Mohon tunggu...
Yoga Pradana
Yoga Pradana Mohon Tunggu... PNS -

Ajeg lan jejeg

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Bisakah Kita Meredupkan Kilauan Magnet-Magnet Penarik Kaum Urban Itu?

19 April 2016   21:51 Diperbarui: 19 April 2016   21:58 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi masyarakat Indonesia, kota Jakarta adalah kota metropolitan yang begitu menarik. Segala sesuatu ada di kota ini, sehingga mereka yang dari daerah rela datang berbondong-bondong ke kota ini untuk mecari penghidupan. Sebagian dari mereka yang bekerja di sektor formal rela datang ke kota ini karena memang kantor mereka ada di Jakarta. 

Sedangkan yang bekerja di sektor informal berusaha mencari penghidupan apa saja, terkecuali bagi mereka yang sudah mempersiapkan diri sejak di kampung sebelum mengadu nasib di Jakarta. Akan tetapi mayoritas mereka yang bekerja di sektor informal seringkali tidak mempersiapkan kehidupannya di Jakarta kelak, mereka hanya terkesan ikut-ikutan temannya saja yang merantau ke Jakarta terlebih dahulu. Populasi penduduk yang berlebih ini tentu membawa dampak yang negatif, seperti yang telah warga Jakarta ketahui dan alami setiap hari.

Kapasitas jalan yang tidak mampu menampung jumlah pengguna jalan telah menyebabkan kemacetan parah, tak jarang dari para pengguna jalan saling serobot, sedikit-sedikit memencet klakson, atau mengumpat pengendara lain yang dianggap merampas haknya di jalan. Luasan tanah yang tidak mampu menampung jumlah penduduk yang ingin bermukim dekat dengan pusat kota mendorong harga tanah-tanah di pusat kota Jakarta harganya meroket tak terkendali yang tidak akan mampu dijangkau oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. 

Dikarenakan hal tersebut muncul opsi lain bagi masyarakat yang tidak mampu membeli rumah tapak di dekat pusat kota, mereka dapat membeli hunian vertikal atau apartemen, mengontrak atau indekos, membeli rumah di daerah pinggiran yang harganya masih terjangkau, serta pilihan yang paling ekstrim adalah tinggal di permukiman kumuh yang tidak jelas siapa pemilik tanahnya. Akibat padatnya jumlah penduduk, kita juga tidak nyaman jika menaiki angkutan umum. 

Jika kita perhatikan saat ini Jakarta terus membangun, mulai dari MRT, LRT, fly over Tendean-Ciledug, revitalisasi jembatan Semanggi, serta yang sedang menjadi trending topik saat ini adalah reklamasi teluk Jakarta. Semua itu dilakukan oleh Pemerintah untuk mengakomodir penduduk yang semakin hari semakin bertambah. Jika kita cermati lagi proyek-proyek tersebut diharapkan dapat membantu mobilisasi warga dengan lebih baik. Sedangkan proyek hunian-hunian baik rumah tapak maupun hunian vertikal juga terus bertambah jumlahnya untuk mengakomodasi penduduk yang semakin banyak tersebut. Proyek-proyek tersebut tentu saja bernilai besar secara nominal.

Jika boleh, kita dapat melihat ini semua dari sudut pandang yang berbeda, bukankah proyek-proyek tersebut adalah magnet-magnet yang akan terus menarik penduduk daerah maupun penduduk di sekitar Jakarta untuk datang ke kota Metropolitan ini?. Jika magnet-magnet itu terus dibangun dengan crane-crane dan alat berat yang masih bekerja siang-malam, lalu sampai kapan warga dari daerah akan jenuh dan beralih ke kota lain untuk mencari penghidupan? Dengan kata lain mereka akan terus tertarik karena selalu ada sesuatu yang baru yang disuguhkan oleh kota ini. Sebenarnya hal ini juga berlaku untuk kota-kota besar lain seperti Bandung dan Surabaya. 

Mungkin sejenak dapat kita bayangkan jika kita juga melakukan upaya-upaya untuk mengurangi populasi penduduk yang tinggal di Jakarta. Menurut saya dan beberapa teman yang sudah pernah saya tanyai, mereka memilih mencari penghidupan di Jakarta karena tidak ada pilihan lain. Secara garis besar mereka beranggapan sama seperti saya bahwa tidak banyak pilihan pekerjaan di kota-kota lain, seperti di Semarang – Solo – Yogyakarta, daerah asal kami. Mungkin sebenarnya banyak pilihan, akan tetapi yang memberikan penghidupan layak masih kurang sehingga kami memilih untuk mencari penghidupan di Jakarta.

Cara-cara yang memungkinkan untuk mengurangi kepadatan populasi penduduk di Jakarta adalah memperlambat atau menghentikan pembangunan magnet-magnet penarik yang telah saya sebutkan tadi. Berhenti yang saya maksud adalah mengentikan pembangunan baru dengan merawat yang sudah ada. Magnet-magnet penarik itu banyak sekali jenisnya. Bisa berbentuk perusahaan baik barang maupun jasa yang bersifat padat karya yang selalu membutuhkan tenaga kerja dari luar daerah, hunian-hunian vertikal yang terus dibangun, pusat-pusat perbelanjaan atau mall yang terus bertambah, serta kantor-kantor instansi pemerintah yang secara berkala melakukan perekrutan dan menempatkan tenaga baru di Jakarta ini. Setidaknya baik swasta maupun pemerintah harus berpikir ulang jika akan melakukan perekrutan tenaga kerja untuk ditempatkan di Jakarta. Saya tahu ini tidak mudah, akan tetapi tidak ada salahnya jika mencoba untuk berpikir ke arah sana. 

Wilayah Indonesia ini begitu luas, tetapi mengapa hanya Jakarta, Bandung dan Surabaya yang dijadikan tumpuan perekonomian?. Bukankah masih banyak kota lain yang masih bisa bertumbuh kembang dan diharapkan?. Jika ingin memindahkan kantor-kantor swasta, mungkin pemerintah dapat membuat suatu regulasi yang memberikan insentif-insentif khusus bagi perusahaan yang mau merelokasi dan memindahkan aset serta tenaga kerjanya ke luar Jakarta, sehingga bisa mengurangi kepadatan penduduk.

 Insentif ini dapat berupa kemudahan dalam mengurus izin usaha, pengurangan persentase pajak, membantu dalam memberikan bonus kepada karyawan maupun insentif-insentif dalam bentuk lain. Mungkin kita bisa membuat hitung-hitungan berapa biaya yang diperlukan untuk membangun infrastruktur baru di kota Jakarta ini jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan yang mau memindahkan kantor beserta tenaga kerjanya ke luar kota Jakarta. 

Selain merelokasi perusahaan-perusahaan swasta, pemerintah hendaknya juga berpikir untuk merelokasi kantor dan pegawainya ke luar kota Jakarta dengan kata lain tidak memusatkan kantor hanya di kota Jakarta saja. Jika biaya relokasi lebih murah  dan efektif untuk mengurangi kepadaan populasi penduduk di kota Jakarta beserta berbagai permasalahan sosial yang ditimbulkan, mengapa tidak dilakukan uji coba?.

Beralih ke sektor informal, untuk sektor ini kita bisa merelokasi mereka dengan memberikan edukasi maupun memberikan modal untuk membuka usaha di kampungnya dan menghimbau untuk tidak kembali lagi ke Jakarta, terlebih yang tinggal di permukiman kumuh atau hanya bekerja sebagai pengemis atau pengamen. Jika mau tegas pintu-pintu masuk kota ini seperti Bandara, Stasiun, Terminal, Pelabuhan, maupun Jalan Tol dapat dijaga dengan ketat, misalnya dengan tidak mengizinkan nomor KTP yang masuk dalam daftar hitam untuk kembali berdomisili di kota Jakarta.  

Sebenarnya sektor informal ini juga tumbuh mengikuti pertumbuhan sektor formal, dimana sektor formal selalu mendatangkan tenaga kerja-tenaga kerja dari daerah. Peningkatan jumlah penduduk yang diakibatkan oleh warga-warga pendatang dari daerah ini selanjutnya menggerakkan sektor informal untuk menyediakan produk maupun jasa yang dapat memenuhi kebutuhan warga yang bekerja di sektor formal.

Jadi kapan kita akan mencoba untuk menutupi kilauan magnet-magnet yang selalu menarik kaum urban dan berusaha untuk mengurangi populasi kaum urban yang telah bermukim di Jakarta sebelumnya demi kemaslahatan kita bersama?. Tentunya ini membutuhkan komitmen yang serius antara pemerintah, swasta, dan masyarakat itu sendiri, khususnya kaum urban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun