Mohon tunggu...
Yoga Ramdani
Yoga Ramdani Mohon Tunggu... Administrasi - You know nothing, jon..

Pemerhati lini massa yang kebetulan bagian dari Korps Pegawai Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

PNS Ramai-ramai Tolak Pemindahan Ibu Kota

16 September 2019   08:55 Diperbarui: 16 September 2019   09:13 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Cikaracak ninggang batu, lalaunan jadi legok" sebuah ungkapan dari basa sunda yang mengandung makna filosofis sangat dalam "sekecil apapun usaha, jika kita konsisten lama kelamaan pasti akan membuahkan hasil", itulah dulu doktrin orang tua kepada penulis tentang profesi PNS, walaupun bergaji kecil jika di tekuni profesi ini dijamin bisa menjadi sandaran penghidupan. 

Kenyamanan kerja merupakan salah satu alasan mengapa profesi PNS banyak dilirik, secara negatif dahulu profesi ini kerap di identikan dengan rendahnya tekanan (karena tidak terbebani target kerja seperti sektor swasta), keberlangsungan status pekerjaan yang terjaga (karena tidak ada ancaman PHK dan bangkrutnya perusahaan). 

Zona nyaman inilah yang membuat PNS acapkali tidak terbiasa dengan perubahan maupun kompetisi, sehingga perubahan apapun (apalagi yang mendasar) yang digulirkan seringkali ditanggapi secara defensif.

Banyak contoh wacana maupun kebijakan pemerintah yang notabene menjadi "majikan" dari birokrasi justru ditanggapi miring misal: wacana pengisian jabatan dari pegawai non-PNS atau wacana hari kerja tanpa libur untuk PNS yang bekerja di sektor pelayanan publik. 

Belakangan saat kebijakan pindahnya ibukota negara yang berimplikasi diikutkannya sekitar 1,5 juta PNS beserta keluarga kelak juga memantik kegelisahan sekaligus penolakan dari PNS. 

Dalam sebuah survey yang di rilis Indonesian Development Monitoring yang menyebut mayoritas PNS Pusat menolak bila dipindahkan ke Ibu Kota baru, temuan ini menarik karena disatu sisi birokrasi merupakan aparatur negara sehingga sudah sewajarnya kebijakan pemerintah harus diikuti oleh aparaturnya sebagai satu kesatuan komando. 

Di sisi lain PNS juga merupakan warga negara yang punya banyak pertimbangan, seperti diketahui dalam survey terungkap sebagian besar alasan keengganan PNS tersebut adalah faktor fasilitas pendukung seperti fasilitas perumahan, kesehatan dan pendidikan yang tentunya belum memadai jika dibandingkan dengan kondisi PNS saat ini di Jakarta.

Bagaimana seharusnya PNS bersikap dalam menghadapi perubahan maupun kebijakan pemerintah?

Dalam banyak teori birokrasi, kepatuhan menjadi salah satu elemen penting dari birokrasi. Weberian birokrasi misalnya mensyaratkan kepatuhan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hierarki yang mendasari pola kerja birokrasi. 

Dalam ketentuan normatif juga sudah terang benderang hal ini dijelaskan, dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara misalnya salah satu tugas PNS adalah melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Lebih rinci dalam kewajiban PNS terdapat setidaknya 2 point yang menggarisbawahi akan pentingnya kepatuhan PNS karena PNS wajib: (i) melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang; (ii) melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab.

Kembali ke persoalan bahwa PNS juga individu yang memiliki banyak tanggung jawab dalam kapasitasnya diluar pekerjaan, sebagai orang tua atau kepala keluarga misalnya. 

Dalam konteks kebijakan pemindahan ibukota tentunya hal ini sudah dikaji secara mendalam, penyediaan hunian dan fasilitas publik bagi PNS di Ibu Kota baru merupakan infrastruktur dasar yang masuk dalam tahap awal pembangunan Ibu Kota baru kelak. 

Namun perlu dikaji juga kebijakan alternatif bagi PNS yang tetap memilih untuk tidak mengikuti proses pemindahan kelak, secara normatif dari sisi peraturan kepegawaian terdapat beberapa skema yang dapat dikenakan terhadap PNS tersebut misalnya dengan pensiun dini atau mutasi kerja ke instansi lain.

Jika pensiun dini (tentunya dengan mendapatkan hak pensiun) yang diterapkan tentunya harus tetap berpegangan pada koridor yang telah ditentukan, dalam pasal 87 ayat 1 UU UU No. 5 Tahun 2014 disebutkan bahwa PNS dapat diberhentikan dengan alasan (i) atas permintaan sendiri atau (ii) perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang menyebabkan pensiun dini. 

Terhadap 2 klausul pensiun dini tersebut terdapat perbedaan persyaratan minimal masa kerja yang harus dicapai, untuk pensiun dini atas permintaan sendiri masa kerja minimal yang harus dicapai jika ingin mengajukan pensiun dini adalah 20 Tahun Masa Kerja dan telah berusia 45 Tahun sedangkan pensiun dini akibat perampingan organisasi adalah masa kerja minimal 10 Tahun dan telah berusia 50 Tahun.

Kedua klausul ini memiliki implikasi, Pertama jika inisiatif kebijakan pensiun dini tersebut datangnya dari pemerintah maka klausul kedua yang diberlakukan dan tentunya akan lebih banyak PNS yang diuntungkan dengan asumsi minimal masa kerja yang diberlakukan lebih sedikit dan namun agaknya kebijakan ini akan kontraproduktif dengan maksud pemerintah memindahkan Ibu Kota Negara (dimana PNS diharapkan menjadi aktor awal yang mengisi Ibu Kota Negara kelak) ditambah kebijakan tersebut akan semakin membebani anggaran pensiun yang secara langsung berpengaruh terhadap postur anggaran belanja pegawai. 

Kedua jika klausul pertama yang di berlakukan maka inisiatif harus datang dari PNS sendiri dan bagi PNS yang tidak memenuhi persyaratan masa kerja tentunya tidak akan mendapatkan hak pensiun. 

Alternatif lain bagi PNS yang tidak memenuhi masa kerja minimal untuk mengajukan pensiun dini atas permintaan sendiri adalah mengajukan mutasi ke instansi lain tentu dengan melewati tahapan tahapan yang sudah ditentukan misalnya telah memenuhi syarat minimal masa kerja di instansi asal, memenuhi lolos butuh dari instansi yang dituju dengan mempertimbangkan kebutuhan analisis beban kerja dan ketersediaan anggaran gaji serta lulus tes uji kompetensi yang terkadang juga diadakan dalam proses seleksi pegawai dari mutasi.

Namun dengan besarnya penolakan untuk ikut ke Ibu Kota Negara yang baru tentu animo untuk melakukan mutasi ini juga besar dan persaingan untuk mengisi kebutuhan di instansi lain pulau jawa juga tinggi. 

Ketiga secara alamiah penolakan PNS ini juga memberikan dampak positif, adanya "seleksi alam" ini akan merupakan kesempatan bagi pemerintah untuk mendapatkan profil PNS yang tangguh, berdedikasi dan adaptif terhadap perubahan sekaligus merampingkan postur birokrasi yang sejalan dengan tagline pemerintah saat ini " SDM Unggul, Indonesia Maju".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun