[caption id="" align="aligncenter" width="246" caption="Togog"][/caption]
Dalam cerita pewayangan, selalu ada dikotomi. Hitam melawan putih. Kanan melawan kiri. Baik dan buruk. Termasuk urusan tokoh. Ada Pandawa, ada Kurawa. Pandawa memiliki penasihat bernama Semar, sedangkan Kurawa mempunyai Togog.
Togog pada dasarnya seorang dewa. Ia lahir lebih dulu dari semar. Ia lahir dari telur Sang Hyang Tunggal. Kulitnya menjadi Togog, putih telurnya adalah Semar, dan kuningnya berupa Batara Guru. Suatu ketika, mereka berdebat tentang siapa yang pantas menggantikan Sang Hyang Wenang, penguasa para dewa.
Akhirnya diadakan kontes, mereka yang dapat memakan gunung dan memuntahkannya kembali akan menjadi pemenang. Togog yang mendapat giliran pertama langsung mencoba. Ia langsung mencaplok gunung itu. Malangnya, ia gagal. Ilmunya masih kurang. Hasilnya bibir Togog robek. Sejak itu Togog digambarkan sebagai sosok bermulut dower, bermata juling, hidung pesek, tak bergigi dan berkepala botak.
Togog hanyalah symbol, tentang nafsu angkara murka. Pelajaran bagi manusia yang ingin menguasai semuanya, pada akhirnya tak akan mendapatkan apa-apa. Dan manusia modern lebih sakti daripada Togog. Zaman sekarang, bukan hanya gunung yang dimakan. Hutan, laut, sampai isi perut bumi terus disikat.
Togog abad 21 lahir dalam model hyper konsumsi. Mengkonsumsi semuanya. Menikmati segalanya. Menguasai semua yang ada. Lihatlah problem masyarakat modern: terus merasa kekurangan. Mobil kurang mewah, rumah kurang luas, gadget kurang canggih, fashion kurang modis, tabungan kurang banyak.
Tanah
Memang takkan penuh mulut manusia sebelum ia ditutupi tanah. Dalam cerita pendek Leo Tolstoy, Seberapa Luas Tanah yang Diperlukan Seseorang? Tersebutlah seorang petani bernama Pakhom. Awalnya ia hidup miskin, dan berkat usahanya, ia bisa mendapatkan tanah yang lebih luas.
Tapi bisikan nafsu terus mengganggu. Ia tergoda untuk memiliki tanah yang lebih luas lagi. Akhirnya ia datang ke sebuah daerah dan dia mendatangi orang-orang Bashkir untuk membeli tanah yang ia anggap masih tergolong murah. Pakhom diterima oleh Starshina (kepala suku), dan melakukan pembelian dengan transaksi yang berbeda dari jual beli tanah pada lazimnya.
”Berapa ukuran tanah untuk harga itu?” Pakhom bertanya sambil menyebut jumlah uang.
”Kami tidak menghitung dengan cara itu,” kata Starshina. ”Kami hanya menjual menurut harinya. Artinya, sebanyak tanah yang engkau dapat peroleh dengan mengelilinginya jalan kaki dalam sehari, sebanyak tanah itu adalah milikmu. Itulah tawaran kami, dan harganya ialah 1000 rubel”
Tawaran yang menggiurkan pikir Pakhom. Kapan lagi ia bisa membeli tanah tanpa batasan seperti saat ini? Terbayang luas tanah yang bisa dimilikinya. Pakhom menyanggupi. Ia mempersiapkan diri, lalu pagi-pagi sekali mulai pergi. Ia ingin mendapat seluas-luasnya tanah.
Tapi itulah kekuatan bisikan setan. Nafsu serakah terlihat indah. Saat tengah hari ia telah mendapatkan tanah yang luas. Tapi ia melihat masih ada tanah yang masih bisa ia pandang. Masih banyak tanah yang ia dapatkan. Ia pun terus berjalan. Demi tanah yang semakin luas.
Hingga hari semakin senja, matahari sudah hampir tenggelam. Ia baru sadar, ia harus kembali untuk menutup transaksi, atau pembelian ini akan batal sama sekali!!!. Pakhom berusaha kembali ke tempat ia memulai. Ia pun mulai berlari. Sekuat tenaga. Tidak mengindahkan keringat yang mengucur deras, waktu yang semakin tipis, dan nafas yang semakin habis.
Pada akhir cerita, Pakhom meninggal kelelahan. Tepat saat ia kembali ke tempat semula ia memulai transaksi. Starshina hanya tertawa dan melemparkan sekop. Meminta anggota sukunya untuk menguburkan Pakhom sesuai ukuran tubuh, sesuai ukuran tanah yang ia butuh.
Cukup
Dan sesungguhnya puasa adalah pembelajaran untuk tidak menjadi Togog dan Pakhom selanjutnya. Karena betapa sering kita bernafsu sebelum berbuka. Membeli semua makanan yang ada, menyiapkan semua yang kita bisa. Tapi begitu berbuka, dan baru menegak minuman manis dan takjil secukupnya, kita sudah merasa cukup.
Cukup. Itu kuncinya. Manusia tidak akan pernah merasa puas, tapi ia bisa merasa cukup. Cukup adalah batasan. Tahu kapan harus memulai, kapan harus berhenti. Kapan harus menambah, kapan harus mengurangi, kapan membuka, dan kapan menutup. Cukup adalah equilibrium. Titik tengah. Tidak kekurangan. Tidak berlebihan. Hanya dibutuhkan segelas air dan sebutir kurma untuk berbuka. Dan hanya dibutuhkan setitik kata syukur dan setetes rasa ikhlas untuk hidup berbahagia.
Togog dan Pakhom sudah menjadi bukti jika manusia yang berusaha menguasai dunia, pada akhirnya justru dikuasai oleh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H