Mohon tunggu...
Yogi Pratama
Yogi Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas sebelas Maret

Writers,

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Dibalik Topeng Sejarah: Pembantaian Massal yang Dilupakan

27 September 2024   10:00 Diperbarui: 27 September 2024   10:02 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.menpan.go.id (Surat Perintah Sebelas Maret)

Dalih Pembunuhan Masal 

Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) menjadi pemicu terjadinya konflik sosial yang meluas di Indonesia, terutama antara kelompok nasionalis, agama, dan komunis. Tuduhan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang G30S memicu sentimen anti-komunis yang kuat di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Konflik ideologi yang sudah berlangsung lama antara PKI dan kelompok Islam, semakin memanas.

https://news.indozone.id/news (Penangkapan Terduga PKI)
https://news.indozone.id/news (Penangkapan Terduga PKI)

Ulama dan tokoh-tokoh agama memiliki peran penting dalam mengobarkan semangat anti-komunis. Mereka memanfaatkan ketegangan sosial yang ada untuk memobilisasi massa dan melakukan tindakan kekerasan terhadap anggota dan simpatisan PKI. Dengan dukungan dari militer, kelompok pemuda Islam seperti Barisan Ansor melakukan pembantaian massal di berbagai wilayah di Jawa Timur, terutama di Kediri.

Kediri menjadi salah satu lokasi yang paling parah terkena dampak pembantaian massal. Konflik antara PKI dan NU di Kediri telah berlangsung sejak lama, terutama terkait perebutan tanah dan kekuasaan. Kemenangan PKI dalam Pemilu 1955 semakin memperuncing konflik ini. Setelah G30S, kelompok pemuda Islam yang didukung oleh militer melakukan serangan besar-besaran terhadap basis-basis PKI di Kediri. Pembunuhan massal dilakukan secara terbuka dan sistematis, dengan korban mencapai puluhan ribu jiwa.

Para pelaku pembantaian massal di Kediri membenarkan tindakan mereka dengan alasan agama. Mereka menganggap PKI sebagai kelompok atheis yang mengancam keberadaan Islam. Oleh karena itu, membunuh anggota PKI dianggap sebagai tindakan yang dibenarkan secara agama. Di sisi lain, pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto juga memiliki kepentingan dalam membungkam oposisi dan mengkonsolidasikan kekuasaannya. Pembantaian massal terhadap PKI dianggap sebagai cara yang efektif untuk mencapai tujuan tersebut. 

Jumlah Korban 

Peristiwa pembantaian massal yang terjadi pada tahun 1965 di Indonesia mengakibatkan hilangnya nyawa dalam jumlah yang sangat besar. Berbagai sumber memberikan perkiraan jumlah korban yang berbeda-beda. Angkatan Darat Indonesia pada saat itu memperkirakan sekitar 78.500 orang tewas, sementara PKI memberikan angka yang jauh lebih tinggi, yaitu sekitar dua juta jiwa. Sejarawan Benedict Anderson pada awalnya memperkirakan jumlah korban sekitar 200.000 jiwa, namun kemudian merevisinya menjadi antara 500.000 hingga 1 juta jiwa.

Selain korban jiwa, peristiwa ini juga menyebabkan jutaan orang lainnya ditahan dan dipenjara tanpa melalui proses peradilan yang adil. Penangkapan dan penahanan massal ini berdampak luas pada kehidupan masyarakat, terutama bagi keluarga korban yang mengalami diskriminasi dan stigma sosial. Banyak di antara mereka kehilangan pekerjaan, kesulitan melanjutkan pendidikan, dan dikucilkan dari lingkungan sosialnya. Komnas HAM telah melakukan penyelidikan terhadap peristiwa pembantaian massal 1965. Hasil penyelidikan menunjukkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut. Komnas HAM telah memeriksa ratusan saksi korban dan mengunjungi sejumlah lokasi yang diduga menjadi tempat penahanan dan pembantaian. Meskipun demikian, hingga kini belum ada upaya hukum yang signifikan untuk menuntaskan kasus ini dan memberikan keadilan bagi para korban dan keluarga mereka. 

Upaya untuk mengungkap kebenaran mengenai peristiwa pembantaian massal 1965 menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah kurangnya data yang akurat dan terverifikasi. Selain itu, adanya upaya untuk menutup-nutupi peristiwa ini selama bertahun-tahun juga menyulitkan proses penyelidikan. Peristiwa 1965 adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang tidak boleh dilupakan. Tuntutan akan keadilan dan pengakuan atas pelanggaran HAM yang terjadi menjadi keharusan. Sejarah harus diingat agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.

Sumber Referensi: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun