Mohon tunggu...
Yoga Permana Sukma
Yoga Permana Sukma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Jember

Mahasiswa yang ingin kritis terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menelaah Prospek dan Tantangan Implementasi CBDC di Indonesia

1 November 2024   18:17 Diperbarui: 1 November 2024   18:47 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi Covid-19 telah membawa perubahan besar dalam lanskap perekonomian global. Kebijakan pembatasan sosial yang diterapkan pemerintah di memaksa masyarakat mengurangi interaksi fisik sehingga mendorong peralihan cepat pada transaksi digital. Kondisi ini masih terus berlanjut meskipun pandemi telah mereda mengisyaratkan perubahan yang bersifat permanen dalam preferensi transaksi masyarakat. Penggunaan transaksi digital dinilai lebih unggul dalam hal efektivitas dan efisiensi, memberikan akses yang lebih luas, serta mempercepat transaksi di berbagai sektor sehingga mendorong terjadinya keuangan inklusif.

Pada gilirannya, pandemi covid 19 menjadi titik balik bagi bertumbuhnya inovasi dan transaksi digital secara global. Salah satu bentuknya adalah aset kripto berbasis blockchain. Perkembangan aset kripto yang begitu pesat sejak tahun 2020 ternyata memiliki efek samping bagi perekonomian negara karena menghasilkan potensi shadow banking sekaligus shadow currency yang berakhir pada terciptanya shadow economy. Hal ini dapat mengganggu kedaulatan mata uang sah yang diakui oleh negara yang bersangkutan. Melalui latar belakang ini kemudian CBDC atau Central Bank Digital Currency muncul untuk mengurangi efek ketergantungan transaksi melalui crypto currency sekaligus sebagai solusi dalam memenuhi preferensi transaksi digital masyarakat secara sah.

CBDC atau Rupiah Digital berbeda dengan uang elektronik (e-money).  Penerbitan dan peredaran CBDC berada dibawah Bank Sentral sementara uang elektronik berada di sektor bank atau nonbank. Secara definitif, Meaning et al. (2018) mendefinisikan CBDC sebagai "salah satu liabilitas elektronik fiat dari bank sentral yang dapat digunakan untuk menyelesaikan pembayaran, atau sebagai alat penyimpan nilai," dengan mencatat bahwa CBDC "sudah ada dalam bentuk cadangan bank sentral". Intinya, fungsi CBDC sama seperti uang kartal yang dapat digunakan masyarakat untuk bertransaksi atau menyimpan nilai seperti apa yang dikemukakan oleh Keynes tentang motif memegang uang hanya saja penggunaannya memerlukan media seluler.

Menurut laporan IMF, beberapa negara di dunia telah mengimplementasikan CBDC sebagai salah satu alat pembayaran seperti Bahama, Jamaika, dan Nigeria, sementara itu lebih dari 100 negara berada di tahap eksplorasi (IMF, 2023). Secara khusus, Indonesia menjadi salah satu negara yang berada ditahap eksplorasi CBDC dengan hadirnya Proyek Garuda. Melalui proyek ini, Bank Indonesia ingin mendorong transformasi digital dengan mengintegrasikan ekonomi dan keuangan digital secara end to end dalam kerangka sistem pembayaran nasional (Bank Indonesia). Sebagai Bangsa Indonesia, kehadiran proyek Garuda sebagai langkah awal terbitnya CBDC perlu berbangga karena tidak hanya menjadi pengamat proyek -- proyek CBDC yang telah ada di negara -- negara maju namun juga turut berkontribusi dalam mengembangkan sistem pembayaran moderen dan mewujudkan akselerasi transformasi digital secara global.

Kritik Terhadap CBDC 

Kritik terhadap CBDC berada pada sisi sentralisasinya. Kontrol sentral oleh Bank Sentral pada CBDC sering kali dikhawatirkan oleh pelaku ekonomi akan kemungkinan penyalahgunaan oleh pihak bank sentral itu sendiri terhadap transaksi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi. Selain itu, ketika teknologi yang digunakan oleh Bank Sentral dalam menerbitkan dan mengedarkan CBDC rentan terhadap serangan siber tentu akan mengurangi kepercayaan masyarakat dalam bertransaksi menggunakan CBDC. Perspektif lain mengungkapkan bahwa penggunaan CBDC dalam transaksi digital yang dinilai lebih cepat juga dikhawatirkan dapat meningkatkan angka inflasi sesuai dengan hubungan tradisional yang dikemukakan dalam teori kuantitas uang.

Lebih lanjut, ketika CBDC dianggap masyarakat lebih aman karena berada dibawah kontrol Bank Sentral secara langsung dapat menimbulkan respon terjadinya penarikan uang pada perbankan karena masyarakat akan beralih mengkonversikan sebagian besar uangnya untuk menjadi CBDC. Tentu ini berisiko terhadap kondisi likuiditas perbankan yang kemungkinan dapat menipis dan berpotensi menghasilkan krisis keuangan sistemik atau disintermediasi dimana masyarakat sudah tidak lagi membutuhkan layanan perbankan. Bank secara natural akan menghadapi era kompetisi yang sangat ketat dalam memperebutkan dana pihak ketiga yang tentu akan meningkatkan cost of fund dan berakibat pada runtuhnya perbankan. Kehadiran CBDC juga berpotensi mengakibatkan perusahaan fintech mengalami kebangkrutan karena masyarakat sudah beralih dari e-wallet menjadi CBDC (Rupiah digital). Oleh karena itu otoritas moneter perlu mencermati hal ini sebelum transisi CBDC benar-benar diimplementasikan. Prediksi akan respon terhadap insentif sangat menentukan hasil penerapan CBDC.

Prospek dan Tantangan CBDC di Indonesia

Sebagai negara berkembang, implementasi CBDC atau Rupiah Digital di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan namun disisi lain sangat prospektif. Prospek implementasi rupiah digital berkaitan dengan bonus demografi yang dialami oleh Indonesia dimana penduduk muda dan produktif memiliki porsi besar dari total penduduk yang ada. Penduduk muda dikenal sebagai 'digital savy' yang dapat dengan mudah menggunakan pembayaran berbasis digital sehingga transisi ini dapat lebih cepat. Hal ini turut mendukung perkembangan ekonomi digital Indonesia yang lebih pesat seperti e-commerce hingga financial technology. Kemenkeu menyebutkan bahwa ekonomi digital Indonesia diproyeksikan tumbuh 20 persen dari tahun 2021 menjadi USD146 miliar pada tahun 2025 dan diprediksi akan terus meningkat seiring dengan masifnya penggunaan transaksi digital.

Namun dibalik prospek yang menggiurkan, implementasi CBDC juga menghadapi tantangan terutama pada kesiapan penduduk secara keseluruhan akan adopsi CBDC. Masalah mungkin muncul pada masyarakat kelas bawah yang menghadapi lack of acces dan lack of knowledge. Oleh karena itu transisi CBDC perlu juga diiringi dengan peningkatan literasi dan ekonomi masyarakat, regulasi yang tepat, dan kesiapan skalabilitas teknologi sehingga transisi CBDC dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya hambatan dalam bertransaksi. Kolaborasi antara pemerintah, Bank Indonesia, dan akademisi sangat diperlukan dalam mendukung transisi CBDC sehingga tidak menimbulkan efek kejut pada masyarakat.

Referensi

Bank Indonesia. (2o23). Digital Rupiah. https://www.bi.go.id/id/rupiah/digital-rupiah/default.aspx#heading8

International Monetary Fund. (2023, November 20). Central bank digital currency development enters the next phase. IMF Blog. https://www.imf.org/en/Blogs/Articles/2023/11/20/central-bank-digital-currency-development-enters-the-next-phase. 

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Wamenkeu: Ekonomi digital Indonesia sangat kuat. https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Wamenkeu-Ekonomi-Digital-Indonesia-Sangat-Kuat

Meaning, J., Dyson, B., Barker, J., & Clayton, E. (2018). Broadening narrow money: monetary policy with a central bank digital currency.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun