Mohon tunggu...
Yoga Agung Darmawan
Yoga Agung Darmawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Fisika Universitas Airlangga

Connecting the dots

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jenius Itu Mahal, Bagaimana Seharusnya Kita Mendefinisikan Jenius

17 Desember 2022   08:28 Diperbarui: 17 Desember 2022   08:44 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Banyak orang ingin menjadi jenius. Tapi, sebelum berusaha menjadi seorang jenius, baiknya paham terlebih dahulu, apa itu jenius

ARTI JENIUS DI MASA YUNANI KUNO TERNYATA BEDA DENGAN JENIUS DI MASA KINI

Jenius adalah kata yang mungkin saat ini sulit didefinisikan. Lain dengan zaman dahulu, kata jenius adalah kata yang sudah jelas maknanya. Dahulu, orang-orang pada zaman Yunani kuno mengartikan jenius sebagai makhluk yang mampu melakukan hal-hal di luar nalar. Jenius dalam bahasa inggris adalah genius, yang mana kata ini berasal dari kata genie. Ya, genie. Arti dari genie adalah jin. Jadi, menjadi jenius pada zaman tersebut sama halnya menjadi jin.

Sedikit maju ke abad pertengahan, pengertian jenius telah mengalami pergeseran. Meskipun masih mengenai sesosok yang mampu melakukan hal-hal di luar nalar. Jenius di masa itu adalah seseorang yang mampu melakukan sihir atau bahkan mampu meramal masa depan. Merekalah para "orang pintar", yaitu penyihir ataupun  peramal.

Di zaman modern, nampaknya hal-hal di luar nalar telah dimaknai bukan semata hanya hal-hal ghaib. Orang pintar yang telah mengembangkan sains dan teknologi, berhasil menggeser paradigma kebanyakan manusia bahwa karya besar manusia biasa (bukan penyihir atau peramal) adalah sesuatu yang juga berada di luar nalar. Berbeda dengan abad pertengahan di mana orang pintar dimaknai sebagai penyihir atau peramal, pada zaman modern orang pintar ini dijuluki sebagai ilmuwan. Orang menganggap jenius itu adalah orang yang menggeluti sains, yang bekerja di dalam laboratorium dengan jas putihnya. Atau seorang lelaki berkepala botak dengan telapak tangan berwarna putih karena kapur yang dipakainya selama satu jam penuh menuliskan persamaan alam semesta di papan tulis.

INI YANG MEMBUAT MAHAL SEORANG JENIUS

Deskripsi jenius semacam itu menggiring abstraksi kita bahwa orang jenius adalah orang yang seperti Einstein. Tapi, apakah benar seperti itu yang kita pahami sebagai orang jenius? Bagaimana dengan Picasso? Beethoven? Mozart? Marthin L. King? Pahamilah, mereka juga jenius. Karena apa? Karena mereka adalah orang-orang yang tangguh di bidang mereka masing-masing. Sangat sulit meniru mereka.

Ada yang tangguh di bidang seni, ada yang tangguh di bidang sosial. Tapi, sekali lagi, Tapi. Apakah menjadi tangguh di suatu bidang sudah cukup untuk disebut sebagai jenius? Ternyata belum. Jika menjadi tangguh sudah cukup untuk menjadi jenius, maka terlalu murah kata jenius ini disematkan kepada orang tangguh tersebut. Banyak sekali orang yang telah kita ketahui berjiwa tangguh di bidangnya masing-masing dan banyak sekali media yang menyematkan kata jenius ke orang-orang itu; menjadikan jenius sebagai hal yang murah untuk dimiliki. Satu hal yang perlu masuk dalam hitungan adalah selain tangguh di bidangnya masing-masing, untuk menjadi jenius, karya orisinil atau insight yang diberikannya harus membawa dampak yang mengubah kehidupan masyarakat. Dan dampak tersebut tidak terbatas ruang dan waktu. Artinya, dampak yang dihasilkannya dapat dirasakan oleh umat manusia di berbagai sudut dunia dari zaman ke zaman.

Dalam satu kalimat, jenius adalah seseorang yang bekerja sangat tangguh di bidangnya sampai-sampai menghasilkan karya orisinil atau insight yang mengubah kehidupan masyarakat entah itu baik atau buruk yang melintasi ruang dan waktu.

Dengan ini, jika kita masih sering kesulitan membedakan mana orang jenius dan mana yang bukan, kembali saja dengan definisi tersebut. Kasus yang kerap terjadi adalah kita masih menganggap semua orang berbakat adalah orang yang jenius. Padahal, level orang berbakat ada di bawah level orang jenius. Kesimpulan elegan telah dibuat oleh filsuf Jerman, Arthur Schopenhauer, yang mengatakan bahwa "Eine talentierte Person trifft ein Ziel, das niemand sonst treffen kann, eine geniale Person trifft ein Ziel, das niemand sonst sehen kann."

...

(hahaha, ini dia artinya)

"Orang berbakat mampu menembak target di mana tidak ada seorangpun yang bisa menembak target tersebut, dan orang jenius mampu menembak target di mana tidak ada seorangpun yang bisa melihat target tersebut."

APA SAJA KEBIASAAN PARA JENIUS?

Setelah kita definisikan jenius dengan harga sangat tinggi (tidak disematkan secara murah pada orang-orang). Maka, selanjutnya kita bisa mulai belajar untuk menjadi jenius dengan mempelajari apa-apa yang menjadi kebiasaan para jenius. Dengan berusaha menjadi jenius, artinya kita berusaha menaikkan harga diri kita. Juga kita menjadi tahu bahwa apa yang kita kejar adalah sesuatu yang mahal. Saya sebagai penulis, juga masih dalam perjalanan untuk mencapai kejeniusan. Saya selalu menganggap perjalanan ini sebagai perjalanan tiada akhir. Saya mencoba fokus untuk berproses tanpa melihat apakah saya sudah sampai di garis finish atau belum.

Ada 14 poin yang menjadi kebiasaan para jenius. Semua poin ini didapat dari berbagai kisah hidup para jenius yang pernah ada. Di sini bukan berarti seorang jenius melakukan semua kebiasaan ini,  tetapi bisa jadi orang jenius pertama hanya memiliki tujuh kebiasaan ini, orang jenius kedua hanya memiliki delapan kebiasaan, dan seterusnya. Sehingga, jika dilihat secara keseluruhan, dapat diketahui ternyata ada 14 poin kebiasaan yang biasanya dimiliki orang-orang jenius.

Kebiasaan-kebiasaan tersebut berkaitan dengan:

  • Etos kerja
  • Ketangguhan
  • Keaslian
  • Imajinasi kekanak-kanakan
  • Rasa ingin tahu
  • Gairah
  • Ketidakmampuan menyesuaikan diri yang kreatif
  • Pemberontakan
  • Pemikiran lintas batas
  • Tindakan kontra
  • Persiapan
  • Obsesi
  • Relaksasi
  • Konsentrasi

MARI KITA MULAI, TAPI TUNGGU DULU

Bahasan dimulai dari etos kerja, yang mana pada bahasan ini akan mendiskusikan antara bakat dengan kerja keras dan antara IQ dengan MQ. Yang akan dibahas di artikel selanjutnya, semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun