[caption id="attachment_336544" align="aligncenter" width="300" caption="www.aktual.co"][/caption]
Keputusan mencabut subsidi BBM oleh presiden Jokowi tempo hari menuai banyak kritik dari masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Bagi mereka keputusan menaikkan harga BBM dari Presiden Jokowi kurang tepat. Sebab, dengan naiknya harga BBM akan mempengaruhi harga pasar lainnya, harga kebutuhan pokok juga naik.
Menurut pemerintah, menikkan harga BBM merupakan langkah yang harus diambil. Alasan mencabut subsidi BBM sedikitnya ada dua hal. Yang pertama adalah fakta bahwa subsidi BBM tidak efektif karena orang-orang kaya pun justru yang paling banyak menikmati BBM bersubsidi. Yang kedua mencabut subsidi BBM dimaksudkan untuk menghemat APBN.
Jikalau memang demikian maka memang tidak ada yang salah dengan pengambilan langkah politik dari Jokowi.
Namun ada beberapa opsi sebenarnya yang bisa diambil untuk memangkas pengeluaran tidak penting dari APBN ketimbang menaikkan harga BBM. Salah satunya yang sedang saya cermati adalah pengeluaran negara untuk membayar bunga obligasi rekap BLBI.
Untuk membayar obligasi rekap BLBI, pemerintah sedikitnya harus merogoh kocek sebesar Rp 60 T tiap tahunnya.
Menjawab dua pertimbangan penaikkan harga BBM diatas, menurut saya yang tidak tepat sasaran bukanlah subsidi BBM melainkan pembayaran bunga obligasi rekap BLBI. Karena bagaimanapun juga Subsidi BBM tetap dapat dinikmati rakyat kecil, beda halnya dengan obligasi rekap BLBI yang hanya dinikmati oleh bankir.
*Bagi yang belum mengenal betul obligasi rekap dan BLBI silakan kunjungi tulisan saya BLBI Rugikan Negara Rp 1.030.
Obligasi rekap adalah kebijakan tambahan dalam menyempurnakan skema BLBI. Langkah tersebut diambil pemerintah guna menyehatkan perekonomian melalu perbankan yang jatuh akibat adanya krisis moneter 98. Namun, sejak 2003 oleh Boediono ketika beliau menjabat sebagai gubernur BI obligasi rekap menjadi memiliki bunga dengan besaran bunga tiap tahun dengan kisaran 13-14%, dengan masa jatuh tempo selama 10 tahun. Jadi apabila total obligasi rekap Rp 430 T dengan jangka waktu 10 tahun, maka bunga yang harus dibayar APBN adalah sejumlah Rp 600 T. Jadi total negara merugi Rp 1030, T karena BLBI.
Sampai tahun 2013 (masa jatuh tempo 10 tahun pembayaran obligasi rekap sejak 2003) negara telah mengeluarkan dana sebesar Rp 600 T untuk membayar bunga dari obligasi rekap BLBI. Itu hanya untuk pembayaran bunganya saja. Sedangkan untuk BLBI sendiri negara telah merogoh kocek sebesar Rp 430 T. Jadi total hingga tahun 2013, negara telah mengambil dana sebesar Rp 1.030 T dari APBN untuk dibayarkan kepada bankir-bankir penerima BLBI.
Jadi menurut saya, bukan subsidi BBM yang perlu dihilangkan melainkan pembayaran obligasi rekap BLBI lah yang perlu di-stop. Sebab biarpun kurang tepat sasaran, subsidi BBM tetap dapat dinikmati oleh rakyat kecil.