Sekolah dan pendidikan adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, dimana ada sekolah disitu akan ada pendidikan. Lantas pendidikan seperti apakah yang diharapkan bisa membawa perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Â
Nilai-nilai kebangsaan di Indonesia seperti benang kusut. Imbasnya bisa kita lihat seperti; maraknya konflik yang disertai dengan kekerasan, para siswa yang hobi tawuran, tentara dan polisi ikut tawuran, pemeluk agama yang anarkis, terorisme, Â masyarakat yang rentan tersulut amarah dan mudah diprovokasi.Â
Pendidikan yang  tidak mampu mengasah ketajaman rasa, feeling dan hati nurani (God spot). Ikatan-ikatan sosial masyarakat semakin melemah akibat kegagalan dalam menyemai nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme.
Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana mobilitas sosial telah berubah fungsi. Pendidikan hanya sekedar life style untuk mereguk gengsi, harga diri dan kelas. Indonesia sebagai sebuah bangsa dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika namun masih rawan dengan beragam konflik seperti konflik rasial, konflik antar kelompok sosial, konflik politik, konflik horizontal, maupun konflik antar kelas akibat lemahnya implementasi  moderasi beragamaa dan wawasan kebangsaan.Â
Sementara itu dalam skala internasional terjadi konflik politik dan ekonomi dalam tragedi kemanusiaan Rohingya, konflik antar etnis di Myanmar, dan perang yang terus berkecamuk di Timur Tengah. Salah satu penyebab yang menentukan itu semua karena dunia pendidikan belum membumikan satu variabel penting dalam praktiknya.
Masih maraknya kasus bulliying di sekolah, beragam konflik, praktik kekerasan dan sejenisnya, dapat dipastikan bahwa sekolah tersebut berada pada level nol karena tidak ada perilaku yang bertanggung jawab. Interaksi sosial yang terjadi di lingkungan sekolah tidak lagi di dasarkan atas nilai kasih sayang, saling menghargai, saling menghormati, akan tetapi justru kekerasan dan anarki menjadi budaya dan tradisi.Â
Jika itu terus terjadi, bisa dipastikan pendidikan hanya akan melahirkan generasi yang cacat sosial (socio-idiot), yaitu generasi yang tercerabut dari nilai kesantunan dan kesopanan serta tidak lagi memiliki rasa simpati, pati dan empati.
Sebetulnya itu bukan terletak pada masalah lemahnya pendidikan mencerdaskan rakyat, tetapi terletak pada masalah ketidakmampuan pendidikan menyadarkan rakyat terhadap permasalahan hidup yang nyata.Â
Pendidikan malah membuat anak-anak kita menjadi tidak punya jati diri, kehilangan arah dan cerdas tetapi tidak berakhlak. Sebuah hasil studi secara sangat jelas menyatakan bahwa kualitas hubungan antara guru dan siswa semakin berkurang setelah siswa masuk ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan setelahnya. ( Freeman, Anderman, dan Jensen, 2007 ). Artinya, siswa kita dalam bahaya besar ketika para gurunya hanya fokus pada aktivitas mengajar saja. Â
Bahkan Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (PAI BP), Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn) Â maupun Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) hanya menjadi semacam "mata ajar" yang sangat dekat dengan dengan formalitas tetapi jauh dengan praktik dalam kehidupan nyata peserta didik dalam kehidupan keseharian mereka.Â