap satu hal. Yaitu pengumpulan Al-Qur'an  dalam pengertiannya yang utama adalah pengumpulannya di dalam hati setiap muslim, atau bisa disebut dengan menghafalkan Al-Qur'an secara utuh, baru kemudian pengumpulannya dalam bentuk buku atau mushaf. 

Alat yang paling mudah untuk menjelasakan masalah pengumpulan Al-Qur'an  adalah kekayaan bahasa Arab dengan adanya satu kata yang dikhususkan penggunakan untuk pembacaan Al-Qur'an. Yaitu kata tala –  yatlu – tilawatan yang artinya membaca/ membacakan. Maksudnya adalah membaca di sini bukan membaca dari tulisan atau buku, tapi membaca dari apa yang dibacakan kepadanya. Seperti Rasulullah SAW membacakan (tala) ayat-ayat Al-Qur'an  kepada para sahabat dari apa yang Ia dengar dari Allah SWT melalui Jibril AS. 

Begitu pula para sahabat membacakan (tala) Al-Qur'an  kepada para tabi’in dari apa yang mereka dengarkan dari rasul, bukan dari mushaf atau tulisan. Tradisi seperti ini berjalan sedemikian rupa sehingga membentuk tradisi periwayatan yang mutawatir, yang artinya tidak perlu dipertanyakan keotentikannya. Karena yang melakukan tradisi seperti ini adalah ribuan orang bahkan bisa dikatakan sampai jutaan orang membacakan hal yang sama. 

Maka masalah penambahan dan pengurangan ayat-ayat Al-Qur'an  yang dilakukan oleh Usman bin Affan tidak mungkin terjadi. Karena para sahabat sudah tentu menjaganya dengan hafalan yang kuat.  Adapun untuk masalah pembakaran mushaf-mushaf lain yang berbeda dengan mushaf utsmani adalah ijma’ sahabat dengan melihat maslahah yang dibutuhkan umat saat itu. 

Itupun para pemilik mushaf merelakannya. Jikalaupun apa yang mereka (para pemilik mushaf lain) pegang dari rasul dengan segala kebenarannya dibandingkan dengan perbedaan yang ada, pastinya mereka tidak akan rela begitu saja apa yang diajarkan oleh Rasul dihapus begitu saja. Maka di sini menunjukkan permasalahan mushaf bukan menjadi masalah keotentikan Al-Qur'an. 

Bagaimana Umat Islam mampu mengejewantahkan kesakralan Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun