[caption caption="image: www.grobecpa.com"][/caption]“Serem”. Kata yang tak saya sangka akan diucapkan oleh Pak W, salah satu petinggi biro iklan multinasional ketika mengomentari belanja iklan jor-joran dari perusahaan e-commerce.
Malam itu pertengahan tahun 2015. Kami sedang makan malam dalam rangka memperkenalkan direktur baru kami kepada partner, salah satunya media agency dimana Pak W bekerja. Kita sedang berdiskusi tentang hebohnya startup. Karena tiga tahun terakhir adalah surga bagi “perusahaan online”. Semua berinvestasi jor-joran, termasuk untuk belanja iklan.
“Kelihatannya sih bagus, tapi siapa siapa bisa jamin tahun depannya? Contohnya si Rocket Internet (group di balik Lazada, Zalora dll), tahun lalu dia spending gila-gilaan. Tapi kalo tiba-tiba dia decide untuk tutup operasinya dari Indonesia? Kita yang pusing dikejerin media”.
Dia kemudian menyinggung strategy “burning money” serta “cut loss” yang biasa terjadi dalam dunia start up. Burning money berarti mereka rela rugi, sedangkan cut loss maksudnya mereka bisa kapan saja hengkang saat dirasa perusahaan yang mereka bangun tidak berkembang.
“Sekarang di dunia ini, ada dua jenis perusahaan,” pria botak yang sempat menjadi direktur salah satu airlines itu lalu bercerita.
“Ada operation company, dimana perusahaan mencari untung dari proses operasi yang dilakukan. Mereka memproduksi barang dan jasa, lalu dijual dengan margin untuk mendapatkan keuntungan. Nah selain itu, ada namanya valuation company. Mereka tidak mengejar keuntungan dari operasi, tapi valuasi bisnis yang dilakukan oleh potensial investor”.
Bakar Duit, Dapat Duit
Ia lalu mencontohnya Traveloka. Online travel agent yang iklannya bisa kita lihat setiap hari. Bagaimana mungkin tiket yang dijual di Traveloka bisa lebih murah dari website airlines sendiri?
“Karena mereka tidak mengejar keuntungan. Komisi di bypass ke konsumen, ditambahin subsidi. Convenience fee tidak dibebankan ke pembeli. Mereka berani rugi, yang penting traffic masuk, dapat user gede yang pada ujungnya membuat Traveloka seksi dimata investor”.
Beberapa media mengklaim Traveloka berpotensi menjadi startup unicorn, perusahaan dengan valuasi 1 milyar dollar. Dengan tingginya potensi traffic, user, dan masa depan industri travel di Indonesia, tak heran jika mereka mendapat suntikan dana dari Global Founders Capital, salah satu venture capital elit dunia yang punya uang ga berseri.
Mungkin karena itu juga start up macam Go-jek dan Grab Bike melakukan hal yang sama. Rela “bakar duit” dengan mensubsidi tarif antar penumpang dan barang, ngasih komisi lumayan ke driver, hingga ngiklan kemana-mana.