Andika terbangun dari mimpi indahnya tentang masa depan yang penuh tawa. Dia memiliki seorang istri yang cantik dan bisa membuatnya bahagia. Namun, itu hanya mimpi.
Di usianya yang sudah kepala tiga, ia masih menjomblo. Tinggal di sebuah kontrakan pinggir kota. Gaji pekerjaannya masih di bawah upah minimun regional (umr).
Sebagai anak bungsu, orang tuanya tidak pernah meminta apa-apa. Tidak pernah meminta cepat menikah. Tidak perlu menjadi tulang punggung keluarga. Toh, kakaknya sudah menikah dan punya kehidupan yang berkecukupan.
Titttt... Titttt... Titttt... (Suara dering hp)
"Halo, iya Bu? Apa? Kakak mau ke sini? Iya, aku bersihin dulu rumahnya," ucap Andika tak bersemangat.
Setiap bulan, kakaknya selalu datang ke kontrakan. Awal-awal, Andika sangat senang dengan kehadiran kakaknya. Ia selalu membawa makanan, minuman, dan kadang memberinya sejumlah uang. Namun, akhir-akhir ini kakaknya selalu membawa sesuatu yang aneh.
Tin... Tin... Tin... (Suara klakson mobil)
"Hellow, adikku sayang. Akhir tahun ini, Kakak beli kado ini untuk kamu lho."
"Apa lagi ini kak?"
"Ini sangkar burung plus ada burungnya loh. Hahaha."
"Aduh, kakak ini. Bulan lalu bawa sepasang ikan cupang. Dua bulan lalu bawa lukisan nenek dan harus dipajang di ruang tamu."
"Ya, biar kamu gak kesepian dik."
"Aku gak pernah merasa kesepian kak!" nadaku agak tinggi.
Hening. Suasana menjadi kurang nyaman. Kakaknya baru pertama kali melihat Andika seperti ini. Dia meletakkan sangkar yang masih tertutup kain di meja teras dan memilih langsung pergi.
Andika menghela napas panjang dan duduk memegang kepalanya. "Kok jadi gini ya. Aku harus segera minta maaf pada kakak. Dia pasti tidak bermaksud jahil padaku."