Mohon tunggu...
Yogi Raka Siwi
Yogi Raka Siwi Mohon Tunggu... Jurnalis - Angka Nol

Angka Nol

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hak-hak Normatif Buruh yang Hingga Saat Ini Masih Sering Diabaikan

14 Mei 2019   11:32 Diperbarui: 14 Mei 2019   11:36 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disertasi dengan judul ''Tanggung Jawab Negara Terhadap Pemenuhan Hak-Hak Normatif Pekerja / Buruh Pada Perusahaan Yang Dinyatakan Pailit'' berhasil mengantarkan M. Syahrul Borman menyelesaikan program pendidikan doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untag Surabaya. Ketua Penguji ujian terbuka Dr. Mulyanto Nugroho mengumumkan bahwa M. Syahrul Borman lulus dengan predikat sangat memuaskan. pada Jumat 10/05/2019 di meeting room Graha Wiyata lantai 1 Untag Surabaya.

Dalam disertasi tersebut, Syahrul menjelaskan, terdapat konflik antar norma antara UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 95 ayat 4 dan UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayara Hutang (PKPU) Pasal 138 yang membuat posisi pekerja / buruh dalam pemenuhan hak-hak normatifnya menjadi lemah, bahkan bisa dikatakan sama sekali tidak terlindungi.

''Pasal 95 ayat 4 menyatakan dalam hal perusahaan dipailitkan atau dilikuidasi berdasarkan peraturan per undang-undang yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja / buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya, namun dengan berlakunya UU Kepailitan yang lebih mengutamakan kreditor separatis pemegang hak jaminan, hipotik, fiducia, gadai dan hak tanggungan, maka para kreditor separatis ini yang diutamakan dalam pembayaran hutang debitor pailit'', jelas alumnus Unair tahun 1985 itu.

Pria kelahiran kota Palu tersebut juga menambahkan bahwa UU Kepailitan tidak secara khusus mengatur kedudukan pekerja / buruh sebagai kreditor preferen yang diistimewakan. Oleh karena itu jika terjadi kepailitan suatu perusahaa, yang diutamakan pembayarannya adalah kreditor separatis, karena pekerja / buruh sebagai kreditor preferen kedudukannya berada di bawah kreditor separatis dan kurator dalam proses penyelesaian harta debitor pailit.

''Berpedoman pada UU Kepailitan, dalam menjalankan tugas, Kurator lebih mengutamakan hak-hak para kreditor separatis dalam pembayaran hutang debitor pailit, sehingga hak-hak normatif pekerja / buruh sering terabaikan bahkan tidak terbayarkan dalam penyelesaian harta debitor pailit. Maka dari itu Pasal 95 ayat 4 menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak ada penafsiran yang jelas dan tegas'', tambahnya.

Dari hasil penelitian tersebut, Syahrul menyimpulkan serta memberikan saran kepada yang memiliki wewenang atas tersusunnya sebuah undang-undang. Dalam hal ini adalah lembaga legeslatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Syahrul menyarankan supaya DPR menghindari rumusan pasal dalam undang-undang yang yang sifatnya multi tafsir.

''Peneliti menyarankan supaya lembaga legeslatif (DPR) terkait perumuskan pasal-pasal dalam undang-undang hendaknya menghindari rumusan pasal yang sifatnya multi tafsir dan tanpa penetapan ukuran yang jelas. Hal ini untuk menghindari adanya penafsiran yang tidak jelas terhadap kalimat yang tertuang dalam pasal-pasal tersebut,'' tutup dosen Fakultas Hukum Universritas Dr. Soetomo tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun