Pasca pengumuman resmi KPU, Jakarta membara. Membara bukan hanya karena massa yang secara massif berkeliaran dan membuat onar, namun membara juga karena begitu fantastisnya momen ini dirancang. Sungguh, manusia adalah makluk rasional, tak ada makluk lain yang dapat memutar otak sedemikian rupa agar apa yang diinginkannya tercapai, walau dalam sudut pandang yang sedikit negative. Ribut-ribut yang tak jelas juntrungannya ini, telah meneror kita. Pancasila tak lagi begitu penting bagi massa yang berbuat onar itu.
Iklim ketakutan dan horror tak henti-hentinya menghantui tubuh bangsa ini. Suasana ketakutan dan horror itu adalah sebagai akibat dari berbagai gelombang kerusuhan yang terjadi di Indonesia, yang dicurigai tidak terlepas dari peran para aktor intelektual dan provokator, yang menerapkan metoda adu domba dan terror untuk menciptakan berbagai kekacauan di dalam masyarakat.
SIMULACRUM TEROR
Apa yang tampaknya ingin dicapai oleh aktor intelektual di belakang terror tersebut adalah terbentuknya sebuah iklim kesadaran di kalangan masyarakat, bahwa mereka tengah diancam oleh kelompok masyarakat lainnya. Padahal kesadaran tersebut tak lebih dari kesadaran palsu, ancaman tersebut tak lain dari ancaman semu.
Gelombang terror di Jakarta itu menunjukkan bahwa psikologi bangsa ini telah diacak-acak dan dipermainkan oleh sebuah mesin terror yang mempunyai kekuasaan sangat besar, yang dengan leluasa menciptakan pertunjukkan demi pertunjukkan di atas tubuh bangsa ini untuk kepentingan politiknya.
Jean Baudrillard, di dalam Fatal Strategis mengatakan bahwa terror menjadi bagian tak terpisahkan dari politik, ketika politik itu telah dikendalikan sepenuhnya oleh hawa nafsu. Mesin politik semacam itu menjelma menjadi sebuah mesin a-sosial: sebuah mesin politik yang tak perduli dengan masyarakatnya, yang bahkan menjadikan mereka sebagai tumbal politik mereka.
Teror politik, sebagaimana dikatakan Baudrillard jauh lebih berbahaya dibandingkan bentuk kekerasan lainnya. Teror "usaha pemboikotan bawaslu", sebagaimana terjadi di tanggal 22 Mei ini bisa kita jadikan contoh riil. Teror tersebut dapat menciptakan sebuah sistem pengelabuhan realita dan pengelabuhan informasi. Ia dapat dikaitkan dengan citra, tafsiran, dan motif apa saja. Teror dapat menciptakan sebuah sistem fitnah terbuka siapapun bisa dituduh dan difitnah sebagai pelaku atau aktor intelektual, padahal sang penuduh itulah pelaku dan aktor intelektual yang sesungguhnya.
Inilah virtual terrorism. Bahkan hingga sampai detik ini, kita ragu ingin mengarahkan jari telunjuk kepada siapa, bukan? Apakah kepada Prabowo, sebagai pihak yang kalah dalam Pilpres atau kepada Jokowi yang sebenarnya adalah dalang di balik ke chaos-an ini? Atau sebenarnya ada lagi pihak yang sengaja mengambil momentum ini? Mungkin hanya Tuhan yang tahu...
Teroris sejati adalah teroris yang menyebar kekerasan, sambil menyatakan bahwa dirinya yang bertanggung jawab. Sementara teroris virtual adalah teroris yang melakukan pemboikotan, namun meletakkan sidik jari di tangan orang lain. Ia selalu berlindung di balik topeng-topeng , dan dibalik kambing hitam. Ia hanya memroduksi terror-teror palsu.(simulacrum of terror)
Simulacrum terror, sebagaimana dikatakan Baudrillard adalah sebuah permainan politik. Ia adalah sebuah cara mempermainkan realitas psikologi masa, citra, dan public opinion untuk kepentingan politik. Diciptakan event terror yang nyata. Diciptakan pula causalitas terror yang tampak nyata; ada markas, ada gerakan fundamentalis, dan ada padepokan latihan terror. Selanjutnya diciptakan citra realitas terror. Citra tersebut sepintas tampak merefleksikan yang sesungguhnya, padahal semuanya tak lebih dari rangkaian kesemuan. Inilah topeng-topeng teror; terror yang menyembunyikan kejadian sesungguhnya, terror yang mendistorsi realitas, memalsukan kebenaran, atau lebih dikenal dengan nama HYPERREALITY OF TERROR!
Waspadalah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H