Mencermati pemberitaan media soasial tetang lelang keperawanan yang akhir-akhir ini ramai. Publik menyorot aksi Sarah Keihl, seorang selebgram kelahiran Jember, Jawa Timur dengan follower sekitar 300ribuan.
Dalam akun instagram pribadinya Rabu (20/5) malam, ia mengunggah video berisi keinginan untuk melelang keperawanannya guna membantu tenaga medis dan mereka yang terkena dampak Covid-19.
Selain sanksi sosial, Sarah Keihl juga berpotensi mendapat konsekuensi hukum atas unggahan di media sosialnya. Jika ditilik lebih dalam, Undang-Undang ITE yang memuat aturan tentang penyebaran informasi asusila dapat dilihat pada pasal 27 ayat (1) UU ITE tahun 2008, menyebutkan "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan".
Berdasarkan pasal tersebut, Sarah Keihl berpotensi dikenai pidana penjara 6 tahun. Aturan ini dapat dilihat dalam Bab Ketentuan Pidana UU ITE Pasal 45 ayat (1) yang berbunyi " Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1000.000.000.00 (satu miliar rupiah)".
Dalam ketentuan itu dapat dilihat bahwa selain pidana penjara, selebgram yang juga sebagai CEO dari 6 usaha yang tersebar dibeberapa kota besar ini dapat  dikenai denda yang jumlahnya tidak sedikit.
Selain itu, perbuatan yang menarik perhatian publik ini juga dapat dibenturkan dengan pasal 296 jo pasal 506 KUHP tentang melakukan pekerjaan sebagai mucikari sekaligus PSK melalui media online, dan tentu saja dapat membawa konsekuensi hukum bagi pelakunya.
Belakangan muncul pernyataan klarifikasi Sarah Keihl mengenai video lelang keperawanannya, ia menyatakan jika konten yang dibuat hanya bagian dari sarkasme dan sindiran kepada masyarakat yang kurang peka dalam situasi pandemi saat ini. Alih-alih menambah kepekaan masyarakat dalam menyikapi Covid-19, perbuatan Sarah Keihl justru memicu keonaran dan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat.
Jika dikaitkan dengan perbuatan membuat kegaduhan lewat penyebaran berita, maka dapat dilihat dalam UU peratuan pidana No 1 tahun 1946 yang di dalam pasal 15 disebutkan, "barang siapa yang menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginnya dua tahun.
Pasal demikian yang juga diberlakukan pada kasus Ratna Serumpaet. Meski dalam objek peristiwa hukum yang berbeda, namun munculnya tangkapan layar yang mengindikasikan rencana pembuatan konten oleh Sarah Keihl demi kepentingan menaikan engagement media sosialnya, menjadikan penerapan pasal ini patut dipertimbangkan.
Meskipun Sarah Kiehl telah menghapus unggahan dan dalam pernyataan klarifikasi sudah memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Namun jika ditinjau dari segi hukum pidana, minta maaf bukan bagian dari  alasan pemaaf,karena alasan yang menghapuskan kesalahan hanya berlaku jika pelaku (subjek hukum) mengalami gangguan kejiwaan. Adapun yang dimaafkan ialah kesalahan pelaku bukan pada perbuatan pidananya.