Mohon tunggu...
Yogi Susatyo
Yogi Susatyo Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti

Menaruh minat besar pada sejarah sosial Indonesia, susastra kontemporer, dan isu-isu urban.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bersiap dan Dimensi Sosial Revolusi Indonesia

3 Agustus 2024   23:01 Diperbarui: 3 Agustus 2024   23:01 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stereotip
Pada 25 November 1945, sekelompok penduduk Eropa di Jakarta mengajukan petisi pada Letnan Gubernur Jenderal van Mook, yang mana kemudian diarsipkan dengan nomor surat 1680/APWJ. Mereka menyampaikan keberatan mereka terhadap rencana NICA menarik tentara-tentara Belanda yang rencananya dipindahkan keluar Jakarta. Hal yang menarik ialah, penggunaan bahasa dan kata yang dipakai dalam surat tersebut menarik garis tajam terkait perbedaan etnis dan suku, dimana secara terbuka mereka menyatakan bahwa mereka lebih memercayai tentara dari etnis  Ambon dan Menado ketimbang polisi Republik Indonesia yang mereka sebut "Polisi Nasional kaum bumiputera" (de nationale Inheemsche politie-macht) yang dianggap tidak dapat dipercaya dalam menghadapi "Ekstrimis"---pendukung Republik Indonesia. 

Dalam narasi ini tergambar bahwasanya para pengaju petisi menarik batasan mereka berdasarkan stratifikasi sosial masa Kolonial Belanda sebelum kedatangan Jepang: Bagi mereka, tentara dari suku tertentu (Ambon dan Menado) dianggap lebih dapat dipercaya untuk membela mereka dari gerakan Nasionalis Indonesia yang digerakkan oleh kelompok Inlander atau pribumi. 

Permasalahan kriminalitas memang sangat marak pada akhir 1945 dan pelakunya tidak hanya pendukung Republik. Namun ketika ia dilihat dari sudut pandang yang rasistik berdasar stereotip semata, maka seakan-akan ada pembenaran bahwa satu kelompok lebih baik ketimbang yang lain, dan hak mereka lebih tinggi ketimbang yang lain. 

Kecurigaan semacam ini sebenarnya lekat sekali dengan bagaimana sistem kolonial Belanda bekerja--menciptakan jarak, posisi-posisi khusus, pengistimewaan, dan juga ruang-ruang tertentu yang dialokasikan kepada satu kelompok atau etnis tertentu, dalam rangka memperkuat dominasi kekuatan kolonial sendiri. Kebencian yang tumbuh tidak hanya terjadi sebagai akibat dari kolonialisme--dia muncul sebagai sesuatu yang digunakan oleh sistem ini sendiri. 

Dimensi Sosial
Stereotip ini sebenarnya membantu kita memahami bahwa di luar dimensi politik, ada pula dimensi sosial dari Revolusi Nasional kita. Dimensi ini kerap kali tidak sepenuhnya dipelajari oleh publik, suatu hal yang kemudian menyisakan ruang kosong dalam pemahaman umum mengenai sejarah nasionalnya sendiri.


 Bagi kebanyakan dari kita saat ini, konflik Indonesia-Belanda pada masa Revolusi Nasional (1945-1949) secara umum kerap dilihat dalam dimensi politik: bahwa bangsa Indonesia adalah suatu entitas politik yang memproklamirkan kemerdekaannya pada 1945, kemudian Belanda menolak mengakui proklamasi tersebut, dan pada akhirnya pecahlah perang selama empat tahun yang baru berakhir pada Desember 1949.  "Republik Indonesia" dan "Kerajaan Belanda" (dan diantara mereka kerap pula terselip NICA, pemerintahan darurat Hindia Belanda) hadir sebagai entitas politik yang terpisah, dan semua konflik yang terjadi dari awal proklamasi hingga Serangan Umum 1 Maret selalu dilihat dari latar belakang politik. 

Padahal banyak konflik pada awal Revolusi dilatarbelakangi oleh hal-hal yang jauh lebih panjang, misalnya kecemburuan sosial dan ketegangan sosial yang akarnya bahkan sudah ada sejak masa Kolonialisme Belanda. Hal ini yang sebenarnya harus lebih banyak disinggung dalam pembelajaran sejarah di Indonesia. Membahas mengenai konflik pada awal Perang Kemerdekaan Indonesia (1945-1949) barangkali perlu dibarengi dengan pemahaman bahwa motif dari konflik-konflik yang terjadi kadang tidak cukup dijelaskan dengan teori-teori politik semata.


Kolonialisme sebagai sebuah praktik melibatkan bentuk dominasi sebuah masyarakat oleh kelompok pendatang yang berasal dari masyarakat lain yang asing (Borocz & Sarkar, 2012). Selain dalam bentuk dominasi politik, dimana penguasa asing memaksakan kehendak dan hukum mereka terhadap penguasa lokal untuk menguasai sumberdaya tertentu, hegemoni lain muncul dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan. Dalam sejarah Indonesia misalnya, Belanda menciptakan stratifikasi sosial yang rumit dimana dikenal tiga kelompok masyarakat: Orang Eropa, golongan Timur Jauh (Tionghoa dan Arab) serta orang Indonesia atau pribumi (Pattinasarany, 2016). 

Orang Eropa berada di puncak stratifikasi dan orang Indonesia berada paling bawah. Tensi-tensi terkait perbedaan posisi dan hak di depan hukum, diskriminasi peraturan mengenai etiket mulai dari pakaian, bahasa dan kepemilikan barang, serta peluang untuk melakukan mobilitas sosial yang sempit melahirkan beragam konflik, namun baru mencapai titik puncaknya ketika Jepang menduduki Indonesia. 

Jepang secara serta merta membalik tatanan kelas yang ada: Orang Jepang menduduki tingkat teratas, orang Indonesia naik pada tingkat kedua dan masyarakat Eropa dan Tionghoa menghuni strata terbawah. Ketika Jepang kalah, penduduk Eropa yang baru bebas dari penahanan Jepang dan pemerintahan pelarian Belanda yang baru datang bersikeras menegakkan struktur kolonial yang lama sementara penduduk Indonesia menginginkan perubahan struktur menyeluruh. Hal ini kemudian memicu konflik-konflik pada awal Revolusi, setidaknya demikian menurut sejarawan Belanda W.F. Wertheim (Wertheim, 1956).

Apa Relevansinya?
Kita menemukan saat ini bahwa pemahaman atas kolonialisme sebagai sebuah sistem yang hitam putih: orang kulit putih itu jahat dan orang Indonesia itu baik, kurang lebih demikian. Sementara itu kolonialisme adalah sebuah sistem yang kompleks, dimana dominasi yang dibentuk bisa lebih rumit ketimbang yang diajarkan di bangku sekolah. Bagian ini dapat dikatakan salah satu kawasan kosong yang belum banyak dibahas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun