Politik Bebas dan Aktif merupakan buah pemikiran pragmatis serta idealis Moh. Hatta bagi Indonesia yang dicetuskan melalui pidato "Mendayung di antara Dua Karang" pada 2 September 1948.Â
Menurut Hatta, dalam politik luar negeri Indonesia harus bersifat bebas yang mana berarti sanggup menentukan jalan tanpa pengaruh dari kepentingan politik pihak manapun. Sementara aktif berarti keterlibatan dan keyakinan Indonesia pada terciptanya perdamaian dunia serta menjalin hubungan baik dengan seluruh bangsa dan negara.
Politik luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo lebih berfokus pada isu-isu domestik. Berbeda dengan pemerintahan SBY yang menekankan pada penguatan peran Indonesia di kawasan dengan slogan "a thousand friends and zero enemies". Kebijakan politik luar negeri di era Jokowi seringkali berorientasi pada pembangunan dalam negeri, seperti berakhir pada adanya investasi dan kerja sama perdagangan.Â
Sesuai dengan arahan Jokowi, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menerjemahkan pendekatan kebijakan luar negeri pada pernyataan kebijakan tahunan pertamanya. Menlu Retno Marsudi menyatakan bahwa Indonesia akan memprioritaskan penjagaan kedaulatan Indonesia, peningkatan perlindungan WNI, serta mengitensifkan diplomasi ekonomi.Â
Sesuai dengan pernyataan tersebut, Menlu Retno Marsudi juga menekankan tiga arah imperatif sebagai turunan dari politik luar negeri yang berorientasi domestik.Â
Pertama, penguatan ekonomi melalui kegiatan diplomasi. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan hubungan timbal balik antara dimensi politik luar negeri dengan kebijakan pembangunan ekonomi. Kedua, aktif dalam melakukan mekanisme bilateral sebagai instrumen diplomatic daripada melalui multilateral.Â
Sumber daya lebih diarahkan untuk memberikan support dan aktif dalam forum bilateral. Ketiga, memungkinkan pejabat perwakilan yang ditiugaskan untuk lebih aktif mempromosikan keunggulan Indonesia yang bersaing khususnya secara ekonomi. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa politik luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi berfokus pada pembangunan ekonomi dalam negeri.
Pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif sangat bergantung pada interpretasi seorang pemimpin terhadap pengertian dari politik bebas dan aktif itu sendiri.Â
Presiden Jokowi, dilihat dari beberapa pernyataan dan aksi yang dilakukan fokus pada peningkatan power dan pemanfaatan sumber daya yang ada. Selain itu, setiap melaksanakan agenda politik luar negeri, Jokowi berorientasi pada hasil konkret dalam setiap pertemuan.Â
Oleh sebab itu, Jokowi cenderung menghindari pertemuan yang sekiranya tidak menghasilkan sesuatu yang diperlukan. Kecenderungan Jokowi dalam pembangunan dalam negeri lantas sedikit mengesampingkan aspek lain, seperti pertahanan dan keamanan.
Sebagai pemimpin yang memiliki latar belakang seorang pebisnis, peran tim kebijakan luar negeri sangat berpengaruh pada pengambilan kebijakan Jokowi. Tim kebijakan luar negeri terdiri dari akademisi dan professional yang mana terdapat dua yang paling menonjol, yaitu Luhut B. Panjaitan dan Rizal Sukma. Keduanya memiliki peranan penting dalam membentuk perjanjian hingga kampanye politik luar negeri.Â
Rizal Sukma, Direktur Eksekutif Center Jakarta berpendapat bahwa tujuan utama kebijakan luar negeri adalah untuk mengamankan kepentingan nasional. Ketika sebuah forum internasional gagal memenuhi kepentingan nasional maka harus menempuh jalan lain.Â
Dalam lingkup ASEAN, Beliau juga menyatakan bahwa tidak seharusnya Indonesia memenjarakan dirinya dalam "kendang emas" ASEAN dengan menempatkan solidaritas ASEAN di atas kepentingan nasional Indonesia. Seharusnya ASEAN hanya merupakan salah satu platform yang dapat digunakan untuk mencapai dan memenuhi kepentingan nasional Indonesia.Â
Posisi tersebut diadopsi oleh pemenrintahan Jokowi. Kombinasi pengaruh Rizal Sukma dan jangkauan Jokowi ke mitra di luar kawasan, Indonesia banyak melakukan kemitraan bilateral yang dianggap membawa manfaat ekonomi secara langsung bagi Indonesia. Meski demikian, terdapat proses learning pada kedua periode jabatan Jokowi. Â
Jika pada periode pertama Jokowi masih sangat focus pada isu domestik saja, pada periode jabatannya keduanya Jokowi mulai menunjukkan eksistensinya di panggung dunia.
Kebijakan luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi mendapat berbagai kritikan. Beberapa menganggap bahwa Jokowi kurang memperhatikan pembntukan citra positif di kancah internasional. Terlebih jika dibandingkan dengan presiden sebelumnya, profil politik Jokow tidak sekuat SBY. Dari kritik-kritikan tersebut, banyak juga yang lantas menanyakan relevansi politik luar negeri bebas dan aktif Indonesia di era pemerintahan Jokowi.Â
Jika dilihat dari arah kebijakan yang diberlakukan, relevansi bukan menjadi masalah dalam politik luar negeri Jokowi. Akan tetapi, lebih kepada penafsiran dari pembuat kebijkan terkait politik bebas dan aktif itu sendiri. Ini sengat bergantung pada kapasitas penerjemahan poitik bebas dan aktif sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia.Â
Tentunya dalam interpretasi kepentingan nasional yang perlu dipertanyakan ialah apakah politik luar negeri untuk kepentingan nasional rakyat Indonesia sudah sesuai, dan bukan merupakan kepentingan dari sebagaian atau sekelompok penguasa. Sejauh ini pada masa pemerintahan Jokowi, Indonesia lebih banyak merespons daripada bertindak terhadap isu internasional.Â
Dapat dikatakan juga Indonesia ini menjadi kurang imajinatif. Indonesia juga harus dihadapkan dengan tantangan pembangunan nasional, terlebih pada masa Jokowi ini Indonesia berhadapan dengan isu global pandemi. Hal tersebut menjadi tantangan lebih bagi pemerintah dalam memutuskan suatu kebijakan, khususnya kebijakan luar negerinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H