Mohon tunggu...
Yoghi Lambesis
Yoghi Lambesis Mohon Tunggu... karyawan swasta -

i am a Writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hilang

2 April 2014   00:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:12 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1396349042767103378


Petir menggelegar sore itu. Satu sambaran, dua sambaran, ketiga kalinya hujan turun begitu deras. Milli berteduh disebuah Halte dengan cemas. Bukan cemas karena hujan dan petir, tetapi ia cemas menunggu seseorang yang sudah berjanji akan menemuinya.

Beberapa saat kemudian seseorang yang menjanjikannya untuk bertemu itu datang dengan payung besar berwarna hitam serasi dengan pakaiannya yang serba hitam. Sambil terengah ketika ia menghampirinya. “Aku minta maaf terlambat sedikit.” ujar pria berambut klimis setengah basah itu. Mungkin sebelum membuka payungnya, pria itu terguyur air hujan.

“Aku bisa memakluminya. Kau memang selalu seperti itu, meremehkan waktu yang kau anggap biasa saja.” Milli menghela napas sebelum melanjutkan, “Kau tau, aku cukup lama menunggumu disini. Sama seperti menunggumu yang menghilang sekian lamanya.”

Pria itu menutup payungnya dan menaruhnya di bangku Halte. Ia tertawa kecil sebelum berkata, “Sudahlah, Milli, aku sudah meminta maaf tadi,” Pria itu kemudian menyentuh air hujan dihadapannya dengan tangan kanannya. “Pertemuan pertama, setelah tiga bulan kita tak bertemu, ternyata momentumnya seperti ini.” pria itu kembali tertawa kecil.

Milli ikut tertawa. Tapi tertawa sinis, sambil memutar bola matanya. “Aku tak peduli dengan momentum seperti apapun. Kemana kau selama tiga bulan ini, Rendra?” Milli menarik napas sambil menutup matanya sesaat. “Kau menghilang begitu saja saat aku membutuhkanmu.”

“Aku…” pria bernama Rendra itu tergelagap. Khendak menjawab pertanyaan Milli, tapi lidahnya terasa kelu.

“Alasan apa yang akan kamu katakan, heh?”

“Aku minta maaf, Mil, aku…”

Milli memutar bola mata untuk kedua kalinya, sambil mendengus pelan. “Lagi. Maaf, maaf dan maaf. Apa tak ada kata lain selain itu?”

“Milli… aku bisa menjelaskannya,” Rendra menghela napas. “Tiga bulan ini aku…”

“Sudahlah, aku tak mau mendengar penjelasanmu. Kau terlalu banyak bertele-tele.” Milli merogoh sapu tangan didalam tas selempang berbahan kain rajutannya, lalu menyodorkannya pada Rendra. “Ambillah! Aku tak mau lagi berkutat dengan rindu pada seseorang yang sudah tak menganggapku ada.”

Rendra mengambil sapu tangan itu. “Milli…”

Milli mengacuhkan panggilan memelas itu. Ia khendak melangkahkan kakinya untuk pergi dari Halte tersebut. Dan meninggalkan apapun tentang Rendra. “Satu lagi, jangan pernah ada pertemuan lagi diantara kita.” Milli meninggalkan Rendra berdiri terpaku di Halte. Menerobos hujan yang masih deras, sesekali suara petir bergema. Membiarkan tubuhnya diguyur air tanpa penghalang apapun.

**

Tubuhnya menggigil, setelah setengah jam yang lalu ia basah kuyup karena hujan membasahi perjalanannya dari Halte sampai rumah. Milli mengganti pakaiannya, mengalungkan handuk, sambil menyusup teh hangat di ruang tamu. Ia duduk termenung, memikirkan Rendra yang tiba-tiba hadir kembali setelah tiga bulan lamanya, kekasih yang ia cintai itu, menghilang. Dan parahnya, tanpa sebab dan alasan apapun. Harusnya Rendra tahu apa yang selama ini Milli lakukan untuk mengetahui keberadaannya. Selama tiga bulan belakangan, Milli mencari tahunya lewat kerabat-kerabat Rendra di kampusnya. Termasuk sahabatnya bernama Arga. Tapi selalu nihil. Mereka juga tak tahu kemana Rendra pergi.

Duk..duk..duk! terdengar suara ketukan pintu dari arah depan. Milli menaruh cangkir yang sedari tadi ia genggam untuk menghangatkan tubuhnya. Lalu ia beranjak menuju ruang depan. Menekan gagang pintu, lalu membukanya. Terdengar suara decitan dari engsel pintu. Ia melongok keluar dan ke segala arah. Tak ada siapapun disana. Rintik hujan masih lumayan deras. Milli menggaruk kepala, walaupun sebenarnya tak gatal. Ketika ia rasa tak ada siapapun disana, ia memutuskan untuk kembali ke dalam. Mungkin hanya pendengarannya yang salah. Ia hendak menutup pintu, tapi tiba-tiba tertahan, karena sebuah benda yang berada dekat pintu tergeletak. Ia lalu mengambilnya.

“Rendra?” ia menjabarkan sapu tangan yang di genggamnya. Lalu bersamaan dengan itu, secarik kertas terlipat rapi jatuh ke lantai. Ia mengambil kertas itu dan melihat isinya. Seperti sebuah surat. Ia lalu membacanya.

Yang terkasih, Milli Oktavia

Aku rasa ini bukanlah sebuah surat cinta. Aku menulis surat ini, hanya ingin menjelaskan kenapa aku menghilang sekian lamanya dari kamu. Tapi, Aku tak bisa menjelaskannya saat ini, mungkin… suatu saat kamu akan tahu alasan kenapa aku menghindar dan menghilang.

Mil, kamu mengerti dan memahami sebuah kalimat yang menyebutkan, dimana ada pertemuan, maka bersiap pulalah dengan perpisahan?.

Dariku yang membuatmu kecewa, Rendra Handoko.

Milli membendung air dalam mata cerahnya. Gemuruh di hatinya kian menjadi. Separuh perasaannya mencoba memahami maksud dari surat itu. Ia yakin, Rendra berada di sekitar rumahnya. Ia lalu kembali melangkah dengan cepat ke teras rumah. Tapi lagi-lagi tak ada siapapun disana.

**

Telepon genggamnya berdering pagi itu ketika ia selesai membereskan tempat tidurnya. Hape yang ditaruh di meja sebelah tempat tidur dekat lampu itu diraihnya dan menjawab panggilan.

“Hallo, Arga, ada apa?” Tanya Milli yang sebelumnya melihat layar hape-nya ternyata Arga yang menelpon.

“Mil, bisa ketemu siang ini?”

“Dimana? Apakah ada yang penting, Ga?”

“Nanti aku jelaskan, ketemu di kafe dekat Halte ya!”

Telpon itu diakhiri oleh Arga, padahal Milli belum menyatakan iya atau tidak atas ajakan Arga yang menelponnya.

**

Pukul 1. Di meja paling pojok dekat dinding kaca, Milli memandang ke luar kafe. Matahari bersinar dengan sangat cerah, tapi tak secerah hatinya saat itu. Ia masih saja memikirkan Rendra yang misterius. Atau mungkin sok-sok an misterius. Atau mungkin lagi, Rendra sedang merencanakan sesuatu. Banyak mungkin mungkin lain yang sedang Milli pikirkan.

“Hai, Mil,” sapa seseorang yang membuatnya sadar dari lamunannya.

Milli melirik ke samping. Arga sedang berdiri sambil mengguratkan senyumnya. “Hai, Ga, silakan duduk!”

Arga duduk sambil mengambil hape-nya, lalu menaruhnya di meja. “Aku boleh pesan minuman dulu?”

Milli mengangguk seraya tersenyum mempersilakan.

Lalu Arga memesan minuman pada waiters yang sedang berdiri menunggu orderan di sekitar mereka. Beberapa menit kemudian, minuman itu sudah diantar ke meja mereka. “Kamu mau pesan minum lagi?” Tanya Arga ketika melihat coklat panas yang berada di meja, tepatnya dihadapan Milli, sudah hampir habis.

Milli menggeleng. “Tidak, terimakasih.”

Arga menyeruput kopi hitam yang dipesannya. Lalu menaruhnya lagi pelan. Seraya menambahkan gula dalam sachet dan mengaduknya.

“Sebenarnya ada apa kamu mengajakku bertemu?”

Arga tampak menyeruput kopi-nya kembali dan menaruhnya lagi. “Tentang Rendra.” ujar Arga.

“Rendra?” Milli mencondongkan tubuhnya kearah Arga. Menatapnya dengan serius beberapa saat. Setelahnya ia mengangkat tubuhnya kembali dan bersandar di sandaran kursi sambil mengelus kuping cangkir dengan gerak malas. “Kemarin aku bertemu Rendra di Halte.”

Arga tampak tersentak kaget. Sampai tangannya tak sengaja menyenggol meja dan membuat kopinya tumpah sedikit. “Kok bisa? Bagaimana mungkin?”

“Kenapa kamu tampak kaget seperti itu, Ga?”

“Begini,” Arga tampak membetulkan posisi duduknya. “Mil, sudah saatnya kamu tahu semua apa yang terjadi dengan Rendra.”

“Maksudmu?”

“Rendra sudah meninggal, Milli.”

Milli tertawa. “Kau bercanda, Arga.”

“Aku serius.”

Milli tertegun. “Kemarin aku bertemu dengannya, Arga.”

“Tentang itu aku tidak tahu menahu, mungkin karena Rendra sangat mencintaimu.” Arga menghela napas. “Aku mau jujur sama kamu tentang sesuatu hal.”

“Aku harus menyampaikan amanat ini sesuai apa yang Rendra amanatkan. Sebenarnya, selama tiga bulan ia menghilang, ia mengalami penyakit stroke ringan. Hingga hari ke hari, dan bulan ke bulan, penyakitnya semakin parah. Tubuhnya lumpuh, bicaranya pun sangat sulit. Dan selama beberapa bulan itu, ia selalu menceritakan tentangmu, tentang pertama kali ia bertemu denganmu, dan banyak lagi semua tentang mu. Dan selama itu pula ia memintaku untuk tak memberitahukan kepada siapapun tentang kondisinya. Termasuk kamu, Milli.” Arga kembali menghela napas. “Katanya demi kebaikanmu. Ia takut kamu akan merasa iba padanya, dan akan membuatmu sedih. Ia sangat mencintaimu, Milli.”

Milli membanjiri seluruh permukaan pipinya dengan bulir-bulir air mata yang deras keluar. Kekasihnya Rendra yang ia temui kemarin di Halte, ternyata sudah meninggalkannya, meninggalkan cintanya, dan meninggalkan dunia. Bodoh, kenapa kau merasa aku akan iba padamu jika kau sedang sakit? Tak akan pernah seperti itu. Mungkin jika aku mengetahuinya kenapa kau menghilang, setidaknya aku dan kamu membuat sebuah kenangan termanis sampai kita berpisah. Seperti sapu tangan yang kamu berikan dulu, aku selalu menyimpannya, membuat benda itu sebagai alat pengobat rinduku padamu, Rendra Handoko. *)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun