Mohon tunggu...
Yoga Utami
Yoga Utami Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

menyemai ilmu di ladang kita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tempat Parkir "Istimewa"

15 Maret 2018   23:46 Diperbarui: 16 Maret 2018   00:22 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini masih lanjutan atau sekitaran tentang tempat parkir penyandang disabilitas.

Kata "istimewa" mengandung arti sesuatu yang dihadirkan tidak seperti biasa. Ada perhatian dan perlakuan tambahan yang disesuaikan dengan pihak yang menjadi tujuan. Dalam tulisan ini, sesuatu yang istimewa itu dihadiahkan bagi para penyandang disabilitas. 

Saya sengaja memilih kata "hadiah" yang tentunya dipenuhi rasa nuansa "istimewa". Kami para penyandang disabilitas bukanlah objek yang hanya seolah meminta belas kasihan karena kondisi raga kami kurang sempurna. Tiap manusia dilahirkan dengan keunikan. Jika memang kita ingin dinilai adil dan bijak, prinsip menghargai keunikan sewajarnya ditegakkan. Idealnya, di setiap alur kita menjalin hubungan dengan sesama. Kali ini, saya hanya ingin berkisah tentang parkiran. 

Kami bersyukur sudah mendapatkan tanda parkir istimewa untuk para penyandang disabilitas. Proses dan persyaratan mendapatkan tanda parkir di kota tempat tinggal kami sila klik tulisan sederhana saya sebelumnya. Kami bersyukur dengan segala kemudahan yang diberikan. Sesuatu yang istimewa dan diberikan dengan penuh perhatian. Sesuatu yang juga menjadi pelajaran berharga buat siapapun bagaimana bersikap kepada sesama. 

Tulisan ini terinspirasi setelah saya sempat membuka email dari pendamping kesehatan saya, yang biasa dikenal sebagai MS fieldworker. Beliau memberikan informasi terkait berita di media lokal, tentang parkiran. 

Berikut link yang diberikan: 'Tidal wave' of dobbing incoming for mobility park abusers

Membaca berita tersebut tebersit juga rasa sedih dengan kenyataan tidak semua pihak menyadari mengapa parkiran untuk para penyandang disabilitas hadir sebagai fasilitas umum. Dari beberapa grup atau laman facebook yang saya baca sebelumnya, keluhan semacam ini bisa terjadi di negara mana pun. Banyak juga yang tidak menyadari bagaimana desain yang tampak sederhana sebenarnya memuat pesan keberpihakan kepada sejumlah penyandang disabilitas, terutama yang menggunakan kursi roda, misalnya. 

Jarak antara satu mobil dengan mobil dibuat jeda dengan beberapa garisan yang biasanya miring berderet. Jeda bergaris itu dibuat demi kemudahan mereka yang menggunakan kursi roda untuk keluar dan masuk kendaraan. 

Bisa dibayangkan, sebuah kursi roda dengan seseorang yang duduk dan harus keluar dari kendaraan atau masuk. Mereka membutuhkan ruang. Kepedulian semacam ini kadang diabaikan oleh mereka yang tidak mengalami rintangan fisik. Ada beberapa keluhan, seantero jagat raya, terkadang seseorang parkir mengambil ruang jeda bergaris tadi. 

Juga ada yang parkir di tempat parkir istimewa meski tidak memiliki tanda parkir.  Tanda parkir tidak bisa seenaknya diberikan. Diperlukan persetujuan dari pihak dokter bahwa seseorang benar-benar memerlukan.

Dan tanda parkir ini terkadang menjadi masalah bagi penderita MS, seperti saya. MS sendiri cukup rumit untuk dipahami karena seorang penyitas MS bisa tampak sehat tak kurang satu pun. Ada beberapa keluhan yang saya baca dari mereka yang terkejut mendapatkan pesan yang ditinggalkan orang lain di kendaraan mereka. 

Biasanya pesan tersebut seakan-akan berbunyi mengecam pemilik kartu yang terpampang di kaca depan mobil. Intinya, mempertanyakan kesahihan kartu tersebut. Sebuah pesan yang salah alamat. 

Kejadian seperti ini mendorong saya menuntaskan tulisan thesis saya, arrgh .... Topik saya memang seputar literasi kritis, critical literacy. Terinspirasi dari pesan Paulo Freire, tokoh pendidikan asal Brazil yang melegenda yang berpihak pada kaum yang tertindas (Freire, 1970), bahwa membaca dan menulis bukan sekadar huruf demi huruf, melainkan pemahaman, kepedulian dan kesadaran hingga bersikap membenahi keadaan. Read the word and world, demikian Freire berpesan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun