Seorang remaja belasan tahun bernama Joko Samudro yang berperawakan tegap gagah dan memiliki kulit coklat yang eksotis  hidup di sebuah desa terpencil nun jauh di pinggiran Pulau Jawa. Ia dibesarkan oleh seorang pria tua bungkuk dan berjanggut panjang yang kini berusia enam puluh tahun.Â
Sejak kecil ia hingga usianya yang kini belasan tahun, ia hanya hidup berdua dengan pria tua tersebut, yang biasa ia panggil dengan sebutan Mbah Kakung. Joko selalu dididik budi pekertinya oleh Mbah Kakung, ia selalu menekankan kepada Joko bahwa harus menjadi manusia yang berani, bijaksana, beradab, dan kaya akan akal budi.
Pada suatu saat ketika Joko sedang santai bergayut dan Mbah Kakung yang duduk bersandar di sebuah saung bambu di pekarangan rumahnya yang dipenuhi berbagai macam tanaman pakis serta ditumbuhi satu pohon katapang dan satu pohon kersen. Lalu terjadilah sebuah percakapan serius antara keduanya.
"Mbah, aku ingin menanyakan suatu hal yang sangat serius, sebuah pertanyaan yang selama ini selalu aku pertanyakan pada diriku sendiri," ucap Joko dengan raut wajah yang bersungguh-sungguh. Sambil ongkan-ongkang Mbah Kakung menjawab "Sila, Nak. Akan kujawab dengan serius pula pertanyaanmu itu."
Dengan sedikit ragu tetapi tetap mantap, "Mbah, apakah aku mempunyai seorang ibu?"  Walau  sedikit kaget Mbah Kakung menjawab dengan tenangnya,"Tentu Nak kau memiliki seorang ibu, kau dilahirkan dari hangatnya rahim seorang wanita, bukan terlahir begitu saja dari sebuah tunas kelapa."Â
"Tapi kenapa sejak kecil aku tidak pernah melihat dan mengenalnya? Begitu pun dengan ayahku." Sebelum menjawab kembali, pria tua itu menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. "Baik Nak aku akan sedikit menceritakannya," sahut Mbah Kakung yang setelah itu menyesap kopi dinginnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan ceritanya.
"Kala itu saat aku masih berdagang di sebuah pasar di seberang desa kita, dan saat suasana hatiku masih dirundung kesedihan sepeninggalnya mendiang  istriku," kata pria tua itu, "saat itu pagi buta datang seorang wanita paruh baya dengan pakaian yang compang-camping dan sangat kumal ke kedai daganganku dengan menggendong seorang bayi laki-laki yang saat itu berumur sekitar sembilan bulan," kata Mbah Kakung sambil menyesap kembali kopinya, "lalu ia menitipkan bayi itu padaku, lantas tak pernah kembali lagi, dan hanya meninggalkan pesan bahwa bayi itu bernama Joko Samudro."
Mendengar pernyataan tersebut, Joko hanya mampu meratapi realitas yang ada pada hidupnya, ia adalah seorang pria malang. Hari-hari berikutnya selalu dijalani dengan pikiran yang mengawang. Â Batinnya bergejolak, pikirnya bagaimana ingin menjadi manusia menuju sempurna, sedangkan kasih dari seorang wanita saja tak pernah ia miliki. Sekonyong-konyong secara batiniah, kini ia sangat ingin merasa dicintai dan mencintai seorang wanita. Ia ingin merasakan telapak tangan halus seorang wanita melintasi pipi kasarnya. Atau merasakan kisah kasih dengan sesuatu yang dapat menyentuh relung hatinya.
Sore itu setelah memanen empon-empon di kebun, ia telah memantapkan hatinya untuk mengembara. Dan bergegas untuk meminta izin pada pria tua itu. "Mbah, hatiku telah mantap, aku ingin mengembara," ucapnya pada si Mbah yang bertelanjang dada dan sedang mengipasi dirinya di sebuah kursi bambu. "Tentu Nak aku akan mengizinkan, tapi apa yang kau cari dalam pengembaraanmu?"
"Aku ingin mengenal diriku lebih dalam, bermakrifat, dan tentu mencari rasa yang dapat melunakkan hati beku ku," ucapnya sambil mendekat dan duduk di sebelah Mbah Kakung..
"Ya Nak, kenalilah dirimu dengan dalam. Mengenal diri sendiri adalah kebijaksanaan sejati, dan menguasai diri sendiri adalah kekuasaan sejati." Diucapkannya pepatah dari Negeri Cina.
Sebelum Joko berangkat mengembara si Mbah memberi dua buah biji yang Joko tidak ketahui biji apa tersebut. Yang kemudian ia taruh di sebuah kantung kecil lalu dimasukkan pada buntalan perbekalannya.
Tepat pada malam satu Suro Joko memulai perjalanannya menuju arah timur dari desanya. Ia tidak memiliki tujuan pasti atas pengembaraan yang dilakukannya. Ia terus berjalan menyusuri rimba belantara yang dipenuhi bunyi gemerisik pepohonan, mendaki bukit-bukit sabana yang sangat hijau, dan menyebrangi sungai-sungai kecil yang airnya beriak-riak.
Setelah dua minggu berjalan, sampailah Joko pada suatu daerah di pinggiran sungai besar yang dinamakan Kali Progo. Ia memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan dan membuat sebuah pondok kecil dari bambu-bambu dan batang kayu dari hasil tebangannya di sekitaran bahu sungai Kali Progo.
Kini kegiatan Joko hanya berburu dan berburu, karena untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Andai memiliki sebidang tanah, tak ayal akan ia tanami dengan umbi-umbian untuk meringankan kegiatan berburunya. Sampai pada akhirnya Joko ingat bahwa ia memiliki tanda mata berupa dua buah biji dari si Mbah. Segera ia ambil dan tanam di depan pekarangan pondok kecilnya.
Dengan ditanamnya biji itu, kini kegiatan Joko bukan hanya berburu saja, tetapi juga mengurus tanaman yang saat ini keduanya telah menyembulkan batang dan daunnya yang kecil. Hari ke hari semakin giat pula Joko dalam merawat tanaman tersebut. Menyempatkan mencari pupuk ke sebuah desa setelah berburu demi tumbuhannya mekar. Sampai pada akhirnya kedua tumbuhan itu memiliki putik. Melihat itu Joko semakin gigih lagi merawat tanamannya, ia penasaran bunga apa yang bakal mekar dari tumbuhan itu. Karena keterbatasan pengetahuan Joko tidak tahu menahu jenis tanaman bunga. Sudah lebih dari satu bulan Joko merawat bunga tersebut.
Pada akhirnya suatu pagi ketika Joko hendak menyirami tumbuhan kesayangannya, ia melihat bunga-bunga tersebut telah bermekaran. Sangat indah. Wanginya harum semerbak, bunga itu adalah bunga mawar. Joko jatuh cinta pada kedua bunga itu. Kedua bunga itu memiliki rona warna yang indah, yang satu berwarna merah pekat dan yang satunya lagi berwarna merah muda, keduanya merekah mekar sempurna. Joko jatuh sejatuh-jatuhnya pada kedua bunga itu. Dipikirnya tak sia-sia ia merawat kedua bunga itu.
Joko tak ingin kedua mawarnya rusak ataupun layu begitu saja. Kadang, ia pun akan marah jika beberapa hama datang mengganggu keduanya. Akhirnya, karena tak ingin selalu melihat mawar-mawarnya digoda ataupun ada yang mencoba merusak, Joko membuat cairan pembasmi hama dengan berbekal pengetahuan yang ia dapat dari si Mbah. Cairan tersebut ibarat wejangan dari Joko untuk mawar-mawar yang ia cintai agar tidak sembarang menerima serangga yang dapat merusak mereka seperti, kutu daun, kumbang, siput berbulu, dan tungau yang menjijikan. Diguyurlah mawar-mawar itu oleh Joko, tanpa sedikit pun membuat mawar-mawar itu merasa tersinggung.
Alih-alih Joko sangat menyayangi kedua mawar tersebut. Ia senang berbagi waktu pada keduanya, entah siang, sore, malam, pun pada waktu janari kalau ia anggap bunga-bunga itu sedang membutuhkannya. Joko percaya kalau saja mawar-mawar tersebut dapat berbicara dan memiliki perasaan, tentu meraka pun akan bilang bahwa mereka juga mencintai Joko. Kadang Joko mengajak mawar-mawar itu mengobrol dan mendongenginya. Andai saja Joko punya tetangga, tentu ia sudah disebut gila. Begitulah cinta, terkadang berlebihan.
Namun akhir-akhir ini mawar-mawarnya semakin banyak digerumuti oleh hama-hama nakal. Padahal Joko rutin memberi wejangan berupa cairan tersebut. Ia curiga hal tersebut bukan karena wejangannya kurang ampuh, tapi karena memang karena mawar-mawar tersebut mengizinkan mereka untuk menjamahi bagian-bagian dari mahkota, kelopak, dan benang sarinya. Belakangan ini kedua mawar terlihat tidak sehat, mahkotanya serta tangkainya sudah terlihat layu. Joko menduga layunya bunga itu karena hama-hama yang kotor serta menjijikan.
Nahas seminggu kemudian bunga-bunga tersebut mati dan mengeluarkan bau yang busuk, disebabkan oleh hama dan kelakuan mereka yang genit dan busuk juga. Dan digerumuti belatung pula. Hati Joko hancur, baru saja ia merasakan sebuah rasa yang sebelumnya belum pernah dirasakan. Dengan penuh sesal akhirnya ia cabut kedua tangkai bunga itu.
Dengan hati terkoyak-koyak dan langkah gontai Joko berjalan menuju Kali Progo untuk membuang dua tangkai bunga busuk itu. Ia pikir biar saja kedua bunga ini melebur dan hancur di dalam air payau atau hanyut sampai Samudra Hindia dan habis dimakan oleh mikroorganisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H