Mohon tunggu...
Yoga Utami
Yoga Utami Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

menyemai ilmu di ladang kita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dunia MS

16 Januari 2018   00:10 Diperbarui: 16 Januari 2018   05:41 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mengenal dekat dengan Multiple Sclerosis (MS) sudah hampir setahun lebih sedikit. Dunia, jujur saja, menjadi terasa lebih sempit. Dengan kata lain, atau hikmah yang terpetik, tidak usah repot dengan banyak urusan yang bukan urusan kita. Menjadi lebih menyayangi diri termasuk buah hati, itu prioritas. 

Makin terasa dekat dengan Sang Pencipta, harafiah dan artian yang sebenarnya. Secara harafiah, terasa dekat dengan doa dan doa. Keluh kesah dan pengharapan. Dan dalam artian sebenarnya, duduk bersujud. Kadang badan ini tidak kuat tegak berdiri, meski hanya sebentar. Allah SWT sudah rencanakan semua ini, bukan hanya untuk saya seorang. Pilihan tuntunan shalat tersedia untuk kondisi semacam ini. Jika tidak kuat berdiri, duduk. Jika tidak kuat bangun untuk duduk, berbaring. Ketika saya hanya mampu untuk duduk, meleleh keakuan saya. Terutama kala bersujud. Sedemikian dekatnya jarak waktu dan ruang tunduk mencium bumi. Juga saat hanya mampu berbaring, kepasrahan dalam artian yang dalam dan sebenarnya menghadap Sang Khalik. 

Meditasi, seperti yang sering saya baca dari sejumlah artikel yang menguraikan kiat-kiat menjalani hidup dengan penyakit kronis, adalah salah satu cara menambah kekuatan dan mendorong keyakinan diri. Saya memaknai gerakan juga lafaz dalam shalat sebagai kata "meditasi" yang pas untuk saya yang muslim ini. Dari buku karya Professor Jellinek, Overcoming Multiple Sclerosis (OMS), meditasi tersebut di antara sejumlah kiat menyiasati keterbatasan akibat MS selain misalnya menjaga makanan atau diet, berolahraga yang ringan semampu tubuh, membatasi aktivitas yang tidak membuat tubuh menjadi letih baik fisik maupun mental. Perlu dicatat, hingga kini belum ditemukan penyebab dan penyembuh MS.

Professor Jellinek sendiri adalah seorang dokter juga dosen, asal Melbourne, Australia. Beliau menuliskan dalam buku OMS, pada bagian awal pembuka, ada kisah mengharukan. Mendiang sang Ibu juga menderita MS. Dan akhirnya berpulang dan beliau sempat menyaksikan saat-saat terakhir Ibunda menghembuskan nafas. Terbayang kepedihan juga kesedihan Professor Jellinek akan derita Sang Ibunda semasa hidup. Dan titik mengharukan selanjutnya, saat Professor Jellinek yang tengah berada meniti jenjang karirnya di dunia medis, tak disangka sebelumnya juga di luar bayangannya, beliau pun mendapatkan diagnosis yang sama, multiple sclerosis. 

Professor Jellinek menuliskan betapa berkecamuk perasaan batin juga lahir. Mengapa saya? Pertanyaan lazim yang sepertinya terlontar oleh hampir semua yang terdiagnosa MS. 

Dan beliau pun bertekad, berbuat sesuatu. Apa yang dialami mendiang Ibunda dan dirinya membuat Professor Jellinek tersengat menularkan buah pikiran mengurangi rasa sakit dan putus asa. Beliau melakukan riset ilmiah, menulis buku dan artikel dan mendirikan gerakan menyiasati MS, Overcoming Multiple Sclerosis (OMS).

Beliau menjadi role model dalam gerakan ini. Seorang dokter medis, ilmuwan dan penyitas MS. Dunia MS memang memiliki dunia tersendiri yang mau tidak mau harus dipahami, baik oleh mereka yang mengalami maupun orang-orang di luar yang tidak merasakan dan mengalami. Sulit memang menjelaskan rasa sakit yang tidak kasat mata ini.

Saya mendapatkan gratis buku OMS sekitar hampir sebulan setelah hari diagnosis saya, 10 November 2016. Saat itu ada pertemuan bersama para MSers di kota Auckland, Selandia Baru. Barangkali suatu pertanda atau penanda. 

Dunia MS hampir sama seperti yang diungkapkan pepatah, tidak hanya selebar daun kelor. Dan di zaman now serba kekinian, dunia bisa jadi selebar layar monitor, bisa lebih gampang terakses mestinya meski memiliki keterbatasan fisik ... 😉

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun