Mohon tunggu...
Yoga Permana Sukma
Yoga Permana Sukma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Jember

Mahasiswa yang ingin kritis terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Netizen Indonesia Pandai Celoteh di Media Sosial Tapi Minat Baca Rendah, Potensi Timbulkan Hoax?

18 Juni 2023   23:08 Diperbarui: 18 Juni 2023   23:50 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emmanuel Adegbenro's Images (Person Reading Books)

Peringkat minat baca dan literasi masyarakat Indonesia begitu rendah. Pernyataan ini didukung oleh data dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) di tahun 2016 Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara di dunia. Sementara menurut International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2019 Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara di dunia. Padahal di sisi lain, infrastruktur untuk membaca semakin baik setiap tahunnya karena terjadi peningkatan teknologi. Misalnya dengan adanya ponsel, seharusnya membuat minat baca masyarakat Indonesia semakin baik, namun bukti menunjukkan bahwa minat baca masyarakat indonesia "ya gitu - gitu aja", ga ada perkembangan. 

Tapi uniknya, masyarakat Indonesia sangat ketergantungan dengan ponselnya. Bahkan berdasarkan data dari BPS menunjukkan bahwa 67,88 persen penduduk Indonesia yang berusia 5 tahun ke atas sudah memiliki ponsel pada 2022. Persentase tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang masih 65,87 persen dan dapat diprediksi akan meningkat setiap tahunnya seiring dengan tuntutan era society 5.0. Sebagian besar masyarakat Indonesia menggunakan ponsel untuk mengakses Internet. Berdasarkan riset data.ai Rata-rata waktu yang dihabiskan juga terus meningkat dari 2019 selama 3,9 jam per hari, kemudian naik signifikan meningkat menjadi 5 jam per hari pada 2020. Selanjutnya pada tahun 2021, angkanya kembali naik menjadi 5,4 jam per hari dan naik lagi menjadi 5,7 jam setahun setelahnya. Kemudian sebagian besar akses internet digunakan untuk mengakses media sosial rata rata selama 192 menit atau 3.2 jam perhari atau dengan kata lain hampir 60 persen akses internet digunakan untuk akses media sosial. Lebih detail lagi jika diasumsikan waktu tidur adalah 8 jam maka sisanya adalah 16 jam, maka sebanyak 20 persen waktunya digunakan untuk mengakses media sosial. 

Parahnya lagi, tampaknya media sosial tidak digunakan sebagaimana mestinya. Netizen Indonesia sangat gemar berceloteh di media sosial seperti berkomentar 'nyinyir', flexing pengalaman atau harta, dan yang lebih buruk menyebarkan hoax. Bahkan beberapa tahun belakangan terdapat riset bahwa netizen Indonesia adalah netizen paling tidak sopan se Asia Tenggara menurut laporan Digital Civility Index pada tahun 2020. Hal yang paling disorot adalah penyebaran hoax (berita bohong) dan kebencian yang mudah tersebar di Indonesia melalui media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Twitter. Mudahnya penyebaran hoax utamanya disebabkan oleh rendahnya literasi. Hasil riset juga menunjukkan bahwa 44 persen masyarakat Indonesia tidak bisa mendeteksi Hoax. Mereka kerap kali menyebarkan informasi tanpa membaca dan melakukan cek ulang terkait informasi tersebut. 

Lalu, kira - kira apa yang menyebabkan minat literasi baca masyarakat Indonesia sangat rendah padahal di sisi lain fasilitas untuk membaca sudah advance. Pertama, banyak anak - anak di Indonesia tidak dibiasakan membaca sejak dini. Kebanyakan orang tua justru memberikan ponsel kepada anaknya yang tantrum tanpa bimbingan sehingga kerap kali digunakan untuk mengakses game, video, dan media sosial. Sedangkan bagi orang dewasa terutama generasi milenial, mereka lebih suka menulis di media sosial terkait pengalaman pribadinya di media sosial dibandingkan membaca informasi yang informatif. Budaya flexing atau pamer harta misalnya sering kali menjadi budaya generasi milenial Indonesia saat ini. Selain itu mereka sering berkomentar buruk terkait hal - hal yang menurut mereka tidak sejalan dengan pemikirannya. Lebih lanjut lagi mereka akan membaca informasi jika informasi tersebut sudah benar - benar viral karena banyak dibicarakan oleh banyak orang. Istilah kerennya fear of missing out (FOMO). Bahkan bagi kalangan siswa atau mahasiswa sendiri, membaca sumber referensi di nomor duakan, karena yang terpenting adalah efisiensi. Mereka lebih banyak copy paste tanpa membaca ulang bahan referensi tersebut secara komprehensif. Fenomena ini bisa saja membuat budaya literasi di Indonesia semakin "jeblok" tiap tahunnya. 

Padahal membaca dalam bentuk digital dengan akses internet seperti ebook, infografis data di media sosial seperti instagram, dan bentuk tulisan digital lain lebih menyenangkan daripada membaca buku fisik, apalagi jika diselipkan beberapa gambar atau grafik yang informatif. Meskipun terkadang beberapa sumber bacaan digital diperoleh dari sumber yang bisa dikatakan 'ilegal' karena menyebarkan tanpa izin penulis. Tapi menurut pendapat pribadi saya pengetahuan adalah sumber daya yang bebas dan gratis untuk didapatkan seperti halnya slogan sci-hub "the Knowledge Must be Free" asal tidak memplagiasi karya atau pengetahuan tersebut menjadi milik pribadi. Selain mudah dicari tentu tidak banyak mengeluarkan biaya seperti halnya membeli buku fisik. Penyimpanannya pun tidak memakan banyak tempat asalkan mempunyai cukup memori di laptop ataupun handphone. Potensi untuk dimakan rayap pun tidak ada, paling - paling baru bisa rusak jika perangkatnya rusak. Jadi membaca buku atau bacaan digital lebih nyaman melalui perangkat handphone atau laptop jika dibandingkan dengan buku fisik, asal dibatasi waktunya supaya tidak merusak kesehatan mata. Meskipun seperti itu, baik buku digital maupun fisik sama - sama memberikan pengetahuan. 

Dalam meningkatkan budaya membaca di Indonesia, orang tua dan pihak sekolah seharusnya dapat lebih kolaboratif. Mungkin sebelum pelajaran dimulai, siswa diwajibkan untuk membaca buku, entah itu buku digital atau buku fisik, kemudian menceritakan secara singkat apa yang telah baca. Memang terkesan dipaksa namun jika tidak dilakukan, budaya literasi di Indonesia akan "gitu - gitu aja" setiap tahunnya. Sementara bagi kalangan milenial, hal yang paling mudah dilakukan adalah mengikuti akun - akun yang informatif seperti akun berita, penyaji data, bahkan akun universitas ternama. Dengan mengikuti banyak akun informatif seperti itu maka mau tidak mau ketika scroll media sosial seolah-olah  dituntut untuk membaca. Perlahan tapi pasti, proses itu akan membiasakan diri kita sehingga bisa saja membuat masyarakat indonesia lebih 'kutu buku' bukan lagi 'netizen tidak sopan'. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun