Sering kita mendengar cerita, ketika Kaisar Hirohito dari Jepang bertanya kepada para para jendral perangnya. “Berapa jumlah guru yang tersisa?”. Jepang memang telah kalah perang dengan sekutu ketika itu. Setelah dihancurkan oleh sekutu dengan Bom Atom yang melingsekkan Kota Hirosima dan Nagasaki.
Akhirnya Sang Kaisar nampaknya berpikir akan kekalahannya. Mungkin hal ini menjadi titik terakhir dalam kemampuan Jepang untuk melakukan perlawanan secara militer.
Kaisarpun akhirnya memikirkan hal lain untuk dapat membawa negara dan bangsa Jepang berjaya. Deengan cepat dan sigap beliau mencari semua guru yang masih hidup. Apa kira-kira pemiiaran Kaisar tersebut?
Ya, benar. Tentu saja strategi perang telah berubah. Hal ini pula menjadi suatu perubahan yang menyeluruh di seantero Jepang. Sebelumnya pendekatan militer untuk menjadikan negeri Jepang sebagai negeri yang kuat dan jaya di dunia nampaknya gagal.
Jepang mustahil akan mampu bersaing dengan negara-negara adidaya di dunia jika tidak mau belajar dari sebuah kegagalan. Jepang haruslah belajar dan maju dalam pendidikan.
Oleh sebab itulah guru-guru dikumpulkan, serta diberikan akses dalam pendidikan, dibanguan sebuah pendidikan yang kuat. Hal itu terbukti dengan kemajuan Jepang dalam bidang teknologi beberapa dekade terakhir. Terlihat pula bagaimana Jepang memuliakan dan menjadikan guru sebagai tokoh sentral pembangunan Jepang.
Sebenarnya cerita kemuliaan seorang guru tidak asing kita dengar. Mulai dari epos-epos masa lalu seperti Mahabharata dan Ramayana misalnya. Di sana selalu dikisahkan seorang guru yang memiliki martabat yang tinggi, terhormat, dan sangat mulia.
Sebuah hirarki sosial masyarakat Hindu terdahulu misalnya yang kita kenal dengan Catur Warna misalnya, guru memiliki kedudukan yang paling atas atau paling utama.
Guru merupakan seorang Brahmana yang sangat dihormati oleh masyarakat termasuk pemimpin negara, kerajaan atau raja yang merupakan tergolong sebagai ksatria. Walaupun hirarki ini masih kita temukan di Bali tapi sudah banyak terjadi penyimpangan. Terlebih lagi adanya Catur Kasta yang semakin membingungkan masyarakat.
Di berbagai agama dan budaya di seluruh dunia pasti memiliki nilai-nilai yang adiluhung dalam menghormati seorang guru. Bagaimana tidak, guru dianggap sebagai seorang yang suci dalam mempelajari ilmu kerohanian dan pengetahun, memiliki karakter yang adiluhung, membimbing masyarakat untuk tetap berada di jalan yang terang, tidak terjerumus ke dalam jurang melapetaka yang akhirnya membuat kekacauan.
Martabat guru harus selalu kita muliakan, karena siapa lagi selain guru yang dapat kita percaya di dunia ini sebagai pembimbing. Namun, memuliakan guru juga tidak boleh secara membabi buta begitu saja.