HOOKSpace: "Kami ingin membuat konten yang bisa dinikmati siapa saja: mulai dari tukang becak hingga produser label rekaman. Keinginan ini mejadi penting mengingat musik bukanlah monopoli oknum, melainkan milik masyarakat. Ambisi yang lumayan tinggi, nanti kalau gagal kami coba turunkan ekspektasi pelan-pelan."
Akses terhadap media telah menjadi salah satu kebutuhan primer dari setiap orang. Hal Itu dikarenakan adanya kebutuhan akan informasi, hiburan, pendidikan dan akses pengetahuan dari belahan bumi berbeda. Kemajuan di bidang teknologi dan informasi serta semakin canggihnya perangkat yang diproduksi oleh industri seperti menghadirkan "dunia dalam genggaman".
Istilah ini sejajar dengan apa yang diutarakan oleh Thomas L. Friedman (2007) sebagai the world is flat bahwa dunia semakin rata dan sehingga setiap orang bisa mengakses apapun dari berbagai sumber mana pun, dan juga seperti yang diulas Richard Hunter (2002) dengan world without secrets bahwa kehadiran media baru (new media/cybermedia) menjadikan informasi sebagai sesuatu yang mudah dicari dan terbuka.
Hal ini mendorong media untuk berinovasi dalam memproduksi konten yang berisikan informasi sebagai konsumsi pada era masyarakat kini yang disebut masyarakat informasi. Proses produksi media ini tidak terlepas oleh peran jurnalisme yang berkompeten pada multimedia. Mengapa Multimedia? Jika melihat dengan fenomena yang ada, media saat ini tidak hanya berada pada media mainstream seperti radio, TV, Koran dan media cetak lainnya namun juga berkembang dengan 'gaya' barunya yang memanfaatkan perkembangan di bidang teknologi yaitu internet yang memiliki fitur yang beragam sehingga perlu adanya kemampuan jurnalis yang beradaptasi memenuhi kemampuan 'multitasking'. Maka hal tersebut melahirkan istilah jurnalisme lainnya seperti online journalism dan media social journalism, atau yang disebut sebagai cyber journalism.
Tidak seperti media mainstream, media online dan jurnalisme siber terus mengalami perkembangan cukup pesat. Sejalan dengan hadirnya media online memunculkan karakter baru bagi jurnalisme siber antara lain kecepatan penyajian, real time atau langsung dipublikasikan saat kejadian sedang berlangsung, interaktif, dan diperkaya link atau tautan kepada informasi terkait (hyperlink). Sama halnya seperti jurnalisme online, jurnalisme siber menggunakan platform lainnya yaitu media sosial sebagai salah satu bagian dari proses produksi dan distribusi konten.
Mengutip dari survei yang dilakukan oleh dewan pers untuk mengetahui kecenderungan penggunaan konten media sosial dalam peliputan dan produksi berita oleh wartawan. Survei diadakan pada 29 November 2011-3 Februari 2012, melibatkan 157 responden yang semuanya berprofesi wartawan. Hasil survei menyebutkan bahwa sebanyak 96 persen responden memiliki akun Facebook, 67 persen memiliki akun Twitter, 40 persen memiliki blog/Wordpress, 22 persen memiliki Linkedin, dan lain-lain (9 persen).
Sebanyak 76 responden menjawab informasi di media sosial dipakai sebagai sarana memantau, 46 persen sebagai sumber ide berita, dan mencari narasumber 31 persen. Sebanyak 75 persen responden menjawab selalu melakukan verifikasi ulang dengan mengontak orang yang pesannya dikutip di media sosial. Sebanyak 14 persen responden mengaku sebagian diverifikasi ulang.
Jurnalisme siber dan jurnalisme konvensional memang merupakan jurnalisme yang mempunyai perbedaan yang sangat mendasar, baik dari media yang digunakan, pelaku atau pekerja didalamnya, hingga penyusunan serta penampilan pesannya yang juga berbeda, namun keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kehadiran kedua jenis jurnalisme tersebut pada intinya memiliki tujuan yang sama, yakni berusaha untuk memenuhi kebutuhan atau menyajikan informasi berita yang penting bagi masyarakat atau khalayak luas.
Sifat multimedia pada jurnalistik siber menjadikannya sebagai jurnalistik masa depan yang artinya wartawan tidak hanya menyusun teks berita dan menampilkan foto, tapi juga melengkapinya dengan suara dan gambar (audio-video).
Merujuk pada pembahasan di atas, yang berkaitan pada dinamika jurnalisme multimedia era kini, penulis menggunakan salah satu media yang berisikan konten jurnalisme musik yaitu HOOKSpace untuk melihat bagaimana jurnalis media HOOKSpace memproduksikan konten pada media dalam jaringan (daring) dan platform media sosialnya.
HOOKSpace lahir di Tahun 2016 oleh pendirinya bernama Faisal Amin, yang berkantor pusat di Yogyakarta. HOOKSpace hadir dan hidup bukan hanya untuk para musisi, namun juga setiap orang yang kesehariannya tidak lepas dari nada dan irama: pekerja kantoran, wiraswasta, pengangguran, aa' burjo, bakul jamu, dan merbot masjid.