Mohon tunggu...
Yofan Crispyanto Taa
Yofan Crispyanto Taa Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Mahasiswa (Jurusan Filsafat)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Setiap Kata Ada Makna"

3 Desember 2019   15:57 Diperbarui: 3 Desember 2019   16:10 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu belakangan ini marak terjadi kesalahpahaman dalam bidang bahasa. Orang dapat dengan mudah dilaporkan kepada pihak berwajib karena salah menafsirkan suatu ajaran atau teks. Bahasa baik tulisan maupun lisan senantiasa banyak mengundang diskusi. 

Hal ini tentu seiring dengan berkembangnya cara berpikir dan mengungkapkannya dalam bentuk bahasa itu sendiri. Seorang individu tidak boleh sewenang-wenang menafsirkan bahasa lisan maupun tulisan untuk menemukan makna. Tentu dalam setiap bahasa lisan maupun tulisan termaktub maknanya masing-masing. 

Kecenderungan untuk menafsirkan teks tanpa kontekslah yang mengakibatkan suatu penafsiran itu dapat keliru. Dengan melihat realitas ini dapat diambil kesimpulan bahwa bahasa itu penting dalam kehidupan manusia. Bahasa dapat menjadi pemersatu dan pemecah-belah kesatuan. 

Bahasa bukan hanya sekedar 'medium' sebagaimana dalam pemikiran modern pada umumnya tetapi bahasa merupakan manifestasi totalitas pikiran manusia. Realitas akan mudah dipahami ketika diungkapkan melalui bahasa dan demikian juga dengan memahami makna. Berkaitan dengan itu, pemikiran Jacques Derrida tentang dekonstruksi menjadi sangat relevan untuk diperbicangkan. Jacques Derrida berpikir tentang dekonstruksi sebagai cara untuk memahami sebuah teks.

Pokok pemikiran Derrida tentang dekonstrusi merupakan suatu cara membaca teks. Dekonstruksi tidak lain adalah perkembangan kreatif dari pemikiran Heidegger yang memberi prioritas pada bahasa. Bahasa lisan maupun tulisan senantiasa mempunyai makna. 

Secara radikal bahkan Derrida berkata bahwa setiap kata mempunyai arti atau makna, namun tandanya yang berbeda-beda. Berkaitan dengan tanda, Derrida menyamakannya dengan makna. Hal ini juga berkaitan dengan kritik Derrida atas metafisika barat yang lebih menekankan soal kehadiran sebagai ada. 

Dengan kata lain, ada sebagai kehadiran. Apabila dalam metafisika ada sebagai kehadiran, langsung timbul pertanyaan: hadir bagi apa? Atau siapa? Dan jawabannya bisa saja bagi Allah, manusia, kesadaran, subjek dan lain sebagainya. Bagi Derrida pandangan tentang kehadiran akan nampak dengan jelas apabila mempelajari metafisika sebagai tanda. 

Menurutnya, tanda mengganti apa yang tidak hadir. Tanda sebagai jejak (trace) tidak mempunyai substansi atau bobot tertentu, tetapi hanya menunjuk. Dengannya hendak mengatakan bahwa bekas mendahului objek. Bagi Derrida, bekas tidak sebenarnya bukan efek melainkan terutama penyebab. Paham inilah yang memungkinkan untuk memikirkan kehadiran sebagai sebagai efek dari bekas. 

Konsekuensinya, apabila bekas itu dihapus maka kehadiran juga hilang dan dengan itu kehadiran bersifat sementara saja. Namun apabila bekas itu dihapus dengan sendirinya akan menggores suatu bekas yang lain, sehingga tanda secara definitif mendahuli kehadiran. Tanda selalu sebelum objek.

Penegasan tanda mendahuli objek memberikan penekanan pada sesuatu yang hadir bagi dirinya sendiri itu mustahil. Dengannya hendak menekankan bahwa objek timbul dalam jaringan tanda. Jaringan atau rajutan tanda oleh Derrida disebut teks (texere). Texere berarti menenun. Derrida menggunakan kata "teks" dalam arti yang lebih luas daripada arti yang biasa, karena menurutnya segala sesuatu yang ada mempunyai status teks. Berkaitan dengan itu, Derrida berbicara tentang intertekstualitas, karena suatu teks tidak pernah terisolasi tetapi selalu berkaitan dengan teks-teks lain.

Derrida berpendapat bahwa tanda bersifat arbiter dan tidak menurut kodrat tidak seperti apa adanya. Nah, inilah yang membawanya kepada pendirinya yang terkenal dalam bidang bahasa. Baginya bahasa tulisan harus diberi prioritas. Karena baginya secara kodrati semua bahasa termasuk lisan adalah tulisan. 

Pemikiran ini juga dapat dikatakan sebagai kritik atas cara berpikir barat yang lebih menekankan bahasa lisan dan melemahkan bahasa tulisan (Fonosentrisme) dan menghapus dimensi material bahasa (Logosentrisme). Menurut Derrida meskipun orang belum mengucapkan kata-kata, namun tulisan sudah siap untuk dicurahkan. Menulis adalah pengelompokan kata-kata yang sifatnya mekanis menurut tata bahasa dan sturktur kata-katanya. Dan bagaimana dengan maknanya? 

Bagi Derrida makna tulisan itu seakan-akan keluar dari tulisan itu sendiri. Namun, untuk dapat memahaminya diperlukan suatu teori untuk membaca, sehingga pemahaman seseorang pada akhirnya dapat diukur dengan bagaimana ia membaca teks. Dan bagi Derrida lebih mengarahkan dirinya pada interpretasi teks tertulis yang digunakan untuk dibaca sebagai teks, karena sebagaimana telah diuraikan bahwa teks tertulis merupakan mengikuti secara ketat aturan-aturan dan gaya bahasanya.

Referensi

Bertens,  K. Filsafat Barat Kontemporer Perancis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Hardiman. F. Budi. Seni Memahami. Yogyakarta: Kanisius, 2018.

Kaelan. Filsafat Bahasa: Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma, 2009.

Sumaryono,  E. Hermeneutika sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun