Mohon tunggu...
Yoga Widhia Pradhana
Yoga Widhia Pradhana Mohon Tunggu... -

Kebenaran tidak dikenal dari orang-orangnya. Tapi kenalilah kebenaran, maka engkau akan tahu siapa orang-orang yang brada di atas kebenaran

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK: Checkmate? (1)

25 Januari 2015   05:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:25 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Yoga Widhia Pradhana*

[caption id="attachment_347873" align="aligncenter" width="235" caption="www.wartabuana.com"][/caption]

Beberapa hari ini publik dikejutkan dengan penangkapan salah satu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Bambang Widjojanto oleh Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (BERESKRIM POLRI). Bambang Widjojanto ditangkap dengan tuduhan memobilisasi saksi palsu pada persidangan Mahkamah Konstitusi dalam persengketaan Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) Kotawaringin Barat tahun 2010. Menjadi kontroversial karena penangkapan Wakil Ketua KPK ini berdeketan dengan penetapan status tersangka Calon Kapolri, Budi Gunawan. Selain itu, kasus yang dituduhkan merupakan kasus lama yang tidak terbukti dan kemudian dilaporkan kembali. Persepsi negatif publik pada institusi Polri pada akhirnya tak terbendung muncul ke permukaan. Ratusan massa turun ke gedung KPK untuk beramai-ramai meneriakkan #SaveKPK sebagai bentuk simpati atas sebuah dugaan adanya kriminalisasi dan upaya pelemahan KPK atas penangkapan ini.

Memang peristiwa seperti ini bukanlah sebuah hal yang baru. Tentu kita masih ingat sebuah drama ‘Cicak vs Buaya’ yang diperankan oleh para petinggi KPK dan Polri seperti Susno Duadji, Antasari Ashar, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah. Dari pengalaman itulah, publik kembali menilai bahwa penangkapan Bambang Widjojanto merupakan episode pertama drama ‘Cicak vs Buaya’ jilid 3. Pidato Presiden Joko Widodo pun ditunggu untuk melengkapi alur drama dari episode ini. Sayangnya, pidato Presiden Joko Widodo tidak mampu memuaskan harapan publik. Sehingga Presiden terkesan hanya menjadi ‘cameo’ dalam drama ini.

Obyektif! Adalah satu-satunya pesan Presiden yang ditangkap oleh publik dalam menyelesaikan kasus ini. Begitupula dengan tulisan ini. Penulis akan mencoba memberikan pandangan obyektif tentang apa yang membuat publik menilai terjadi upaya pelemahan KPK yang terjadi akibat dari penetapan status tersangka Bambang Widjojanto. Sehingga penulis menyarankan untuk tidak melanjutkan membaca tulisan ini jika ekspektasi pembaca adalah untuk mendapatkan pembahasan seputar konspirasi atas kasus ini.

Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi Pasal 21 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa pimpinan KPK terdiri dari 5 (lima) anggota. Akan tetapi hingga saat ini, pimpinan KPK hanya terdiri dari 4 (empat) anggota setelah M. Busyro Muqoddas dinyatakan berakhir masa jabatannya di tahun 2014 yang lalu. Kursi kosong itupun tak kunjung berpenghuni padahal telah terseleksi 2 (dua) calon Wakil Ketua yakni M. Busyro Muqoddas dan Roby Arya Brata. Empat anggota KPK yang tersisa saat ini adalah Abraham Samad sebagai Ketua KPK, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Pradja, dan Zulkarnain sebagai Wakil Ketua KPK. Dari ketidaksesuaian jumlah anggota berdasarkan ketentuan UU tersebut pada dasarnya telah muncul kekawatiran banyak pihak tentang adanya celah untuk mempermasalahkan legitimasi keputusan yang diambil oleh Pimpinan KPK.

Permasalahan tersebut semakin krusial dengan ditetapkannya Bambang Widjojanto sebagai tersangka. Jika merujuk pada pasal 32 ayat (2), disebutkan bahwa “Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya”. Itu artinya, akan ada kursi kosong baru di struktur pimpinan KPK dan tinggal menyisakan 3 (tiga) pimpinan KPK. Hal ini dapat mengancam kinerja pimpinan KPK yang diharuskan kolektif pada pasal 21 ayat (5).

Azas kolektif kolegial adalah memberikan hak suara yang sama dari masing-masing pimpinan KPK. Menurut Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsuddin, berdasarkan azas tersebut maka putusan KPK dianggap sah apabila suara pimpinan KPK terhadap satu masalah masuk dalam hitungan mayoritas. Jika ada 5 (lima) pimpinan berarti dinilai mayoritas adalah 3 (tiga). Itu artinya tidak boleh lagi ada pimpinan yang bermasalah dengan hukum sehingga dapat ditetapkan sebagai tersangka. Jika hal itu terjadi, maka KPK tidak akan dapat mengambil keputusan karena tidak ada hitungan mayoritas. Apalagi santar kabar yang beredar bahwa 2 (dua) anggota KPK lainnya telah dilaporkan dengan tuduhannya masing-masing. Dengan alasan inilah, rasanya dapat dipahami adanya reaksi logis publik bahwa penetapan tersangka Bambang Widjojanto merupakan bentuk kriminalisasi dan upaya pelemahan KPK. Terlepas dari kasus hukum yang masih perlu dibuktikan di pengadilan.

Seperti kata Ali bin Abi Thalib, kebenaran memang tidak dikenal dari orang-orangnya. Sebagaimana pimpinan KPK yang bukan malaikat dan selalu benar. Akan tetapi masih dalam pesan Ali bin Abi Thalib bahwa untuk mengetahui orang-orang yang berdiri di atas kebenaran, meka kita harus mengenali kebenaran itu sendiri.

Maka kebenaran dalam kasus ini sejatinya terletak pada penegakkan hukum dan pemberantasan kasus korupsi!

*Peneliti di Centre for National Strategic Studies (CNSS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun