Mohon tunggu...
Yoga Permana Sukma
Yoga Permana Sukma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Jember

Mahasiswa yang ingin kritis terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Memahami Kebijakan Moneter: Rule Based Policy

18 November 2024   22:00 Diperbarui: 18 November 2024   22:32 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"In the long run we are all death." Begitulah yang dilontarkan Keynes dalam mengkritik pandangan klasik tentang mekanisme pasar dan kegagalan pasar yang disebabkannya. Seperti halnya tubuh manusia, sistem ekonomi dapat sehat namun juga dapat sakit karena 'patogen' tertentu. Pandangan klasik menekankan bahwa ketika ekonomi jatuh dapat menyembuhkan dirinya sendiri (self correcting). Namun Keynes berpendapat bahwa hal ini dapat berlangsung sangat lama bergantung pada akar masalah yang menyebabkan ekonomi tidak berada di tingkat keseimbangannya. Oleh karena itu, Keynes memperbolehkan adanya campur tangan pemerintah dalam mengatasi gejolak ekonomi sehingga ekonomi cepat pulih.

Campur tangan pemerintah dapat berasal dari otoritas moneter dan fiskal. Dalam ranah kebijakan moneter, kebijakan moneter digunakan oleh otoritas moneter untuk menstabilkan harga (inflasi). Tujuan kebijakan moneter utamanya untuk menjaga agar harga-harga secara umum tidak berfluktuasi tajam. Fluktuasi harga yang tajam atau kenaikan inflasi dapat merugikan para pelaku ekonomi karena mengurangi daya beli. Inilah yang dimaksud Keynes, tanpa adanya campur tangan pemerintah kita akan 'mati' dalam jangka panjang.

Stabilisasi harga merupakan single purpose dari kebijakan moneter. Namun seiring dengan perkembangan dan dinamika perekonomian, kebijakan moneter kemudian berkembang menjadi multipurpose misalnya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sekaligus stabilitas harga seperti yang tengah diterapkan Bank Indonesia saat ini serta pengangguran dan stabilitas harga seperti yang diterapkan oleh the Fed.

Sering kali kita mendengar atau membaca berita bahwa setiap bulannya Bank Indonesia mengeluarkan suku bunga (BI Rate). Suku bunga ini merupakan salah satu instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia dan bank sentral lainnya untuk mempengaruhi stabilitas harga. Suku bunga bank sentral bukan hanya sebuah angka tanpa makna, namun angka ini diterapkan berdasarkan mekanisme dan aturan tertentu. Hal ini membuat BI Rate disebut sebagai kebijakan berdasarkan atas aturan (policy rule).  Salah satu acuan yang digunakan dalam penentuan adalah formulasi Taylor Rule. Formulasi ini melibatkan angka inflasi, inflasi target, tingkat output, dan tingkat output potensial.

Namun sering kali pemodelan ekonomi menggunakan data masa lalu tidak dapat dijadikan sebagai patokan dalam menentukan kebijakan untuk masa depan (forward looking). Seringkali ekonomi mengalami kejatuhan yang luar biasa. Sebagai contohnya krisis moneter tahun 1998 dan pandemi covid-19. Pendekatan rule policy tidak dapat menangkap kondisi yang seperti ini, Bank Sentral kemudian mengembangkan kebijakan yang berada di luar aturan formal atau yang kemudian disebut sebagai discretion based policy. Bank Indonesia pernah melakukan kebijakan ini sewaktu pandemi dengan membeli SBN pemerintah pada pasar primer sebagai langkah pemulihan ekonomi. Meskipun hal ini dikritik oleh sebagian ahli ekonomi sebagai tindakan yang dapat mengancam independensi dan kredibilitas Bank Indonesia sebagai bank sentral.

Apakah Taylor Rule Benar-Benar Diterapkan dalam Penentuan Suku Bunga Kebijakan?

Taylor Rule diperkenalkan oleh seorang ekonom bernama John Taylor ditahun 1993. Dalam aturan ini disebutkan bahwa suku bunga bank sentral harus lebih tinggi ketika berada di atas target inflasi Bank sentral dan suku bunga yang lebih rendah ketika inflasi melambat. Secara umum aturan ini dijadikan sebagai pedoman bagi bank sentral yang menerapkan kerangka target inflasi (inflation targeting framework) dalam kebijakan moneternya.

Namun sebenarnya, suku bunga ditentukan tidak hanya berdasarkan pada mekanisme Taylor. Bahkan the Fed sendiri tidak serta merta menggunakan Taylor Rule sebagai dasar pijakannya. Terdapat faktor lainnya yang turut serta mempengaruhi suku bunga kebijakan misalnya kebijakan fiskal oleh pemerintah hingga fluktuasi ekonomi global.

Sumber: Brookings
Sumber: Brookings

Bahkan pada negara-negara berkembang, suku bunga juga ditentukan menurut arah kebijakan moneter the Fed atau bank sentral negara-negara maju. Misalnya saja suku bunga BI Rate umumnya mengikuti pergerakan suku bunga the Fed dengan tetap menjaga gap antara BI Rate dan the Fed. Hal ini ditujukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar atau menjaga agar tidak terjadi capital outflow yang berlebihan.

Kritik Terhadap Rule Based Policy: Taylor Rule

Taylor rule tetap menjadi dasar bagi Bank sentral dalam menentukan suku bunga acuan. Namun dalam perhitungannya, Taylor Rule menggunakan data historis yang diproyeksikan. Penggunaan data historis memang dapat memberikan suatu kesimpulan bahwa perilaku data masa depan mengikuti masa lalu (backward looking). Akan tetapi, seorang tokoh ekonom bernama Lukas memberikan pemahaman bahwa kebijakan masa depan tidak dapat dibangun berdasarkan data-data masa lalu (Lukas Critique).

Selain itu Taylor Rule juga penuh asumsi khususnya dalam penentuan output potensial dan output gap yang sepenuhnya juga ditentukan menurut data historis dalam model peralaman regresi atau model Hodrick-Prescott Filter (HP Filter). Tentu prediksi ini mengindahkan gejala ekonomi yang muncul dalam masa mendatang. Hal ini membuat Taylor Rule kurang adaptif terhadap gejala ekonomi (misalnya resesi).

Dalam praktik kebijakan moneter, terdapat batas bawah nol suku bunga (zero lower bound). Ketika suku bunga berada dibawah ZLB atau negatif, kebijakan moneter tidak lagi menjadi efektif untuk menstimulasi ekonomi. Bahkan memicu kerugian pada perbankan. Hal ini diterapkan di Jepang namun tidak banyak memberikan stimulasi bagi ekonomi. Dengan tidak efektifnya suku bunga negatif, Bank Sentral kemudian mengembangkan kebijakan moneter tidak konvensional seperti quantitative easing. Oleh karena itu pendekatan rule based perlu lebih adaptif dengan memasukkan kondisi shock ekonomi sehingga menghasilkan suku bunga kebijakan yang lebih adaptif. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun