Yogyakarta - Senyumannya hilang ketika ia sedang membuka masker berwarna hitam yang sedang di pakainya, jilbab berwarna biru dan baju berwarna hijau coklat bermotif yang menemaninya di hari itu, tapi suara sapa masih terdengar ditelinga setiap orang yang mengamatinya, itulah Tugiyem sapaan akrabnya saat ditemui di salah satu sudut  di malioboro.
Perempuan tua berumur 80 tahun ini, sejak pagi menjelang sore berjualan makanan ringan seperti : kacang goreng, Â pop cron, regginang, dan ubi goreng di dalam keranjang yang menjadi lumbung rejekinya sehari-hari. Sekitar 44 tahun sudah, perempuan ini menggeluti pekerjaannya tersebut untuk menghidupi dirinya sendiri yang kini hanya tinggal sebatangkara, karena suami dan anaknya sudah meninggal dunia.
Sejak tahun 1977, dia sudah beradaptasi dengan kerasnya kehidupan. Sebelum memutuskan berjualan makanan ringan tersebut, perempuan ini tidak mengetahui pekerjaan apa yang harus dilakukan untuk menghidupi dirinya sendiri yang sebatangkara.
Sesekali Tugiyem menurunkan maskernya ke dagu untuk mengobrol saat di wawancara. Tampak rasa sedih  saat ia menceritakan perjalanan hidupnya mulai dari orang tua nya mininggal saat dia masih kecil, kemudian dia sekolah dengan bantuan kakak nya, sekolah pun tidak sampai tamat SD, serta suaminya dan anaknya juga meninggal. Hal tersebut tak membuat semangatnya berjualan luntur. Itu semua ia lakoni untuk memenuhi kebutuhannya hidupnya sehari-hari.
"Saya hidup hanya sebatangkara, tanpa ada suami dan juga anak, anak saya meninggal ketika dia berumur 21 tahun. Anak saya meninggal karena kesentrum listrik, suami saya meninggal umur 45 tahun, saya hidup sendirian, tidak ada dapat bantuan dari siapa pun, kalau saya tidak jualan ya saya tidak makan, mau cari pekerjaan yang lain saya sudah tua, saya juga tidak bisa baca tulis karena zaman dulu saya sekolah dengan kakak saya, karena orang tua saya sudah meninggal dari saya kecil, jadi disekolahkan sama kakak, itu pun tidak sampai tamat SD," Kata Tugiyem, panggilan akrabnya. Minggu (28/11/2021)
Perempuan kelahiran 1941 ini, sudah puluhan tahun jualan makanan ringan di sepanjang jalan malioboro, berjalan dari ujung ke ujung menawarkan kesetiap orang yang ada disana, tapi seiring berjalan waktu, faktor usia membuat Tugiyem menjual makanan ringan dengan hanya duduk disalah satu sudut di malioboro.
"Saya sudah 44 tahun berjualan makanan ringan, dulu saya berjalan dari ujung ke ujung untuk menawarkan ke orang-orang yang ada disini, tapi sekarang kaki saya sudah tidak kuat lagi, makanya saya hanya duduk disini saja, tapi kadang saya juga pindah pindah tempat duduk,"katanya.Â
Tugiyem kemudian menceritakan kalau dia berjualan dua kali seminggu, yaitu hari rabu dan hari minggu, dihari lain seperti hari senin, selasa, kamis, jumat, dan juga sabtu dia mempersiapkan bahan-bahan yang akan di jual, seperti menjemur rengginang, menjemur kacang, mengupas kulit kacang, dan mencari ubi.
"Saya jualan hanya dua kali dalam seminggu, hari rabu dan minggu saja, kalau hari-hari lain saya mengolah nya, ya maklum lah saya hanya bekerja sendiri, tidak ada yang membantu, sudah tua juga,tenaga sudah tidak lagi kuat seperti dulu," kata Tugiyem sambil tertawa, tapi tetap saja  terlihat air matanya berkaca-kaca, walaupun menceritakannya sambil tertawa.  Â
Sebelum musim pandemi covid, Tugiyem mampu menghabiskan kurang lebih 90 bungkus makanan ringan dengan harga per bungkusnya  Rp1000 dan Rp 2000. Tugiyem berjualan dari pagi sampai dagagannya habis, kalau sudah sore masih belum habis, maka Tugiyem kembali pulang dengan membawa jualannya kembali. Semenjak pandemi, seharinya Tugiyem hanya mampu menghabiskan 50-60 bungkus makanan ringan.
"Ya apalagi musim pandemi seperti ini ya, terjual 50 bungkus saja saya sudah senang sekali, syukur alhamdulillah kalau ada yang beli jualan saya, apalagi musim sekarang semua serba susah" katanya.
Tak sedikit orang yang membeli dagangannya karna kasian melihat Tugiyem yang duduk di salah satu sudut di malioboro dengan jualannya yang ada dikeranjangnya, sesekali Tugiyam melihat sekitarnya dan mengusap mukanya.
"Mungkin orang beli dagagan saya, ya karna kasian melihat saya yang sudah tua ini, seperti tadi, ada itu anak prempuan yang beli dangan  saya, dia beli cuman 2 kacang, uang nya Rp 10.000, pas saya kembalikan dia tidak mau" katanya.
Saat ini, baginya kesehatan adalah bagian yang terpenting, dikala pandemi Covid-19. Dirinya bersyukur masih diberi umur yang panjang dan masih diberi kesehatan untuk bisa berjualan.
"Alhamdulillah saya masih diberi umur yang panjang dan kesehatan sama gusti Allah, bisa makan saja alhamdulillh sekali, ya walaupun sudah tua, tapi ya kita tetap harus bersyukur sama gusti Allah," Katanya.Â
Dari  Mbah Tugiyem kita belajar kalau hidup harus terus diperjuangkan bagaimana pun keadaannya, dan perjuangan Mbah tugiyem ini patut dicontoh oleh generasi muda dimasa sekarang dan yang akan datang, memilih untuk terus berjuang dan berusaha lebih baik dari pada hanya berdiam diri dan tidak melakukan apapun untuk memperjuangkan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H