Di sebuah kampung kecil yang terletak di lereng gunung, hiduplah seorang laki-laki bernama Bazi. Bazi adalah seorang yang hidup dalam kemiskinan, tetapi memiliki hati yang tulus dan penuh kasih sayang terhadap sesama. Meskipun hidup dalam keterbatasan, Bazi selalu bersyukur atas apa yang dimilikinya dan tidak pernah mengeluh.
Bazi dan seorang tetangga sedang berbicara di ladang.
Tetangga: "Selamat pagi, Bazi! Kau terlihat semangat sekali pagi ini. Bagaimana hasil menyadap karetnya?"
Bazi: "Selamat pagi! Alhamdulillah, meski sedikit, aku selalu bersyukur. Bagaimana kabar keluargamu?"
Tetangga: "Kami baik-baik saja, terima kasih. Kau selalu penuh semangat, Bazi. Orang-orang di kampung ini sangat menyukaimu."
       Setiap pagi, Bazi bangun dengan semangat untuk bekerja sebagai petani dengan menyadap karet dan bekerja sama dengan orang-orang di kampungnya. Meskipun pekerjaannya melelahkan dan upahnya tidak seberapa, Bazi selalu melakukan pekerjaannya dengan penuh dedikasi dan keikhlasan. Ia percaya bahwa rezeki datang dari Tuhan dan bahwa setiap orang memiliki peran penting dalam kehidupan orang lain. Meski hidupnya sederhana, Bazi selalu siap membantu sesama yang membutuhkan. Ia sering berbagi kebaikan kepada tetangga-tetangganya yang lebih membutuhkan. Sifat Bazi yang baik membuatnya disukai oleh banyak orang.
Sore Hari di Rumah
Bazi berbicara dengan abang sulungnya.
Abang: "Bazi, belakangan ini aku melihat kau sering malas dan tidak bersemangat. Ada apa sebenarnya?"
Bazi: "Aku sendiri tidak tahu, Abang. Mungkin aku merasa lelah dengan rutinitas ini."
Abang: "Kau harus berubah, Bazi. Sikapmu yang sekarang membuat orang-orang mulai menjauh. Kami juga kesulitan."
Bazi mempunyai empat saudara: dua laki-laki dan dua perempuan. Mereka semua tinggal di perantauan, kecuali abang sulungnya yang masih bersamanya. Saudaranya yang lain sudah menikah dan memiliki banyak anak. Namun, seiring berjalannya waktu, Bazi mulai berubah. Keberadaannya di kampung menjadi sosok yang dibenci dan mulai tidak dihargai karena sikapnya yang berubah dan menjadi malas. Ia pun mengalami konflik dengan saudara-saudaranya hingga mereka mengusirnya dari rumah. Dengan sedih, Bazi mengangkat kaki dari rumah saudaranya dan tinggal di kebun mereka atau di tengah hutan yang jauh dari keramaian.
Bazi: "Kenapa aku jadi seperti ini? Dulu aku selalu semangat dan bersyukur. Apa yang salah dengan diriku?"
Waktu terus berlalu, Bazi terbiasa dengan kehidupan di hutan. Kesunyian menjadi sahabat setianya. Hutan yang sunyi itu bukan lagi tempat yang asing, melainkan rumah yang sesungguhnya bagi Bazi. Di sana, di tengah kesunyian, ia menemukan dirinya yang sejati. Suatu hari, ia mengalami musibah yang menghancurkan sebagian besar tanaman dekat rumahnya hingga rumahnya rusak. Pada saat itu, ia melarikan diri dari rumahnya dan datang ke kampung yang ramai. Orang-orang di sekitarnya menasihatinya dan memberikan masukan agar ia bisa berubah dari sifat buruknya. Meskipun mendengarkan, Bazi tetap tidak menunjukkan perubahan.
Di kampung itu, Bazi bertemu dengan kakek tua. Dan kakek tua itu memanggilnya, dan menanyakan,
Kakek: "Bazi, bagaimana kehidupanmu sekarang? Apakah kau akan terus sendiri selamanya?"
Bazi: (menunduk sambil menangis)
Kakek: "Bazi, jawab aku. Apa yang membuatmu begini? Kau harus berubah."
Bazi: (diam, tidak menjawab)
Kakek: "Kita semua peduli padamu. Jangan biarkan kesunyian menguasaimu."
    Kakek itu terus bertanya, tetapi Bazi tetap diam hingga ia mulai emosi pada kakek tersebut. Orang-orang melihatnya dan tertawa. Dengan bantuan seluruh warga kampung dan saudaranya, mereka bekerja sama untuk membangun kembali kehidupan Bazi dan saling mendukung satu sama lain. Mereka berinisiatif untuk menikahkan Bazi agar ia lebih semangat menjalani hidup dan bekerja.
    Beberapa hari kemudian, seorang teman kakek itu membicarakan tentang seorang gadis di desa dekat mereka yang mengalami masalah hingga dibawa ke kantor desa. Gadis itu ditanya siapa yang mau menikahinya.
Teman Kakek: "Ada seorang gadis di desa sebelah yang mengalami masalah besar. Ia membutuhkan suami yang bisa menerimanya."
Kakek: "Aku akan bicarakan ini dengan Bazi. Mungkin ini bisa membantunya berubah."
Setelah itu, Kakek membahas hal ini dengan Bazi dan bertanya apakah ia mau dan siap untuk berkeluarga.
Kakek: "Bazi, bagaimana kalau kau menikah? Ada seorang gadis di desa sebelah yang butuh pendamping. Apakah kau siap untuk berkeluarga?"
Bazi: "Jika itu bisa membantuku berubah, aku siap, Kek." Kakek: "Bagus, kita akan mengatur semuanya. Kau harus memulai hidup baru." Akhirnya, dengan dukungan warga desa dan saudara-saudaranya, terjadilah pernikahan antara Bazi dan gadis tersebut. Mereka menerima semua pengeluaran acara dan berjanji untuk membayarnya dengan sabar. Orang-orang di kampung merasa bangga dan senang, percaya bahwa Bazi akan berubah karena sudah memiliki teman hidup.
       Hari-hari berlalu, Bazi dan istrinya bekerja keras untuk melunasi utang mereka. Mereka ikut dalam sebuah arisan yang memiliki banyak anggota hingga tujuh puluh orang. Beberapa tahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak. Mereka tetap tinggal di rumah di tengah hutan. Setelah tiga tahun, mereka memiliki tiga anak: satu perempuan dan dua laki-laki. Namun, anak pertama mereka jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit.
Bazi berbicara dengan dokter.
Dokter: "Anak Anda sakit parah, Bazi. Kami akan melakukan yang terbaik, tetapi Anda harus siap menghadapi kemungkinan terburuk."
Bazi: "Tolong lakukan apa saja untuk menyelamatkannya, Dokter."
     Beberapa hari kemudian, anak mereka meninggal dunia. Orang-orang di desa memutuskan untuk menguburkannya di rumah saudara Bazi agar lebih mudah diakses.
    Saudara istrinya datang ke rumah saudara Bazi untuk menanyakan kabar adiknya dan anaknya. Mereka baru mengetahui bahwa anaknya telah meninggal dan merasa sedih karena tidak diberi tahu.
    Bazi dan istrinya berbicara dengan saudara mereka.
Saudara: "Kami baru saja tahu tentang kematian anakmu. Kenapa tidak ada yang memberi tahu kami?"
Istri Bazi: "Kami terlalu sibuk mengurus semuanya, kami minta maaf."
Saudara: "Kau harus tinggal bersama kami sementara waktu. Kami ingin membantu." Istri Bazi: "Baiklah, kami akan tinggal bersama kalian."
     Namun, setelah beberapa minggu, bulan, dan tahun, istri Bazi tidak kembali, membawa satu anak mereka. Bazi kembali hidup sendiri dengan satu anak yang tersisa, merasakan kehilangan arah dan tujuan hidupnya.
    Bazi kembali sendiri di rumahnya di hutan. Bazi: "Hidupku kembali ke kesunyian. Aku kehilangan arah dan tujuan. Tapi mungkin kesunyian inilah yang menjadi rumahku sejati."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H