Di setiap masa, mata dunia selalu tertuju pada perhelatan Pemilu AS. Politik AS dianggap menjadi arah dan navigator bagi perekonomian dunia. Per tanggal 11 November 2024, Donald Trump sebagai salah satu calon Presiden AS diprediksi menang telak atas Kamala Haris hingga 50.5 persen suara elektoral.Â
Kemenangan Trump ternyata berdampak besar terutama dalam dinamika nilai tukar negara-negara ASEAN. Sejak suara trump unggul pada tanggal 07 November 2024, nilai tukar negara -- negara ASEAN seperti Singapura, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Indonesia mengalami pelemahan serentak seakan-akan Trump mempunyai efek dalam menarik modal asing negara berkembang menuju Amerika Serikat.
Sejumlah kebijakan yang ditawarkan oleh Trump seperti kebijakan proteksionisme terutama pada produk ekspor China menarik perhatian bagi masyarakat AS dan optimisme investor asing karena dianggap menguntungkan perekonomian Amerika Serikat.Â
Namun disisi yang lainnya kebijakan proteksionisme yang terlalu ketat disinyalir dapat menghambat pertumbuhan eskpor negara-negara berkembang yang berorientasi pada ekspor. Â Hal ini yang kemudian memicu shock sesaat pada pasar valas negara-negara berkembang.Â
Tren elemahan nilai tukar antar negara-negara ASEAN berbeda-beda. Indonesia terhitung terselamatkan karena pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar lebih rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya terutama Thailand yang mengalami pelemahan terdalam hingga 2.61 persen sementara Indonesia hanya 0.98 persen. Penguatan nilai tukar juga terjadi pada rentang waktu tanggal 7 sampai dengan 8 November namun kembali melemah di tanggal 8-9 seiring dengan menguatnya prediksi terpilihnya Donald Trump dengan suara lebih dari 270 elektoral college. Â Â
Bagaimana dengan Upaya Indonesia dalam Memitigasi Pelemahan Nilai Tukar?Â
Shock pada nilai tukar mata uang suatu negara bukan sesuatu hal yang baru. Dalam kondisi tanpa Pemilu pun sering kali terjadi. Misalnya tekanan geopolitik dunia yang menghambat supply chain dan ketidakpastian perdagangan dunia turut serta melemahkan nilai tukar khususnya pada negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini mencerminkan dinamisnya arus masuk modal dan transaksi perdagangan internasional.
Dalam upaya memitigasi pelemahan nilai tukar Rupiah, Bank Indonesia memastikan masih adanya spread atau selisih suku bunga BI Rate dengan suku bunga the Fed. Selisih suku bunga yang tinggi dengan inflasi yang rendah merupakan daya tarik utama bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia utamanya dalam bentuk portfolio. Investor cenderung melihat suku bunga riil dibandingkan suku bunga nominal.
 Hingga saat ini, Bank Indonesia masih menahan suku bunga BI Rate di angka 6 persen sejak bulan September lalu berbanding dengan suku bunga Fed Fund rate yang berada di angka 5 persen. Masih tertahannya suku bunga BI rate merupakan upaya Bank Indonesia untuk menjaga nilai tukar rupiah tetap stabil disamping penggunaan instrumen lain seperi SRBI, SVBI, dan SUVBI. Fed Fund rate juga mulai turun di bulan November mencapai 4.75 persen atau 25 bps seiring dengan tercapainya target inflasi dan pengangguran di Amerika Serikat. Penurunan FFR ini masih dalam ekspektasi Bank Indonesia.
Penurunan suku bunga Fed Fund Rate pada bulan November ini merupakan katalis bagi Bank Indonesia untuk menyesuaikan BI Rate dengan menurunkan tingkat suku bunga. Diprediksi BI Rate dipastikan turun menyesuaikan penurunan Fed Fund Rate sebesar 25 bps menjadi 5.75 persen seiring tercapainya angka inflasi Indonesia dikisaran 1-2 persen (berada pada target 2.5%). Penurunan suku bunga ini juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia meskipun diprediksi mengalami perlambatan dan stagnasi.
Bayang-Bayang Kebijakan Proteksionisme Trump Pada Produk Ekspor Indonesia
Secara historis, sewaktu Trump masih menjabat sebagai Presiden, Trump sering kali mengeluarkan kebijakan proteksionisme dengan dalih untuk melindungi industri dalam negeri dari paparan produk impor terutama yang berasal dari China. Trump dalam kampanyenya berencana menaikkan tarif impor sebesar 10 -- 20 persen.Â
Tentu hal tersebut berpotensi dapat mengurangi nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Sering kali apabila nilai ekspor lebih kecil dibandingkan nilai impornya berdampak pada net ekspor dan juga pelemahan nilai tukar.
Pengenaan tarif impor tertinggi terjadi pada produk yang berasal dari China mencapai 60 persen. Hal ini membangkitkan perang dagang antar keduanya. Indonesia mungkin saja terdampak jika produk ekspor China ke Amerika serikat menggunakan bahan baku yang berasal dari Indonesia.Â
Di sisi lain, peningkatan tarif impor di Amerika serikat dapat berpotensi menyebabkan terjadinya relokasi produk ekspor dari Amerika Serikat menuju negara lainnya terutama China yang telah dikenal sebagai mitra dagang utama Indonesia. Namun jika relokasi tidak terjadi, Indonesia berpotensi dapat mengalami penurunan nilai ekspor.
Hal yang mungkin dapat dilakukan oleh Indonesia tentu harus melakukan inovasi atau dengan menghasilkan produk yang sangat dibutuhkan oleh penduduk Amerika Serikat sehingga mereka secara 'terpaksa' tetap harus membeli produk Indonesia dengan membayar lebih mahal. Selain dorongan stabilisasi nilai tukar oleh Bank Indonesia, pemerintah melalui kebijakan fiskalnya juga perlu memberikan insentif terutama bagi Industri yang berorientasi ekspor misalnya dengan memberikan subsidi ekspor atau stimulus investasi lainnya sehingga tidak terjadi shock berlebih pada industri akibat peningkatan tarif impor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H