Mohon tunggu...
Yoga Suganda
Yoga Suganda Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Money

LinkAja Atau Numpang Lewat Aja?

13 Februari 2019   09:03 Diperbarui: 13 Februari 2019   09:16 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rencana BUMN untuk meluncurkan jasa transportasi daring memang kini menjadi samar atau malah tidak terdengar lagi. Namun, harapan untuk memiliki sarana pembayaran dengan uang elektronik agaknya akan segera terwujud. 

Kementerian BUMN dikabarkan segera merilis LinkAja, sebuah fintech dengan layanan uang elektronik yang merupakan kolaborasi dari T-Cash (Telkom), Yap! (Bank BNI), e-Cash (Bank Mandiri), dan T-Bank (Bank BRI). Meski terkesan telat, dan nama yang (menurut saya) cenderung downgrade dari empat nama produk tersebut, government nampaknya tidak ingin membiarkan dua pemain besar lokal rasa asing, Go-Pay dan OVO, menguasai pasar. Berdasarkan data

Bukan rahasia lagi, saat ini pola bisnis baik jasa maupun trading, berubah menuju sistem daring. Tak hanya mengincar keuntungan bverupa rupiah, pemain dengan platform daring juga berharap pada informasi yang diberikan secara "sukarela" oleh konsumen. Betapa tidak, informasi tersebut bisa dianalisis dan diolah menjadi peluang untuk menawarkan bisnis baru kepada konsumen atau pasar di area yang telah ditentukan. 

Oleh karena itu, tak heran jika banyak perusahaan rintisan (startup) rela jorjoran promosi demi bisa mengakuisisi konsumen baru atau sebagai bentuk retensi kepada konsumen yang loyal.

Pertanyaan besar yang kemudian  mengemuka adalah mampukah LinkAja bersaing dengan duo "raksasa" yang berinduk pada layanan ojek? LinkAja sejatinya mempunyai basis yang lebih dari cukup. Telkomsel sendiri sebagai pemilik T-Cash, diklaim telah memiliki 25 juta pelanggan di seluruh Indonesia, dengan pengguna aktif hanya sekitar 20-30% saja. Bank BRI sebagai bank dengan aset terbesar (konsolidasi maupun secara entitas bank) dan tersebar di Indonesia tentu juga memiliki potensi besar dalam merebut pasar. 

Bank Mandiri dan BNI yang mengekor di posisi kedua dan ketiga sebagai bank dengan aset terbesar tentu memiliki captive market yang siap dielaborasi lebih jauh. Hal yang perlu diingat kuat adalah, LinkAja terdiri dari pemain besar di dua sektor vital, telekomunikasi dan perbankan. Dua industri yang tengah didominasi oleh government, melalui BUMN yang juga memiliki perangkat IT serta SDM yang mumpuni. Bahkan, satelit BRI pun harusnya bisa memiliki kontribusi lebih banyak lagi bagi eksistensi LinkAja ke depan.

Beberapa cara yang bisa dilakukan LinkAja guna memaksimalkan kehadiran mereka di tengah perang "bakar-bakaran duit" diantaranya;

  • Special Breakthrough.
    Kesan pertama yang ditimbulkan oleh LinkAja harus "nendang" alias mencuri perhatian. Segmentasi pasar yang jelas, fitur yang lengkap karena menggabungkan fungsi perangkat komunikasi dengan perbankan, dan kanal promosi yang sesuai. Diakui atau tidak, kesan yang sering ditimbulkan dari sebuah produk dan jasa garapan pemerintah atau BUMN cenderung kaku dan tidak sehebat produk garapan swasta. 

  • Entah disebabkan faktor birokrasi yang bertele-tele, pengambilan keputusan yang tidak taktis, atau tidak memiliki sumber daya yang mumpuni, imaji tersebut harus segera dihilangkan. Oleh karena itu, perlu keseriusan, keberanian, dan konsistensi dalam penggarapan dan peluncuran materi produk LinkAja.

  • Bakar Duit.
    Suka atau tidak, strategi "bakar duit" tengah menjadi senjata ampuh perusahaan startup atau setidaknya perusahaan yang berbasis teknologi. Belanja promosi dihabiskan melalui potongan harga atau diskon yang tidak sedikit, yang justru dianggap telah "merusak pasar". Konon, startup macam Gojek "membakar" USD 30 juta atau 400 miliar rupiah per bulan. 

  • Salah satu cara ampuh untuk berpromosi tentunya mempersenjatai LinkAja dengan platform yang menarik namun amunisi diskon yang lebih dari cukup. Sebuah teori pemasaran yang sederhana namun menjadi salah satu faktor utama Gojek menyandang gelar Unicorn (startup dengan valuasi 1 miliar dolar) dan sedang menuju status sebagai Decacorn (valuasi 10 miliar dolar).

  • Jika tidak dikelola dengan pemasaran yang sederhana namun powerful, bisa jadi kehadiran LinkAja hanya sekadar numpang lewat, atau hanya menjadi syarat terpenuhinya dompet digital yang murni dimiliki oleh negeri ini. Teknologi mumpuni dari Telkom, didukung SDM dan jaringan dari tiga besar bank BUMN, harus dilengkapi juga dengan marcomm yang tepat sasaran dan "berani".

  • Gandeng pihak ketiga.
    Kolaborasi BUMN kali ini agaknya bisa lebih solid dan menjual andai melibatkan lebih banyak pihak, dalam hal ini sesama BUMN. Ambil contoh kolaborasi dengan Pos Indonesia. Perusahaan yang berdiri sejak tahun 1746 itu sejatinya memiliki peluang besar untuk berkibar di era e-dagang. Akan tetapi, sang merpati justru tak kunjung terbang tinggi, malah bulan Januari 2019 mereka telat membayarkan gaji. 

  • Potensi LinkAja untuk menjadi dominan terbuka lebar jika terintegrasi dengan jasa kurir dari Pos Indonesia. Data yang dihimpun Global Web Index menunjukkan bahwa 86% warganet Indonesia membeli barang secara online, disusul Tiongkok diposisi kedua dengan 82% warganet. Hal ini menunjukkan tingkat kebutuhan terhadap jasa kurir e-dagang ritel sangat tinggi, dan dewasa ini didominasi oleh swasta seperti JNE, Tiki, J&T, dan sebagainya.

  • Pun demikian dengan Jasa Marga. BUMN pengelola jalan tol ini bisa dilibatkan guna mempromosikan LinkAja dengan berbagai promosi dalam pembayaran biaya tol. PT KAI, Perum Damri, serta seluruh produk yang dihasilkan oleh BUMN maupun anak usahanya harus dapat tersentuh oleh LinkAja. 

  • Kolaborasi juga harus dilakukan dengan BUMD, antara lain Transjakarta atau anak perusahaan BUMN seperti Kereta Commuter Indonesia (KCI). Penggunaan uang elektronik yang populer untuk transportasi sejauh ini hanya menggunakan kartu. Oleh karenanya perlu sebuah inovasi dengan diawali oleh LinkAja. Jumlah penumpang Commuter Line tercatat 336 juta sepanjang tahun 2018, atau 900 ribu lebih penumpang per harinya. Pola pembayaran dengan sistem pindai tentu sangat layak untuk dikombinasikan dengan pembayaran dengan kartu uang elektronik.

  • Gandeng pihak luar atau partner.
    Banyak pihak yang tidak menyangka Gojek akan menjadi sebesar ini. Entah siapa yang mulai lebih dulu untuk bergerak dari bisnis jasa transportasi ke bisnis data, investor atau Nadiem Makarim cs. Karena tidak dapat dipungkiri, pola bisnis Gojek tengah bergeser dan fokus pada database pelanggannya dengan memaksimalkan Gopay. 

  • Sudah menjadi rahasia umum, semua berawal dari bisnis jasa transportasi ojek daring yang bekerjasama dengan mitra. Mitra yang awalnya hanya pengojek, kini juga menyentuh perusahaan taksi, pemijat, bahkan kedai tepi jalan hingga restoran mahal berebut menjadi mitra Gojek. Kelak mitra inilah yang bersinggungan dengan masyarakat dan mempopulerkan Gopay. 

  • Langkah ini sangat layak diduplikasi LinkAja, mengingat sebagai pemain baru, pola penyebaran dan utilisasi oleh konsumen harus masif serta tinggi. Ojek pangkalan dan nasabah mikro bisa dijadikan basis untuk memasyarakatkan LinkAja. Beberapa cara memberdayakan ojek pangkalan tanpa sistem bisa dilakukan, diantaranya penyediaan server dan atau counter di pangkalan khusus, seperti di stasiun komuter. 

  • Nasabah perbankan dari segmen KUR maupun komersial pun diharapkan mau menerima pembayaran melalui dompet elektronik. Penyebaran melalui komunitas yang telah terbentuk ini diharapkan bisa segera memposisikan LinkAja pada posisi yang dominan pada persaingan uang elektronik. Tentunya keberhasilan produk ini akan mendukung program Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang sejak 2014 digaungkan pemerintah melalui Bank Indonesia. 

Tentunya membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mewujudkan LinkAja digdaya di negeri sendiri.  Namun jalan kearah sana bukan hal yang mustahil. Diantaranya dengan komitmen Pemerintah untuk mengubah dan menyempurnakan UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Permen No. 118 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus yang (harusnya) berdampak positif bagi iklim bisnis jasa transportasi daring. Kepastian regulasi ini begitu penting, mengingat jasa transportasi daring merupakan salah satu ujung tombak dalam memasyarakatkan dompet digital. Ojek (daring maupun konvensional) yang selama ini tidak berpayung hukum, konon akan disahkan dengan berbagai syarat guna melindungi semua pihak yang terlibat. Mobilitas masyarakat yang tinggi dengan dukungan regulasi, teknologi, serta pola pembayaran cashless tentu menjadi peluang dalam melakukan penetrasi pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun