Sejak peristiwa G30S/PKIÂ pada tahun 1965, label "PKI" (Partai Komunis Indonesia) telah menjadi salah satu senjata politik paling efektif yang digunakan oleh rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Peristiwa ini dijadikan titik balik dalam sejarah politik Indonesia, di mana PKI dan semua bentuk komunisme dituding sebagai musuh utama negara. Namun, seiring berjalannya waktu, penggunaan label ini berkembang lebih luas dari sekadar menyasar komunisme. Label PKI mulai diterapkan pada berbagai kelompok yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan langsung dengan ideologi komunis, termasuk para kritikus pemerintah dan aktivis demokrasi.
Dalam narasi resmi yang dibangun oleh Orde Baru, PKI digambarkan sebagai ancaman utama yang mengancam stabilitas negara, agama, dan nilai-nilai nasional. Pembersihan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan PKI dilakukan segera setelah peristiwa G30S, dengan estimasi korban jiwa mencapai ratusan ribu orang. Selain itu, penghilangan hak politik bagi keluarga dan keturunan anggota PKI menciptakan trauma sosial yang berlangsung selama beberapa dekade. Namun, setelah tindakan represif ini, muncul pertanyaan besar: apakah benar PKI adalah musuh utama yang harus ditakuti? Ataukah label PKI digunakan sebagai topeng untuk menutupi kepentingan politik lainnya?
Jika kita menelusuri lebih dalam, musuh sebenarnya bagi Orde Baru tampaknya bukanlah PKI semata, melainkan siapa pun yang dianggap dapat mengancam stabilitas kekuasaan otoritarian tersebut. Kelompok-kelompok yang memperjuangkan demokrasi, kebebasan berbicara, dan hak asasi manusia, sering kali dituding sebagai musuh negara dengan diberi label PKI, meskipun mereka sama sekali tidak terlibat dalam ideologi komunisme. Pada era Orde Baru, tuduhan terkait PKI menjadi senjata politik yang fleksibel. Siapa pun yang kritis terhadap pemerintah berisiko dicap sebagai antek-antek komunis, sebuah stigma yang sangat berat di tengah masyarakat yang trauma terhadap peristiwa G30S.
Sebagai contoh, mahasiswa, intelektual, dan aktivis yang menuntut reformasi sistem politik dan pemerintahan kerap kali dibungkam dengan tuduhan simpatisan komunis. Gerakan-gerakan yang memperjuangkan keadilan sosial, transparansi, dan akuntabilitas sering kali dijegal melalui mekanisme ini. Bahkan, tokoh-tokoh agama yang memiliki pandangan berbeda dengan pemerintah juga tidak luput dari label ini. Mereka yang dianggap berpotensi menggoyang kestabilan kekuasaan otoriter pun segera dicap sebagai ancaman, meskipun tidak ada bukti kuat yang mendukung keterkaitan mereka dengan komunisme.
Selain itu, penggunaan label PKI sebagai alat politik juga meluas ke ranah persaingan elit. Rezim Orde Baru menggunakan tuduhan ini untuk mengamankan posisi kekuasaan mereka, termasuk untuk menyingkirkan lawan-lawan politik internal yang dianggap berpotensi mengganggu kepemimpinan Soeharto. Bagi mereka yang dekat dengan lingkaran kekuasaan, tuduhan terkait PKI bisa menjadi senjata untuk mengeliminasi rival politik yang tidak sejalan. Situasi ini menjadikan label PKI lebih dari sekadar penolakan terhadap komunisme, melainkan instrumen untuk mengukuhkan dominasi politik.
Perlu diakui bahwa komunisme pada masa itu memang menjadi isu yang sensitif di seluruh dunia, terutama di tengah ketegangan Perang Dingin antara blok Barat dan Timur. Namun, dalam konteks Indonesia, ancaman komunisme tidak sepenuhnya menjadi alasan tunggal di balik tindakan represif pemerintah Orde Baru. Kebijakan anti-PKI lebih sering dijadikan dalih untuk memperkuat hegemoni negara dan memperluas kontrol terhadap masyarakat.
Pada akhirnya, label PKI bertransformasi menjadi simbol politik yang dipergunakan secara bebas oleh penguasa untuk mempertahankan stabilitas rezim. Stigma ini tidak hanya ditujukan pada mereka yang benar-benar memiliki keterkaitan dengan ideologi komunis, tetapi juga terhadap siapa saja yang berani melawan atau merongrong kekuasaan. Dengan kata lain, musuh utama Orde Baru bukanlah PKI itu sendiri, melainkan siapa pun yang dianggap berpotensi menggugat struktur kekuasaan otoritarian. Label PKI menjadi salah satu alat paling ampuh untuk menghilangkan ruang oposisi dan menjaga keberlangsungan kekuasaan selama lebih dari tiga dekade.
penggunaan label PKI oleh rezim Orde Baru lebih dari sekadar alat untuk melawan komunisme; label ini menjadi simbol kontrol politik yang menekan setiap bentuk oposisi dan perlawanan. Dengan menciptakan musuh imajiner yang bisa disematkan pada siapa saja yang kritis terhadap pemerintah, Orde Baru berhasil mempertahankan kekuasaannya dengan menekan ruang demokrasi. Pengalaman sejarah ini mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia, serta menghindari penggunaan stigma politik sebagai alat untuk membungkam perbedaan pandangan.