Mulai dari membangun sebuah bendungan di Waringin Pitu yang selesai pada 1037 M (Prasasti Kamalagyan), sampai mengupayakan desa-desa sepanjang aliran sungai menjadi desa-desa penyeberangan yang dimaksudkan untuk meperlancar jalur perdagangan.Â
Tidak diragukan lagi bahwa sungai Brantas sebagai jalur perdagangan dan pelayaran-penyeberangan antar desa pada masa abad 11-15 M menempati posisi penting dalam bidang ekonomi, politik, dan legitimasi pada masa itu.
Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang ada, dapat dikatakan bahwa riwayat penghunian wilayah utara sungai Brantas memiliki rentang yang cukup panjang. Agaknya peluang keterkaitan penemuan di Dusun Gapuro ini dengan masa sebelum abad 13 M atau sebelum Majapahit berdiri sangat terbuka.Â
Ditambah lagi, konteks letak Dusun Gapuro Desa Mojojajar Kecamatan Kemlagi yang berada dekat dengan sungai Brantas, mengingatkan pada isi prasasti Canggu yang menyebutkan keberadaan puluhan desa-desa penyeberangan sepanjang sungai Brantas pada masa Majapahit.
Diharapkan nanti dengan terkuaknya jati diri temuan struktur bata merah di Dusun Gapuro dapat menambah data  yang menyimpan fakta baru berkaitan dengan riwayat penghunian wilayah utara sungai Brantas pada masa kerajaan Jawa Kuno.
 Sepertinya layak, jika status temuan di Gapuro bisa dikatakan berpotensi mampu mewadahi penelitian-penelitian jangka panjang yang kontinyu. Akhirnya, beberapa dugaan yang muncul lantaran temuan di Dusun Gapuro ini semoga secepatnya akan tercerahkan dengan dilakukannya ekskavasi awal yang akan dilakukan oleh BPCB Jatim bulan November mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H