Jurusan sejarah merupakan salah satu jurusan bukan favorit di perguruan tinggi. Lulusan jurusan sejarah juga kurang dicari dalam dunia kerja apabila dibandingkan dengan jurusan lain seperti hukum, akuntansi, sampai kedokteran. Namun anehnya, untuk lulus dari jurusan sejarah dikenal sulit dan lama.Â
Sulitnya lulus dari jurusan sejarah biasanya dikatakan oleh mahasiswa dari jurusan lain di fakultas tempat jurusan sejarah tersebut bernaung. Jadi pertanyaannya mengapa lulus dari jurusan sejarah sulit dan lama?
Penulis sendiri awalnya juga tidak mengetahui kalau pelajaran sejarah yang diajarkan sewaktu SMA, sangat berbeda dengan mata kuliah-mata kuliah jurusan sejarah yang ada di perguruan tinggi.Â
Ketika penulis S1 di Malang, seorang dosen pernah mengatakan, "Dalam penelitian sejarah, bisa jadi bukti harus lebih banyak dibandingkan tulisanmu di makalah atau skripsi". Langsung saja saat itu penulis langsung terkejut setelah mendengar pernyataan sang dosen, karena artinya kami mahasiswa sejarah harus menekan daya imajinasi bebas yang sebesar-besarnya, padahal harapan penulis ketika awalnya masuk jurusan sejarah, untuk mengeluarkan imajinasi bebas sebesar-besarnya.Â
Bukan hanya penulis saja yang terkejut mendengar pernyataan sang dosen tersebut, beberapa teman penulis juga terkejut, bahkan setelah itu mereka mengatakan akan mengambil SBMPTN lagi dan mengambil jurusan sastra atau filsafat yang mereka anggap lebih bebas dalam berkarya.
Pada level S2, penulis pernah sekelas dengan mahasiswa sastra dan filsafat di dalam mata kuliah teori kebudayaan, dan alhasil sastra ternyata tidak mudah untuk dipelajari, terutama yang berkaitan dengan struktur kata dan teks.Â
Belum lagi filsafat yang mengharuskan kita bergelut dengan sesuatu yang abstrak dan istilah rumit. Jadi kami mahasiswa sejarah hanya bengong ketika dosen menjelaskan soal sastra dan filsafat.Â
Sementara itu para mahasiswa sastra dan filsafat juga mengatakan kepada penulis bahwa mereka juga tidak paham apa yang diajarkan dosen ketika masuk ke dalam materi sejarah, mengapa demikian?
Penulis sendiri mencoba menerka-nerka mengapa sejarah cukup rumit bagi orang non sejarah. Dosen penulis pernah menceritakan pengalaman dalam membimbing penelitian sejarah mahasiswa non sejarah, terutama mahasiswa sastra dan filsafat, yakni sulitnya menekan daya imajinasi mahasiswa kedua jurusan tersebut.Â
Di jurusan sejarah semuanya harus berdasarkan bukti, sehingga penulis berpikir bahwa sejarah punya unsur kepastian juga.Â
Saat sidang tesis pun, penulis sempat kena kritik dari dosen penguji karena penulis membangun teori tanpa bukti.Â
Saat itu dosen penguji penulis mengatakan, "Sejarah itu sifatnya pasti, apalagi anda sudah berada di sidang tesis, sekarang dari pernyataan Anda, mana buktinya? Saya tidak mau teori saja," kata dosen penguji tesis penulis saat itu.
Dari sini kita memahami bahwa yang menyebabkan mahasiswa sejarah lulus lama adalah "bukti" atau "sumber sejarah".Â
Di dalam hal ini, bukti sejarah yang utama diperoleh dari sumber primer berbentuk arsip, dokumen, koran lama, rekaman dokumenter, wawancara pelaku atau saksi sejarah, dan lain sebagainya yang se-zaman dengan peristiwa yang kita teliti.Â
Masalahnya untuk mencari sumber yang se-zaman itu tidak mudah, karena peristiwa masa lalu belum tentu meninggalkan bukti atau sumber yang mencukupi, misalkan sejarah desa di Jawa yang mana penduduk biasanya hanya mengetahui sejarah desa melalui cerita secara turun temurun tanpa memiliki bukti tertulis. Selain itu, pelaku dan saksi yang se-zaman dengan peristiwa sejarah seringkali sudah meninggal. Â
Arsip dan koran lama pun sebenarnya bukan perkara mudah dicari. Ditambah lagi, belum tentu sumber-sumber berupa arsip dan koran lama dapat kita temukan di lembaga-lembaga pemerintah seperti Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), maupun Jogja Library Center (JLC).Â
Karena peristiwa sejarah sudah lama terjadi, sumber-sumber sejarah tersebut mungkin sudah hilang, tertumpuk di gudang milik orang bersama dengan barang-barang lain, hingga menyebar di berbagai kota, bahkan kalau sumber-sumber sejarah primer Indonesia bisa menyebar sampai ke negeri Belanda. Problematika mahasiswa sejarah memang cenderung lebih kepada menemukan sumber daripada metodologi.
Seorang peneliti sejarah memiliki keunikan dari sisi pengumpulan sumber, karena umumnya peneliti sejarah tidak bisa menjadi sumber primer dari peristiwa sejarah yang mereka teliti.Â
Berbeda dengan disiplin ilmu lain, misalkan sosiologi dan politik yang mana peneliti kedua disiplin ilmu tersebut bisa mengamati obyek penelitian secara langsung. Sedangkan peneliti sejarah tidak memiliki mesin waktu untuk pergi ke masa lalu dan mengamati secara langsung. Lho, bukankah ada video dokumentasi? Atau pelaku sejarah kan bisa meneliti peristiwa sejarah yang mereka alami juga?
Memang kita bisa menyaksikan video dokumentasi, akan tetapi kita tidak bisa menjangkau semua peristiwa sejarah yang terekam dalam video tersebut, misalkan rekaman mengenai Konferensi Meja Bundar (KMB), kita mungkin hanya bisa melihat apa yang terjadi saat perundingan berlangsung, namun kita tidak pernah bisa melihat bagaimana lobi-lobi di balik meja perundingan dilakukan.Â
Sebagai contoh lagi, kalau kita melihat video dokumenter mengenai jalan-jalan di Batavia tahun 1930 lalu menemukan cuplikan seorang individu yang sedang mencuci di Sungai Ciliwung, tentu kita tidak bisa melihat kehidupan lengkap individu tersebut, misalkan kehidupan dia di rumah atau hubungan dia dengan keluarganya.
Lalu mengenai pelaku atau saksi sejarah yang bisa meneliti peristiwa sejarah yang mereka alami, sebenernya prinsipnya sama saja dengan video dokumenter tadi, yakni keterbatasan jangkauan.Â
Sebagai contoh, Himawan Soetanto pernah menulis tesis berjudul "Madiun Dari Republik Ke Republik" yang membahas mengenai Aspek Militer Dalam Peristiwa Madiun alias Aspek Militer Pemberontakan PKI di Madiun Tahun 1948.Â
Himawan saat peristiwa terjadi, berposisi sebagai taruna akademi militer (M.A.) di Sarangan, sehingga Himawan menyaksikan secara langsung peristiwa sejarah tersebut. Akan tetapi posisi Himawan yang hanya sebagai taruna akademi militer, membuat Himawan hanya mengetahui bagian peristiwa tertentu dari peristiwa yang dia saksikan, sehingga Himawan tidak menyaksikan secara langsung rapat kalangan perwira militer di Markas Besar Tentara (M.B.T), Yogyakarta. Jadi Himawan dalam menulis tesis tersebut, juga perlu untuk menelusuri arsip-arsip, koran-koran, dan para narasumber se-zaman yang mengetahui peristiwa tersebut.
Itulah alasan mengapa mahasiswa sejarah lulusnya lama. Bukan karena mereka malas, Akan tetapi memang sumbernya perlu waktu untuk ditemukan. Meskipun demikian bukan berarti semua mahasiswa sejarah membutuhkan waktu lama untuk lulus.
Banyak juga mahasiswa sejarah yang lulus tepat waktu. Biasanya mahasiswa sejarah yang lulus tepat waktu telah mengumpulkan sumber-sumber sejarah sejak jauh-jauh semester. Kalaupun tidak, mereka telah memiliki perencanaan yang matang dan secara kebetulan semua sumber dapat ditemukan di tempat-tempat yang mereka rencanakan sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H