Beberapa pekan pascatsunami dan gempa di Aceh tahun 2004 lalu, saya berkesempatan ikut dan berbagi dalam tim sukarelawan dari kota Jogja.
Setelah berpekan-pekan menikmati jalan darat dari Medan menembus Meulaboh, akhirnya kami bisa mengakses jalan udara berkat bantuan dari lembaga PBB. Entah itu jalan darat atau udara, perjalanan selalu diiringi doa dan harapan sehat wal afiat sehingga bisa menunaikan apa yang bisa dilakukan nanti bersama komunitas yang kami temui.Â
Banyak hal yang terjadi dalam perjalanan, seperti gempa susulan yang memecah jalan aspal, merobohkan jembatan satu-satunya di perbatasan Sumut dan Aceh hingga harus kembali lagi ke kota Medan. Yah, 24 jam di dalam mobil dari hampir tengah malam kembali ke tengah malam lewati jalan alternatif yang penuh tanya. Maksudnya, sang supir travel sibuk bertanya dengan sesama pengendara yang mau tidak mau seolah hilang arah, di belantara hutan perbukitan yang kami lintasi.Â
Syukurlah, saya dan teman-teman menikmati dan mensyukuri perjalanan kami dalam suka dan duka.
Sukanya, kami yang kebanyakan berdiam di pulau Jawa, benar-benar merasakan hawa rimba Sumatera dengan jalan yang tidak selalu lurus dan mulus. Sukanya, tiap daerah juga menawarkan kekhasan yang bisa dikenali lewat sejumlah pasar di pinggir jalan. Jeruk Medan, durian Medan, salak Medan dan Markisa Medan misalnya selalu membuat kami berhenti. Perjalanan tidak terasa membosankan, percakapan dengan penduduk lokal dan pedagang dan rasa tiap buah pasti menjadi kesan yang tak terlupakan.
Hingga tiba saatnya, saya harus melakukan perjalanan sendiri tidak bersama tim. Saat itu saya menumpang pesawat yang digratiskan bagi tim relawan kemanusiaan. Kebetulan ada kawan baru yang sama-sama bertugas di kota Meulaboh.
Tapi kami beda tempat duduk. Saat itu penumpang memang tidak terlalu banyak. Saya duduk pas di depan tempat duduk kawan saya. Dan saya sengaja memilih di samping jendela. Sebelah saya kosong. Demikian juga kawan saya. Dia duduk di tepi jendela dan sebelahnya juga kosong. Kami cuma diam tak mengobrol selama perjalanan dari bandara Medan. Penumpang lain banyak dari negara asing. Sepertinya semua seolah mengheningkan cipta, meresapi apa yang akan ditemui di lapangan nanti.
Rute perjalanan kali itu adalah yang terbaru buat saya, terbaca Medan, Siberut, Meulaboh. Saya cuma bisa pasrah yang penting tiba di tujuan, Meulaboh.
Syukurlah saat itu cuaca cerah. Pemandangan langit cantik berhias lukisan awan. Alami.Â
Hingga tiba saatnya mendekati deretan kepulauan. Ya Allah, sangat indah tak terucapkan. seolah nyaris hilang bayangan kedahsyatan akibat bencana yang tersaksikan di lapangan dan perjalanan darat sebelumnya. Spontan saya semakin beringsut mengintip lewat jendela pesawat dan bergumam sendiri. Dan tidak hanya saya seorang diri yang mengeluarkan decakan kagum. Para penumpang lainnya, termasuk kawan saya yang duduk di belakang tempat duduk saya.
Kekaguman lintas bahasa seolah berkumandang, memuji kecantikan yang ditampakkan dari atas langit sampai pemandangan nyiur melambai dan deburan ombak menyapu pantai. Sungguh tidak akan terlupa. Sampai kini. Sampai saya tidak tahu kapan saya bisa kembali lagi melintasi pulau itu lagi. Juga serunya perjalanan darat itu pasti terkenang, semoga.Â
Kemarin saya cuma selintas membaca pengumuman Kompasiana untuk menuliskan kisah di tiga propinsi di Sumatera, Sumbar, Sumut dan Aceh. Dan saya seakan kembali ke pada masa itu. Semoga semua menjadi semakin indah dan terawat alami. Rasanya memang seperti mimpi bagi saya pribadi, namun puji syukur selalu saat saya masih dikaruniai kesehatan dan kesempatan untuk menjalin silaturahim dan berbagi bersama saudara-saudara setanah air tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H