Kedua raksasa itu beralih ke wujud aslinya yang merupakan dua orang bidadara surga yang bernama Citrasena dan Citranggada.Mereka berterimakasih kepada Sudamala karena dia sudah membebaskan mereka dari kutukan dari Hyang Guru.Itulah sedikit ikhtisar dari kisah Sudamala yang intinya tentang pembebasan mala oleh Sadewa.
Cerita Sudamala memiliki nilai-nilai filosofis yang bisa dijadikan pelajaran dan inspirasi kehidupan sekarang dan yang akan datang.Makna filosofis yang terkandung dari cerita Sudamala antara lain tentang hakekat kehidupan di dunia yang harus berdasarkan apa yang dinamakan dengan kebenaran. Ada dua tingkat kebenaran menurut Soenarto Timoer, yaitu kebenaran ilahi atau kebenaran Tuhan yang sejati dan kebenaran manusiawi.Selanjutnya Wirasanti (1992) mengatakan bahwa pengertian filsafati dari cerita Sudamala adalah bahwa dalam diri manusia bermukim dua kekuatan positif (kebenaran) dan negatif (angkara) yang berlawanan dan berusaha saling mendominasi.
Untuk menjauhkan dari kekuatan negatif itu manusia haruslah belajar dan mencari ilmu rahasia kehidupan dunia melalui kearifan dan kebajikan. Karena pada dasarnya semua perlikau buruk akan mendapatkan akibatnya, biarpun sekecil apapun. Ajaran ini tampak pada akibat yang diterima oleh Uma dan Citranggada-Citrasena yang harus kehilangan status tertinggi di kahyangan dan menjadi raksasa karena perbuatannya.Raksasa adalah status paling rendah/hina yang ditampikan dalam bentuk lahiriyah maupun batiniyah yang memiliki wujud sangat buruk.Sementara akibat atau balasan yang mereka terima ditampilkan melalui kutukan Dewa Siwa, 'Hyang Guru' sebagai penguasa dunia, yang dapat diidentikkan dengan pengejawantahan Tuhan semesta alam. Â Â
Dalam tradisi jawa dijumpai upacara ruwatan yang dilakukan kepada seseorang yang dianggap tertimpa petaka atau mala, usaha-usaha seperti ini merupakan upaya pembelajaran untuk mengingatkan manusia dalam usaha untuk senantiasa membersihkan diri dan menyucikan diri dengan menjaga perilaku terpuji.Tokoh Sudamala adalah simbol peruwatan atau penyucian,ia mempunyai kemampuan membebaskan manusia dari dosa, mala/kutukan, dan malapetaka.
Dalam konteks kehidupan, penyucian diri atau meruwat dapat ditafsirkan sebagai upaya terus menerus dalam berperilaku baik.Hakekat 'ruwat'adalah penyembuhan, dalam terminologi jawa tampak sebagai momen refleksi diri, menyadari kesalahan hingga muncul kemauan untuk memperbaiki kesalahan itu.Momen refleksi ini membutuhkan suasana khidmat, karena penyadaran seorang manusia adalah hal yang sangat sulit dilakukan.Untuk itulah perlu ditunjukkan ajaran-ajaran luhur melalui kisah pewayangan.Sampai sekarang upacara ruwatan di tengah-tengah masyarakat masih identik dengan pagelaran wayang dengan 'tema ruwatan.'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H