Mohon tunggu...
Yogi Nugraha
Yogi Nugraha Mohon Tunggu... Akuntan - NIM 55521120045 Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Kampus UMB Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak Jurusan Magister Akuntansi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Laporan Keuangan Komersial vs Laporan Keuangan Fiskal (Konsep Korfis Perhitungan PKP)

3 April 2022   13:51 Diperbarui: 4 April 2022   20:56 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Laporan keuang komesial adalah laporan keuangan yang dibuat oleh managemen suatu perusahaan atau suatu entitas. Laporan keuangan komersial merupakan laporan yang disusun dengan mengacu pada prinsip akuntansi yang bersifat netral dan tidak memihak. Laporan keuangan komersial berpedoman pada prinsip akuntansi yang berlaku umum disuatu wilayah, misalnya Indonesia memakai PSAK sebagai pedoman pembuatan laporan keuangan. 

Dalam Standar Akuntansi Keuangan dalam Kerangka Dasar Penyusunan Laporan Keuangan Paragraf 12, bahwa: "Tujuan Laporan Keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi." 

Sedangkan laporan keuangan fiscal adalah laporan keuangan komersial yang sudah dilakukan koreksi atau penyesuaian dengan undang undang perpjakan yang berlaku. Sebenanya istilah laporan keuangan fiscal dalam literasi PSAK tidak ada, namun istilah ini digunakan oleh DJP atau para praktisi perpajakan sebagai dasar mencari berapa nilai penghasilan kena pajak (PKP).

Laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiscal sebernarnya timbul dari akibat system perpajakan Self assessment. Wajib Pajak diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri pajak-pajak yang terutang berdasarkan ketentuan undang-undang perpajakan dan melaporkan ke kantor pelayanan pajak dengan cara mengisi dan menyampaikan Surat  Pemberitahuan (SPT). Dengan demikian penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang berada pada Wajib Pajak itu sendiri. 

Dalam UU KUP disebutkan bahwa "Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak." Tapi dalam undang-undang tidak dijelaskan mengenai jenis laporan yang harus disampaikan, apakah Laporan Keuangan fiskal atau komersial. 

Namun dapat ditafsirkan bahwa Laporan Keuangan yang dimaksud adalah laporan yang sesuai dengan ketentuan perpajakan. Laporan Keuangan yang disampaikan harus dapat menunjukkan keterangan yang cukup untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak.

Dalam UU PPh telah diatur jenis pendapatan menurut perpajakan, jenis biaya yang diakui atau tidak diakui oleh perpajakan. Istilah akui atau tuidak di akui dalam perpajakan biasanya akan disebut koreksi fiscal negative atau koreksi fiscal positif. Intinya koreksi fiscal negative adalah jika koreksi tsb (baik biaya ataupun pendapatan) mengakibatkan berkurangnya jumlah penghasilan kena pajak, sedangkan koreksi fiscal positif adalah jika koreksi tsb mengakibatkan bertambahnya nilai penghasilan kena pajak.

Dalam UU PPh jenis penghasilan diatur dalam pasal 4 ayat 1,2,3 Grafis jenis penghasilan menurut UU PPH adalah sebagai berikut :

Proses Dalam UU PPH telah diatur pasal 4(1) penghasilan yang bersifat tidak final, pasal 4(2) penghasilan final dan Pasal 4(3) bukan objek PPH.

Dari bagan diatas maka dalam menghitung pendapatan atau omset yang dimiliki perlu mengetahui terlebih dahulu, pendapatan atau penghasilan yang diterima oleh perusahaan termasuk jenis penghasilan yang merupakan bukan objek pajak atau penghasilan yang merupakan objek pajak namun yang bersifat final atau non final. Berikut adalah beberapa contoh penghasilan yang bukan merupakan objek pajak :

  • Bantuan atau sumbangan, termasuk di dalamnya zakat. Selain itu, ada juga harta hibahan dari keluarga sedarah, lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil.
  • Harta warisan juga tidak termasuk objek pajak penghasilan, namun Anda perlu melaporkannya di dalam SPT Tahunan sebelum harta warisan tersebut dibagikan.
  • Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh subjek pajak badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal
  • Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
  • Deviden yang diterima oleh badan
  • Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif
  • Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
  • Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh BPJS kepada wajib pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

Beberapa contoh penghasilan yang bersifat final adalah sbb:

  • Bunga Deposito
  • Bunga tabungan dibank
  • Transaksi Penjualan Saham
  • Hadiah Undian
  • Usaha Jasa Konstruksi
  • Usaha Real Estate
  • Persewaan Tanah atau Bangunan

Beberapa contoh penghasilan yang bersifat Non final adalah sbb:

  • Penghasilan yang di dapat dari pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam kegiatan usaha
  • Laba usaha
  • Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
  • Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan asset
  • Keuntungan selisih kurs mata uang asing

Pembagian biaya yang diakui oleh pajak atau dengan kata lain biaya yang bisa dijadikan pengurang penghasilan dalam menghitung pajak yang akan terutang diatur dalam UU PPh pasal 6 dan pasal 9 yang mengatur tentang biaya mana saja yang tidak dapat diakui sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung besarannya penghasilan kena pajak. 

Secara ringkas biaya yang bisa dikui oleh perpajakan adalah biaya yang berhubungan dengan 3M (Mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan). Karena dalam UU PPh pasal 6 disebutkan "Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan," . sedangkan contoh biaya yang tidak bisa dijadikan pengurang untuk menghitung penghasilan kena pajak adalah sbb;

  • pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen
  • biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota
  • pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali dana cadangan oleh perusahaan yang bergerak dibidang keuangan

secara grafis proses koreksi fiscal bisa digambarkan sbb:

grafis-korfis-624af8829510513091674e72.jpeg
grafis-korfis-624af8829510513091674e72.jpeg
Dalam proses pembuatan koreksi fiscal perlu diperhatikan pula, jika pendapatan yang diterima oleh perusahaan atau entitas adalah merupakan penghasila final atau bahkan merupakan penghasilan bukan objek pajak maka biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan final atau yang merupakan bukan objek harus dikoreksi pula. Apabila wajib pajak memperoleh penghasilan yang dikenakan pajak secara final dan nonfinal maka sesuai Pasal 27 ayat (1) PP 45/2019, perusahaan(WP) tersebut wajib menyelenggarakan pembukuan secara terpisah. Pembukuan secara terpisah juga diwajibkan bagi WP yang memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak, atau wajib pajak yang mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A UU PPh.

Pembukuan terpisah tersebut dimaksudkan agar wajib pajak dapat memisahkan penghasilan beserta biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan tersebut. Namun, apabila biaya tersebut tidak dapat dipisahkan untuk penghasilan yang pajaknya final dan tidak final (dapat juga penghasilan yang objek pajak atau bukan objek pajak) maka pembebanannya dialokasikan secara proporsional sesuai ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) PP 45/2019. Untuk mengetahui tata cara penghitungan pengalokasian biaya secara proporsional dapat dilihat pada contoh kasus berikut.

PT ABC dalam bidang konstruksi yang dikenakan pajak secara final. Dalam suatu tahun, PT ABC  memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:

  • penghasilan dari usaha yang telah dikenakan PPh yang bersifat final Rp300.000.000
  • penghasilan bruto lainnya yang dikenakan PPh yang bersifat tidak final Rp200.000.000
  • Jumlah penghasilan bruto sebesar Rp500.000.000

Terdapat biaya bersama sebesar Rp250.000.000 atas jumlah penghasilan bruto tersebut yang tidak dapat dipisahkan. Berapakah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan kena pajak PT ABC?

Biaya yang dapat dikurangkan dihitung menggunakan pembebanan proporsionalitas sebagai berikut:

Biaya yang dapat dikurangkan = (penghasilan yang dikenakan PPH secara tidak final/jumlah penghasilan bruto)x Biaya bersama

                                                                = (200.000.000/500.000.000)x250.000.000

                                                                = 100.000.000

Dengan demikian, biaya yang dapat dikurangkan PT ABC untuk menghitung penghasilan kena pajak adalah Rp100.000.000.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun