Indonesia sebagai Negara yang hukum yang berlandaskan Pancasila menurut pendapat penulis perlu dibuktikan dengan cara menghormati, menjamin, dan melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Terbukti, jaminan nyata dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan Batang Tubuhnya serta dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan lainnya menerangkan adanya pengakuan untuk menjunjung tinggi HAM. Dari HAM pulalah kekuatan moral untuk menjamin martabat manusia berdasarkan hukum berasal, bukan dari keadaan, kehendak, atau kecendrungan politik tertentu.
Secara konstitusional di Indonesia mengenal adanya asas non derogable rights. Terdapat dalam aturan yang berkaitan dengan larangan memberlakukan surut suatu peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, "hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun".
Akan tetapi penulis melihat adanya inkonsistensi peraturan sehingga menimbulkan pertanyaan antara membolehkan atau melarang memberlakukan surut suatu perundang-undangan. Meskipun pada penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ada frasa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi "dalam keadaan apapun" dan "siapapun" yang ternyata bertolak belakang dengan isi penjelasannya yang berisi hukum yang berlaku surut "dapat dikecualikan" dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Meskipun ketentuan ini jelas bertolak belakang dengan prinsip hukum pidana positif dimana ada perumusan asas  Lex Temporis Delicti atau asas non- retroaktif. Tapi jika kita melihat beberapa aturan tidak tertulis yang diakui negara lain di dunia, penulis teringat dengan ajaran teori hukum alam baik yang bersumber dari alam maupun yang bersumber dari tuhan. Pencetus ajaran ini, Thomas Aquinas dan Hugo de Groot sama-sama mendalilkan bahwa kita tidak perlu membuat hukum karena hukum itu telah ada yang diperlukan adalah mencari hukum. Yang dimaksud hukum di sini adalah aturan-aturan yang menjunjung tinggi keadilan, ketertiban, dan persamaan derajat.
Implementasi dari teori hukum alam khususnya untuk kejahatan-kejahatan luarbiasa yaitu walaupun belum ada aturan tertulis yang mengaturnya tetapi pelaku tetap tidak dapat terhindar dari hukuman karena telah ada aturan tentang hal tersebut walapun tidak tertulis. Asas non-retroaktif agaknya tidak sesuai dengan kejahatan luar biasa yang jika dilihat dari tujuan ajaran klasik yaitu untuk melindungi kepentingan umat manusia untuk memperoleh keadilan. Berbicara masalah keadilan, kita perlu mengingat pandangan dari Gustav Radbruch yang secara tepat menyatakan bahwa cita-cita hukum tidak lain memperoleh keadilan.
Masalah keadilan bukan soal matematis, menjadi persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban masyarakat. Keadilan dapat saja berubah bentuk namun esensi keadilan selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga dalam mempertimbangkan peraturan tentang HAM perlu melihat Indonesia sebagai negara yang multikultural yang diwarnai oleh humanisme bangsa yang menginginkan keserasian dan keseimbangan dalam masyarakat. Rumusan asas retroaktif diharapkan dapat memulihkan dan mencegah terjadinya ketidakseimbangan masyarakat Indonesia yang multietnik. Selain itu pula, pertimbangan asas retroaktif dipercaya dapat menetapkan tindakan atau sanksi yang seharusnya diberikan kepada para pelanggar HAM berat secara represif sekaligus melindungi anggota masyarakat baik secara kolektif maupun individu dari pelanggaran HAM.
Dalam mewujudkan keadilan memerlukan kepastian hukum sebagai instrument penting. Kepastian hukum menuntut hukum haruslah jelas dan diketahui oleh umum. Sejatinya keberadaan kepastian hukum ini bermakna sebagai keadaan dimana telah pastinya hukum karena adanya kekuatan yang konkret. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah penegakan atau pelaksanaan hukum pada suatu tindakan tidak memandang siapapun yang melakukannya, seperti halnya melandasi asas retroaktif ini. Dengan adanya kepastian hukum, setiap orang dapat memperkirakan konsekuensi hukum yang diterima jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.
Saat ini, dalam rangka untuk menjamin kepastian hukum, pasal-pasal tentang tindak pidana terhadap HAM telah dimasukan ke dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meski sebagian kalangan penggiat HAM berpendapat bahwa dengan masuknya sejumlah pasal tindak pidana berat terhadap HAM dalam KUHP baru akan menghilangkan asas retroaktif, menurut penulis prosedur maupun asas-asas yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP, termasuk hukum acara, asas retroaktif, dan berbagai instrument formil lainnya tetap berlaku karena pengaturan yang lebih khusus tentang pelanggaran HAM berat tetap berlaku mengacu pada Undang-Undang Pengadilan HAM dimana penanganan HAM berat tetap menggunakan asas retroaktif atau berlaku surut. Artinya, kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu atau kasus yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terbit tetap dapat diproses secara hukum.
Menerapkan secara surut suatu produk legislatif, termasuk asas retroaktif ini, semata-mata bertujuan untuk memenuhi tuntutan keadilan. Tidak dapat dipungkiri, retroaktif masih dianggap bertentangan dengan asas legalitas karena asas legalitas dianggap sebagai asas yang fundamental mutlak yang tidak bisa diganggu gugat. Â Namun penting kiranya kita pahami bahwa hukum yang dibuat oleh manusia dapat bersikap adil dan dapat pula bersifat tidak adil. Hukum dapat dikatakan adil bila dapat mengikat manusia dengan kesadarannya. Hukum yang adil yaitu hukum yang dapat mendatangkan kebaikan umum. Sebaliknya, hukum dikatakan tidak adil jika hukum yang berlaku itu bertentangan dengan tujuan kebaikan umum dan justru memperlihatkan kesombongan penguasa dalam mempertahankan kedudukan dan posisinya.
Prinsip legalitas menjadi tidak adil jika dirumuskan secara tidak konstitusional, ditunjukkan semata-mata untuk melindungi kepentingan sepihak, dan melanggar kaidah hukum baku, didasarkan atas wewenang legislator yang menyimpangi konstitusi, hingga diperlakukan secara diskriminatif atas dasar sara. Hukum yang tidak adil tidak dapat menyadarkan manusia tentang pentingnya hukum bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum yang adil harus konstitusional, berisi pemikiran legislator yang memiliki alasan rasional dan manusiawi tidak penuh intervensi kepentingan.
Oleh karena itu, secara filosofis, asas retroaktif dilandaskan pada asas keadilan dengan harapan dapat memberi keadilan bagi semuanya, baik pelaku individu, maupun masyarakat, bangsa dan negara, khususnya korban yang selama ini kurang memperoleh  perlindungan dari asas legalitas. Dengan melandaskan asas retroaktif secara filosofi mempunyai tujuan untuk melindungi kepentingan korban yang selama ini dalam perkara pelanggaran HAM berat kurang mendapat perlindungan dari hukum positif yang ada. Menurut penulis melandaskan hukum pidana dengan prinsip retroaktif khususnya perkara pelanggaran HAM berat, dilihat dari segi latar belakang pemikiran, tujuan, teori, doktrin, serta prinsip-prinsip yang digunakan secara filosofis dapat diterima.
Adapun demi menjaga asas retroaktif (berlaku surut) tersebut konstitusional, penulis menawarkan solusi untuk melakukan amandemen UUD ke-5 dengan menambahkan aturan pengecualian  terhadap ketentuan pasal 28I UUD NRI 1945 yaitu mengenai hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam pelanggaran HAM berat yang merupakan extraordinary crimes. Dengan adanya ketentuan tersebut, penerapan asas retroaktif pada undang-undang dibawahnya tidak bertentangan dengan konstitusi dan  mempunyai landasan hukum yang kuat.
Bahan Bacaan
Joko Sasmito, Konsep Asas Retroaktif Dalam  Pidana: Pemberlakuan Asas Retroaktif pada Tindak Pidana Pelanggaran HAM di Indonesia, Setara Press, Malang: 2017.
Romli Atmasas mita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung: 2001.
Suparman Marzuki,Pengadilan HAM di Indonesia Melanggengkan Impunity, Erlangga, Jakarta:2012.
Anis Widyawati, "Dilema penerapan Asas Retroaktif di Indonesia",dalam Jurnal Penelitian Ilmu Hukum Pandecta,Vol.6No.2,Juli 2011.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H