Mohon tunggu...
Yoga Prasetya
Yoga Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Penjelajah

Menulis buku: Kepada Toean Dekker (2018), Antologi Kalimats Koma (2019), Retrospeksi Sumir (2020), Semesta Sang Guru (2021), Romansa Kusuma (2022), Astronomi Hati (2023), Kipas Angin (2024)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Guru Lucu di Tengah Pembelajaran Daring yang Sunyi?

4 Maret 2022   06:05 Diperbarui: 4 Maret 2022   06:17 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi Guru Lucu di Tengah Pembelajaran Daring yang Sunyi?

Kemarin, saya membuat polling di Instagram tentang beberapa karakter guru yang disayang oleh murid. Hasilnya, 50% memilih lucu. 24% sabar. 18% semangat. 8% disiplin. Apakah benar guru yang lucu lebih disayang oleh muridnya?

Benar atau tidak ini sangat subjektif. Namun, kalau saya pribadi pasti menjawab benar. Ketika SD-kuliah, guru yang paling saya sayang adalah guru yang lucu. Sebut saja Pak Qomar (guru agama sewaktu SD), Pak Zonet (guru bahasa Indonesia sewaktu SMP), Pak Lubis (guru bahasa Indonesia sewaktu SMA), dan Pak Fuslianto (dosen sewaktu kuliah).

Sayangnya, menjadi lucu adalah bakat alami. Selama beberapa tahun belakangan, saya belajar teori komedi, khususnya stand up komedi. Harapannya bisa terpakai ketika mengajar.

Berhubung saya tidak ada bakat melucu, akhirnya kelas menjadi "garing". Hehehe. Ya, sudah. Saya jadi guru yang sabar saja. Hampir 80% murid saya mengenal saya sebagai guru yang sabar.

Padahal, saya ingin sekali dikenal sebagai guru yang lucu. Hehehe. "Kalau begitu jadi pelawak saja seperti Cak lontong atau Raditya Dika," ujar pembaca yang mulai sebal.

Perlu diketahui bahwa keberhasilan pembelajaran juga ditunjang dari kemampuan berbicara. Harus digarisbawahi bahwa pelawak dan guru punya tujuan berbeda dalam melucu.

Bagi pelawak, melucu adalah tujuan. Mereka memang harus tampil menghibur. Sementara itu, bagi guru melucu hanya salah satu variasi berbicara. Tidak mungkin dari awal hingga akhir guru akan terus melucu.

Guru harus cerdas mengondisikan kelas. Kapan waktunya harus serius, kapan harus lucu. Nah, ini yang saya pelajari dari Pak Qomar hingga Pak Fuslianto.

Apalagi di masa pembelajaran daring yang "sunyi". Sunyi itu terlihat dari kelas-kelas yang kosong. Melalui zoom atau google classroom, tidak ada tawa yang terdengar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun