Mohon tunggu...
ignatio yoga permana
ignatio yoga permana Mohon Tunggu... Freelancer - FISIP UAJY '17

Semangat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Eksistensi Kejawen di Tengah Era Modern

30 Juli 2020   13:13 Diperbarui: 30 Juli 2020   13:12 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Simbol Agama dan Kepercayaan di Bumi. Gambar ilustrasi: http://www.lescheminsdelenergie.com/

[Kegiatan wawancara ini dilakukan sebelum terjadi pandemi Covid-19]

Yogyakarta Sabtu, (07/12/2019) - Menurut Raden Yulianus Gatot Raditya (57) salah satu anggota yang pernah tergabung dalam Paguyuban Sumarah Purbo (Paguyuban Kejawen), Kejawen adalah bagian pedoman berkehidupan bagi masyarakat etnis Jawa. Kejawen dipandang sebagai ilmu yang mempunyai ajaran-ajaran yang utama, yaitu membangun tata krama atau aturan dalam berkehidupan yang baik. 

Siang itu sekitar pukul 11.00 WIB, kami bersiap dengan membawa peralatan perekam suara dan kamera segera bergegas untuk menemui narasumber di tempat kediamannya, untuk dimintai keterangan mengenai Kejawen. Sesampainya disana, kami langsung disambut oleh Raden Yulianus Gatot Raditya biasa disapa Gatot (57) dengan sambutan lainnya seperti suara-suara angklung bambu yang digantung di atas pagar rumah yang tersapu angin serta kicauan burung kenari di Rumah Gatot, membuat suasana menjadi lebih hangat.

Raden Yulianus Gatot Raditya saat diwawancarai di kediamannya. Foto: Dokpri/ Nathasya.
Raden Yulianus Gatot Raditya saat diwawancarai di kediamannya. Foto: Dokpri/ Nathasya.

Tepat di ruang tengah rumahnya kami melakukan perbincangan, di mana kala itu kami memberikan beberapa pertanyaan terkait esensi Kejawen berdasarkan pandangan Beliau. Dimulai dari Gatot bercerita bahwa awalnya lahir Kejawen ini ada sejak manusia Jawa itu ada hadir di Dunia. Maka Kejawen merupakan sebuah kepercayaan dari sebuah etnis yang berada di Pulau Jawa. Dalam hal ini filsafat Kejawen didasarkan pada ajaran-ajaran yang kemudian ditemukan oleh para filsuf Jawa jauh sebelum Agama seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katolik dan Konghucu masuk di Pulau Jawa. Walaupun Kejawen merupakan kepercayaan, sebenarnya Kejawen bukanlah sebuah Agama.

"Tetapi ada juga beberapa anggota lainnya yang juga justru tidak menganut sebuah Agama. Namun lebih fokus terhadap kepercayaan Kejawen itu sendiri sebagai bagian dari pedoman hidupnya." Ujar Gatot.

Raden Yulianus Gatot Raditya saat bercerita tentang hadirnya Kejawen. Foto: Dokpri/ Nathasya.
Raden Yulianus Gatot Raditya saat bercerita tentang hadirnya Kejawen. Foto: Dokpri/ Nathasya.
Gatot menambahkan, bahwa Kejawen memiliki pedoman yang ditanamkan yaitu berbudi luhur. Maka sebetulnya Kejawen tampak lebih berupa seni, budaya, tradisi, sikap, ritual, dan filosofi orang-orang etnis Jawa. Dimana Kejawen sendiri tidak terlepas dari suatu spiritualitas etnis Jawa.

"Memayu hayuning pribadi, memayu hayuning kulawarga, memayu hayuning sesama, memayu hayuning bawana begitu nilai luhur dari kebudayaan orang Jawa. Memayu hayuning artinya seperti menghargai, berbuat baiklah kepada diri sendiri, keluarga, sesama manusia, serta seluruh makhluk hidup di Dunia ini." Kata Gatot saat ditemui di kediamannya.

Pria berusia 57 Tahun tersebut meyakini, orang-orang etnis Jawa yang percaya dengan Kejawen terutama pada Paguyuban Sumarah Purbo memiliki sebuah motivasi intrinsik sebagai faktor yang paling dominan dari penganut dalam menghayati kebatinan yaitu untuk mencari ketenangan batin dan ketentraman hidup dengan cara mengamalkan ajaran-ajaran Sumarah Purbo yang dirasa simple atau mudah dipahami dan sesuai dengan hati mereka.

"Sehingga sebetulnya orang etnis Jawa yang mempercayai Kejawen relatif dapat lebih taat pada Agamanya. Dimana dasar dari ajaran filsafat Kejawen pun memang mendorong umat manusia untuk tetap taat dengan Sang Pencipta atau Tuhannya." Imbuh Gatot.

Gatot melanjutkan keterangannya bahwa sudah sejak dahulu hingga saat ini pun, orang etnis Jawa memang dikenal memiliki sifat yang serupa yaitu legowo, atau menerima segala hal dinamika yang terjadi pada kehidupannya di Dunia. Karena kami sebagai etnis Jawa memiliki pola pikir yang tertanam bahwa segala dinamika tersebut merupakan bagian dari keEsaan Tuhan.

Raden Yulianus Gatot Raditya saat menjelaskan tujuan dari Kejawen. Foto: Dokpri/ Nathasya.
Raden Yulianus Gatot Raditya saat menjelaskan tujuan dari Kejawen. Foto: Dokpri/ Nathasya.

"Sebab itulah ajaran Kejawen juga memang lekat kaitannya dengan pola pikir filsuf Jawa, yakni dikenal dengan 'Sangkan Paraning Dumadi'. Sangkan berarti asal muasal, Paraning (paran) artinya tujuan, Dumadi artinya yang menjadikan atau pencipta. Sehingga keseluruhan artinya adalah dari mana manusia berasal dan akan kemana manusia akan kembali." Jelasnya.

Selanjutnya ketika kami menanyakan perihal seperti apa Kejawen dalam prakteknya, Gatot menjawab jika pada ritual peribadatan, berdasarkan apa yang telah dialaminya pada Paguyuban Sumarah Purbo bahwa dalam praktek peribadatan menggunakan alat sebagai media yang disebut sebagai "Meditasi Sumarah".

"Meditasi Sumarah adalah jalan, alat hidup, untuk hidup dan dalam kehidupan, bukan tujuan itu sendiri. Jadi, meditasi diibaratkan suatu alat yang membantu kita menuju ke suatu tempat. Begitu kita sampai di tujuan, maka alat tersebut harus kita lepaskan." Kata Gatot.

Pria kelahiran 1962 tersebut mengatakan, praktek Sumarah tidak mengajarkan isolasi atau menghindari hal-hal duniawi. Sebaliknya, hal itu mengajarkan kita untuk menerima hidup dalam totalitasnya, membenamkan diri di dalamnya untuk baik dan buruk. Sumarah membagi meditasi menjadi dua, yakni meditasi khusus dan harian. Pertama, disebut 'khusus' untuk membedakannya dari kehidupan normal sehari-hari. Ini adalah waktu tertentu di mana kita duduk, santai dan terbuka untuk menerima energi Ilahi. Ini adalah kesempatan untuk latihan dan melepaskan ketegangan dan pikiran. Membiarkan diri kita menyadari perasaan dan melepaskan konsep-konsep yang terlalu sering merupakan kendala bagi pengembangan diri sebenarnya. Tapi meski disebut 'khusus', tetap saja tidak ada aturan baku terhadap meditasi ini. Semua diserahkan kepada masing-masing individu, berapa kali atau berapa lama dalam sehari yang Ia perlu dalam melakukan meditasi.Kedua, meditasi harian adalah upaya mempertahankan meditasi khusus, dengan cara ini manusia belajar melihat kualitas luar biasa disaat-saat biasa dan kualitas biasa disaat-saat yang luar biasa.

Raden Yulianus Gatot Raditya (57) Foto: Dokpri/ Nathasya.
Raden Yulianus Gatot Raditya (57) Foto: Dokpri/ Nathasya.

"Inilah sebabnya mengapa Sumarah menggunakan ungkapan 'rame tapa, mundur bising' dimana sebagai langkah untuk belajar praktek yang benar adalah perdamaian di tengah medan perang dan diam di tengah-tengah hiruk pikuk Dunia." lanjut Gatot.

Disamping itu Gatot menuturkan bahwa justru dalam dinamikanya pada praktek Kejawen di era modern ini. Terutama pada anggota-anggota bagian dari kami yang usia muda pada kisaran 18-20an Tahun, dengan jiwa eksplorasi serta bereksperimennya mereka justru merubah esensi output dari praktek Kejawen, yang awalnya untuk melatih kebatinan namun ada diselewengkan atau hal menyimpang menjadi praktek-praktek "dukunan". Hal itu Gatot sampaikan justru yang dilakukan oleh 'oknum' praktek Kejawen yang menyimpang ini membuat eksistensi dari esensi Kejawen menjadi berubah, yang kemudian dapat menimbulkan persepsi yang tidak toleran oleh masyarakat kepada jenis-jenis kepercayaan di Indonesia.

"Kemudian banyak muncul ilmu kanuragan, nah kanuragan itu maksudnya seperti kekuatan gaib atau mistis yang dimilikinya sehingga membuat dirinya seakan menjadi kebal atau sakti." Tutup Gatot.

[Berikut rangkuman visualisasinya]


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun