Mohon tunggu...
Yoesrianto Tahir
Yoesrianto Tahir Mohon Tunggu... Dokter - Medical Advisor PT. Otsuka Indonesia

Part-time sleeper, fulltime lover.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Nutrisi dan Anti Retroviral bagi Masa Depan Terapi Sang Pembawa Virus

29 November 2011   10:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:03 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Menyambut Hari AIDS Se-Dunia 1 Desember 2011 – Yayasan Gema Sadar Gizi)

Jakarta (28/11-2011).  Penyakit AIDS pertama sekali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, oleh CDC Amerika Serikat yang menemukan Pneumonia Pneumositis pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles. Sejak saat itu juga teridentifikasi  penyebabnya yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV). Terhitung sudah lebih dari 30 tahun perjalanan kasus HIV/AIDS menghantui dunia kedokteran dan masyarakat dunia sebagai suatu penyakit yang belum ditemukan obat penyembuhnya.

Saat ini tercatat kurang lebih 5,2 juta penderita HIV/AIDS seluruh dunia (WHO) yang pada tahun sebelumnya hanya tercatat 1,2 juta kasus. Demikian Dr. Mahesa Paranadipa, anggota Dewan Pengawas Yayasan Gema Sadar Gizi ketika menyampaikan pengantar diskusi terbatas menyambut Hari AIDS Sedunia 2011, di Café Nona Bola Menteng Jakarta Pusat. Begitu banyak eksperimen pada hewan coba maupun langsung pada pasien HIV/AIDS telah dilakukan untuk mencari obat penyembuh penyakit  yang mempengaruhi psikologis penduduk dunia saat ini.

Namun hingga saat ini hanya obat-obat Anti Retroviral yang diyakini dapat menghambat perkembangan HIV pada tubuh orang terinfeksi HIV. Begitu baiknya hasil terapi obat retroviral sehingga dapat menekan angka kematian dan angka kesakitan secara bermakna; hal yang secara tidak langsung memperpanjang usia harapan hidup sekaligus memberikan waktu bagi penderita untuk melakukan hal-hal yang produktif. ARV saat ini juga dipandang sebagai alat untuk pencegahan penularan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa pemberian ARV akan mencegah penularan sebesar 92 %.

Yang sering terlupakan adalah manfaat pemberian nutrisi kepada pasien HIV/AIDS ini. Dr.Tirta Prawita Sari, MSc., selaku Ketua Yayasan Gema Sadar Gizi  yang juga dosen Gizi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta, berkesempatan berbagi beberapa informasi mengungkap manfaat nutrisi ini. Menurut Tirta, HIV dalam tubuh manusia menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi yang akibatnya akan menyebabkan terganggunya metabolisme nutrisi makro (karbo, protein, lemak). Hal ini akan mengakibatkan gangguan metabolisme seperti hiperglikemia, dislipidemia dan hipoalbuminemia. Mediator inflamasi (sitokin) yang dilepaskan juga dapat menyebabkan proteolisis atau pemecahan protein tubuh.  Hal ini  terutama terjadi di otot; inilah yang menyebabkan terjadinya muscle wasting. Gangguan metabolisme dan muscle wasting yang terjadi menyebabkan nutrien tesebut tidak dapat digunakan sebagai energi sehingga status gizi menurun.

Lebih lanjut Tirta menyampaikan buruknya nafsu makan dan meningkatnya kebutuhan tubuh ditambah kehilangan nutrisi, akan menyebabkan suplai dan demand nutrien yang tidak seimbang, padahal nutrisi yang adekuat terbukti mempengaruhi sistem imun. Prinsip terapi nutrisi paliatif adalah memberikan dukungan nutrisi pada pasien end stage yang tujuannya adalah untuk perbaikan kualitas hidup. Sehingga pada saat akhir hidupnya akan dilalui dengan lebih baik. Pasien diizinkan untuk mengkonsumsi makanan apapun yang diinginkan tanpa bertujuan untuk memperbaiki sejumlah parameter laboratorium.

Nutrisi yang baik, yang diberikan dengan penuh kasih sayang, dan dimasak dengan cara yang membangkitkan selera akan membantu meningkatkan asupan nutrisi, sehingga pasien akan menjalani masa akhir hidupnya dengan baik. Sebenarnya nutrisi pada HIV/AIDS mutlak diberikan pada semua stadium kasus HIV, karena akan memberi pengaruh lebih besar, yaitu secara signifikan dapat memperlambat progresifitas penyakit dengan memperbaiki sistem imun. Nutrisi yang adekuat bisa memperbaiki status gizi. Status gizi yang baik berkorelasi positif dengan sistim imun, yaitu komponen utama yang diserang oleh HIV.

Pada bagian diskusi, Dr. Dyah Agustina Waluyo, selaku praktisi yang konsen pada persoalan HIV/AIDS menyampaikan bahwa saat ini kepedulian terhadap para penderita HIV/AIDS di Indonesia saat ini masih kurang, terutama dalam hal bantuan pembiayaan pengobatan, terutama pada pasien yang membutuhkan perawatan.   Ini dibuktikan bahwa saat ini  hanya Jamkesmas dan Jamkesda saja yang menjamin perawatan penderita HIV/AIDS. Bahkan Askes sendiri tidak memberikan ruang jaminan bagi penderita HIV/AIDS, apalagi asuransi komersial. Diskriminasi tampaknya masih terjadi bagi ODHA yang kebetulan PNS; dalam hal ini TNI POLRI lebih maju. Alasan tidak menjamin  menurut Dyah hanya dicari-cari, padahal AIDS saat ini bukan lagi penyakit akibat prilaku semata, tapi penyakit infeksi yang semua orang bisa terkena.. “Maka seyogyanya HIV/AIDS memang dipandang seperti penyakit infeksi, toh dengan adanya ARV, penyakit ini menjadi penyakit yang dapat dikontrol. Prognosis jauh lebih baik dibandingkan kanker darah, misalnya,” saran Dyah lebih lanjut.

Dyah kembali menambahkan bahwa terapi ARV bisa mencegah penularan sebesar 92 persen. Artinya kalau pasien diberi terapi ARV, maka sebenarnya kita mencegah penularan pada yang lain. Dokter umum juga bisa berperan aktif dalam penatalaksanaan HIV/AIDS, terutama untuk melakukan konseling dan menganjurkan testing. Sekaligus tetap berperan untuk pencegahan, dalam hal ini termasuk konseling untuk perubahan prilaku. Peran lain yang lebih hulu adalah peran edukasi pada masyarakat, termasuk edukasi tentang kesehatan reproduksi (di sekolah-sekolah, dll), narkotika dan adiksi, serta tentang HIV/AIDS sendiri.

Dr. Zaenal Abidin, selaku pendiri Yayasan Gema Sadar Gizi, sangat mendukung penyataan pembicara sembelumnya. Karena pentingnya obat Anti Retroviral ini sehingga ia wajib tersedia dan terjaga kesinambungannya. Karena itu pengadaan obat produksi dalam negeri perlu didorong terus. Alasannya, obat dalam negeni akan relative lebih murah, lebih terjamin berkesinambungan dan tidak membuang devisa. Dikatakan relatif murah karena sekarang bahan baku dari luar pun juga mahal serta kita tidak punya biaya  transport dari  luar negeri. Selain itu, obat produksi dalam negeri mempunyai tanggal kadaluarsa ang lebih lama dibanding obat dari luar.

Memang, lanjut. Zaenal, obat dari luar kadang terkesan murah, namun belum termasuk ongkos kirim dan risiko yang wajib ditanggung pembeli bila terjadi  kerusakan atau kehilangan barang mulai pada saat barang-barang berada diatas kapal di pelabuhan yang disebut atau dalam praktik tanggung jawab beralih ke pembeli pada saat lewatnya barang dari pagar kapal di pelabuhan pengapalan yang yang disebut bagi yang menggunakan angkutan laut atau sungai. Selain itu seringkali ada hambatan di imigrasi yang menyebabkan obat bisa tertahan di bandara atau pelabuhan berbulan-bulan. Akibatnya, terjadi kekosongan obat di sarana pelayanan.

Sebetulnya produksi dalam negeri kualitasnya baik. Cuma memang BUMN Farmasi yang memproduksi obat Anti Retroviral di Indonesia perlu mendapat dukungan lebih kuat dan lebih luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia agar mendapatkan kemudahan dalam
memproleh kualifikasi dari WHO dalam memproduksi obat-obat ARV.

Menurut Zaenal yang juga Ketua Umum Terpilih PB IDI ini, pemerintah pun harus memiliki keberanian untuk memakai produksi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan kepada pihak luar. Mungkin pemerintah Indonesia bisa mencontoh India.
Pemerintah lanjut Zaenal seharusnya sudah punya antisipasi bila suatu ketika negara donor mengurangi atau karena sesuatu hal bahkan memutuskan bantuannya ke Indonesia. Dana yang dipakai membeli obat lebih banyak atau semua dari APBN. Tentu jauh lebih baik bila dana APBN ini dipakai untuk membeli obat produksi dalam negeri dibanding digunakan belanja obat Anti Retroviral di luar negeri.

Pemenuhan nutrisi bagi pasien HIV/AIDS memang sangat penting. Dan semua orang di dunia kesehatan memahami peran nurisi dalam mempercepat perbaikan sistem kekebalan pasien HIV/AIDS. Karena itu pula
diusulkan kepada pemerintah agar memasukkan terapi nutrisi ke dalam skema jaminan kesehatan/asuransi kesehatan.
Begitu pentingnya obat Anti Retroviral dan nutrsi bagi pasien HIV/AISD sehingga terapinya harus dijamin dan berjalan bersama, ungkap Zaenal sambil menutup diskusi.

http://www.sadargizi.com/?p=594#more-594

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun