Teater niscaya politis, karena semua kegiatan manusia itu politis dan teater merupakan salah satunya. Begitulah introduction buku Theatre of the opreessed yang ditulis oleh Agusto Boal. Untuk menelisik "kepolitisan" dari teater, dibutuhkan usaha dan daya juang yang lebih. Bukan semata-mata memandang teater sebagai seni penghiburan duka lara kaum tertindas, melainkan teater dalam hal ini dapat pula dipandang sebagai sarana penguat (segala) posisi sebagaimana yang telah diungkap oleh Marx dalam teori kelasnya.
Paul Ricoeur (1913), sebenarnya tidak menulis secara eksplisit mengenai cara atau metode pennafsiran naskah teater, sebab sejatinya ia adalah seorang hermeneut dan filsuf. Namun lewat teori interpretasinya, dapat membantu kita semakin memahami apa yang dimaksud oleh pengarang ataupun sutradara lewat bahasa yang disampaikan, baik tertulis maupun lisan. Menurut Ricouer, karya-karya tertulis itu memiliki makna karena mereka merupakan refleksi dari kehidupan, dan kehidupan sendiri menghasilkan makna-makna yang diperoleh melalui kemampuannya untuk mengejawantahkannya dalam karya-karya tertulis.
Manusia pada dasarnya merupakan makluk berbahasa dan bahasa adalah syarat utama bagi semua pengalaman manusia. Melalui bahasa, maka kita bergaul dengan masyarakat, mengungkapan tentang dirinya, mengerti atau memahami sesuatu dengan mempergunakan istilah-istilah yang terdapat di dalam bahasa. Meskipun di sisi lain bahasa juga mempunyai kelemahan, sebab kita memahami melalui bahasa, kita salah paham juga melalui bahasa. Akan tetapi, melalui hermeneutic Ricouer ini, segala problem yang terdapat di dalam naskah dapat dijawab, yaitu melalui interpretasi/penafsiran.
Mengenal metode penafsiran ala Ricouer
Pertama-tama mari kita simak terlebih dahulu paparan Ricouer mengenai metodenya yang disebut sebagai metode penafsiran atas teks. Ricoeur mendefinisikan teks sebagai setiap diskursus yang dibakukan lewat tulisan. Menurut definisi ini, pembakuan lewat tulisan merupakan sesuatu yang konstitutif di dalam teks itu sendiri.
Dalam pembahasannya tentang analisis struktural, Ricoeur (kembali) menegaskan perlunya untuk mempertimbangkan bahasa sebagai suatu peristiwa (parole) dan bahasa sebagai sistem tanda (langue). Perkataan adalah hasil ungkapan yang bersifat individual dari seseorang pembicara yang juga individual, dan itu terwujud dalam dimensi peristiwa dari diskursus. Ricoeur berpendapat bahwa dalam hubungannya dengan langue, setiap teks memiliki kedudukan yang sama seperti perkataan. Apa yang dibakukan lewat tulisan tentu saja adalah diskursus yang mungkin untuk dikatakan, tetapi hal itu dituliskan justru karena tidak dikatakan.Â
Jadi, pembakuan lewat tulisan persis menggantikan tempat dari perkataan yang terjadi pada sisi di mana perkataan mungkin untuk dimunculkan. Ada suatu hubungan yang langsung antara makna dari sebuah pernyataan dengan makna dari tulisan. Teks hanya sungguh-sungguh menjadi teks kalau tidak dilihat sebagai salinan dari perkataan yang mendahuluinya, melainkan sebagai sesuatu yang langsung menuliskan, dalam huruf-huruf, apa yang menjadi maksud diskursus.
Hubungan langsung ini oleh Ricoeur diperjelas lewat refleksinya atas fungsi dari kegiatan membaca dalam hubungannya dengan kegiatan menulis. Kegiatan menulis mengundang munculnya kegiatan membaca lewat suatu jalan yang akan diperkenalkan oleh Ricoeur sebagai konsep interpretasi/penafsiran. Relasi antara kegiatan menulis dan membaca bukanlah suatu momen dialog.Â
Kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa membaca berarti berdialog dengan penulis Di dalam dialog terjadi skema tanya-jawab. Skema ini tidak ada di dalam relasi antara penulis suatu karya dengan pembacanya. Apabila muncul pertanyaan di pihak pembaca, sang penulis tidak menjawabnya. Si pembaca kemudian memang dapat berjumpa dengan si penulis dan bisa berdialog dengannya, tetapi perjumpaan itu merupakan pengalaman yang berbeda karena relasi yang terjadi bukan lagi dengan tulisan.
Dari pembahasan tentang hubungan antara teks dengan perkataan kita bisa menarik beberapa kesimpulan mengenai karakteristik dari teks yang sejajar dengan empat kriteria.
Pertama, di dalam tutur kata sehari-hari, diskursus sebagai peristiwa itu bersifat temporal dan berlalu begitu saja. Diskursus semacam itu muncul dan hilang silih berganti. Disinilah keunggulan dari teks atau diskursus yang dibakukan dengan tulisan. Teks membakukan diskursus yang sifatnya cepat berlalu itu.
Kedua, di dalam diskursus, kalimat menunjuk pada pembicaranya lewat berbagai macam indikasi subjektivitas dan personalitas. Sebagai suatu peristiwa, fungsi referensial dari diskursus kepada subjek yang berbicara itu bersifat serentak. Intensi subjektif dari subjek yang berbicara dan makna dari diskursus saling bertindih sedemikian rupa sehingga memahami apa yang dimaksudkan oleh si pembicara itu sama artinya dengan memahami apa yang dimaksud oleh diskursus-nya.Â
Pertanyaan apa yang kamu maksudkan? Dengan apa artinya itu? Mengandung pengertian yang hampir sama. Namun di dalam diskursus tertulis, intensi dari pengarang tidak lagi bertindih dengan makna dari teks yang ditulisnya. Teks memiliki otonominya sendiri. Itu berarti, ada konsekuensi-konsekuensi yang tidak diperhitungkan sebelumnya oleh pengarang. Teks dapat digunakan dengan cara yang tidak dimaksudkan semula oleh pengarangnya, misalnya kalau kita menerbitkan surat-surat pribadi dari seorang tokoh penting yang sudah meninggal.
Ketiga, diskursus dikatakan sebagai menunjuka pada dunia. Di dalam tutur kata sehari-hari hal ini berarti bahwa apa yang pertama-tama ditunjuk dalam suatu dialog adalah situasi atau lingkungan yang meliputi baik si pembicara maupun lawan bicaranya. Situasi ini memberi kerangka atas dialog, dan itu bisa ditunjukkan dengan sebuah isyarat atau dengan menudingkan jari, mengepalkan tangan atau dengan hal lainnya. Referensi dalam situasi dialog ini kita katakana sebagai bersifat nyata --penunjuk- (ostensive).Â
Bagaimanakah halnya dengan diskursus tertulis? Kalau diskursus selalu berarti tentang sesuatu atau selalu memiliki referensi pada dunia pengalaman manusia, apakah yang menjadi referensi dari sebuah teks? Teks tidak memiliki referensi yang bersifat ostensive karena teks tidak hanya dibebaskan dari maksud pengarang, tetapi juga dari situasi awalnya. Jadi teks menunjuk pada dunia yang harus dimengerti dalam arti eksistensial: sebagai suatu cara baru memahami realitas.
Keempat, hanya diskursus dan bukan bahasa yang dialamatkan pada seseorang. Ini merupakan dasar dari komunikasi. Di dalam situasi dialog, yang menjadi alamat adalah si lawan bicara. Namun dalam tulisan, diskursus itu dialamatkan pada siapa saja yang dapat membacanya. Atau dengan kata lain: teks itu tidak tunduk lagi pada sidang pembaca awal tetapi selalu bisa beralih pada sidang pembaca mana pun juga.
Secara khusus, ketiga karakteristik terakhir di atas membangun suatu konsep yang oleh Ricoeur disebut sebagai otonomi teks. Konsep tentang otonomi teks ini bisa dilihat sebagai reaksi Ricoeur atas tradisi hermeneutika romantik yang berpendapat bahwa tujuan interpretasi adalah memahami sang pengarang, baik maksud, situasi atau siding pembaca awal yang mengitari diri sang pengarang.Â
Menurut Ricoeur, tujuan interpretasi bukanlah untuk memahami pengarang di belakang teksnya, melainkan teks itu sendiri dengan makna yang ada padanya, sebagai dunianya sendiri. Teks memberikan sesuatu pada pemahaman kita. Atau dengan kata lain: tujuan interpretasi adalah mengobati apa yang disebut Ricoeur sebagai penjarakan (distansiasi) yang membuat teks menjadi otonom tetapi sekaligus melepaskannya dari konteks aslinya.
Setidaknya ada dua pernyataan penting dari Ricoeur berkaitan dengan distansiasi ini, pertama, ia mengatakan bahwa distansiasi paling awal adalah adanya jarak antara makna dan peristiwa yang menyangkut tindak berbicara dalam apa yang dibicarakan, jadi kelihatan bahwa distansiasi sudah dijumpai di dalam karakteristik pertama dari teks. Lebih jauh lagi dia juga menambahkan pernyataan lain yang menyangkut distansiasi yang terjadi di dalam tindakan menulis:
Distansiasi tulisan dari yang menulisnya
Dari situasi diskursus yang menjadi konteksnya
Dari sidang pembaca awal
Dari dua pernyataan tersebut nampak usaha Ricoeur untuk menunjukkan bahwa distansiasi bukanlah keterasingan, malahan merupakan kondisi untuk pemeliharaan makna yang sekaligus menimbulkan interpretasi. Secara khusus di dalam pernyataan yang kedua tampak pula bahwa hanya tekslah yang dapat memperlihatkan cakrawala yang lebih luas dari fenomen distansiasi itu.Â
Ketiga lapisan distansiasi di dalam kegiatan menulis itu menjamin otonomi teks dalam hubungan dengan pengarangnya, dengan situasi awal dan dengan sidang pembaca awalnya. Distansiasi dengan demikian membantu pelestarian teks dan menghindarkannya dari menghilangnya dalam waktu. Namun dengan berbuat demikian, distansiasi juga mencabut teks dari konteks aslinya, dari situasi awal. Konsekuensinya adalah: teks menjadi terbuka untuk interpretasi selanjutnya yang barangkali amat bertolak belakang dengan maksud pengarangnya.
Dan pada akhirnya, janganlah takut untuk berkarya hanya karena melihat pakem-pakem yang sudah ada. Janganlah takut pula untuk mengakui kekurangan kita, sebab siapakah kita di dalam semesta yang luas ini. Gnoti se auton! Kenalilah diri sendiri. Berkaryalah dengan caramu sendiri.
Daftar Bacaan Pendukung
Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, London, Boston and Henley: Routledge & Kegan Paul, 1980.
Ricoeur, Paul, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Forth Worth: Texas Christian University Press, 1976.
Ricoeur, Paul, Hermeneutics and The Human Sciences, ed. and trans. John B. Thompson, Cambridge: Cambridge University Press, 1981.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H